Sri Harjanto Sahid (Drama) - Badai Sunyi


BADAI SUNYI
Drama :  Sri Harjanto Sahid

Seorang penyair berwajah tirus tengah duduk di sebuah bangku taman kota.  Larut malam.  Bulan purnama bertengger di hamparan langit yang luas.  Sosoknya kumuh dan wajahnya memancarkan kemesuman.  Saat dia melamun, menunggu baris-baris puisi berontokan dari langit menimpa otaknya yang bebal, dia dikejutkan oleh gadis bahenol yang tahu-tahu sudah berada di samping tempat duduknya.  Dia tergeragap sebentar.  Jantungnya berdebar.  Tapi bibirnya segera menebar pesona.  Senyuman kadal yang kelaparan! 
            Gadis tak terlalu cantik itu dingin saja sikapnya.  Bersiasat, mungkin.  Tapi jelas dia butuh teman.  Penyair bebal itu menangkap sinyal itu.  Tak heran, mereka segera terlibat basa-basi dalam tingkat komunikasi yang jernih.  Bulan menyaksikan.
      “Namamu Siti?” tanya penyair itu.  Sepertinya dia kurang yakin sewaktu sang gadis menyebutkan namanya.
            “Kurang keras jawabanku?” sang gadis balik bertanya.
            “Tidak.  Hanya satu kata itu?”
            “Kurang bagus?”
            “Siapa bilang?”
            “Kok kamu masih bertanya?”
            “Benar hanya Siti saja?”
            “Kalau ya, kenapa sih?”
            “Aneh.  Kok bisa mirip?”
            “Mirip apa?  Dengan siapa?”
            “Bekas pacarku!”
            “Namanya juga Siti?  Hanya Siti?”
            “Ya, tapi dia sudah meninggal dunia.”
            “Meninggal?  Karena sakit?”
            “Tidak.  Bunuh diri!”
            “Sebabnya?”
            “Entahlah.”
            “Kamu khianati?”
            “Mungkin.”
            “Pasti kamu khianati!”
            “Kamu kok bisa memastikan?”
            “Aku merasakan getaran suaramu.”
            “Ah, sudahlah.  Masa percintaanku dengannya memang tidak enak.  Tapi merupakan saat paling indah dalam hidupku.  Penuh gejolak dan kecemasan.  Romantik.  Membuat gila.  Aku mengalaminya seperti mimpi panjang tanpa sedetikpun pernah tertidur.  Aku ingin menghapus dengan percintaan-percintaan baru.  Anehnya masa silam itu justru makin kuat mencakar wajahku.  Dia membayangi gerak kehidupanku.  Menyelinap di antara sela-sela nafasku.  Mengalir dalam arus peredaran darahku. Mengembara di ruang kosong imajinasiku yang terbakar asmara.  Aku mencintainya melebihi usia percintaanku dengannya.  Percintaan memang berakhir tapi cinta tak bisa kuhentikan.  Seperti legenda tujuh mimpi yang kususun di dalam kesunyianku sendiri.”
       Mulut penyair tirus itu berbusa-busa.  Sinar matanya semakin cemerlang.  Kejalangan menjalari aliran darahnya.  Bulan menyaksikan.  Udara tambah dingin.
            “Dia pasti cantik, ya?” tanya gadis bahenol.
            “Mirip kamu!” sergah penyair cepat.
            “Masak, ah?!”
            “Segala-galanya!”
       “Kamu baru saja kenal denganku.  Di sini.  Belum lima menit.  Kok sudah membuat kesimpulan sehebat itu?  Mau merayuku dengan jurus kuno?  Kamu mau merogoh hatiku, kemudian menggorengnya di telapak tanganmu dan akhirnya menguasaiku sepenuhnya seperti seorang diktator?  Kamu salah alamat!!”
         “Wah, canggih sekali mekanisme prasangkamu.  Kamu pasti menderita memiliki sistem kerja batin seperti itu.  Aku bukan perayu meskipun sangat enteng mengobral pujian terhadap wanita.  Wanita dilahirkan memang untuk dipuja laki-laki.  Dicintai dan disembah.  Aku juga bukan play boy meskipun sering berganti-ganti pacar.  Aku selalu ditinggalkan dan bukan meninggalkan.  Kebetulan pada saat ditinggalkan aku biasanya sedang dalam keadaan bosan dan muak pada pacarku sehingga aku tak pernah patah hati.  Kehidupanlah yang menakdirkan aku dicintai banyak wanita.  Kamu memang mirip dia.  Sangat!  Suaramu yang tidak merdu.  Kacau artikulasinya.  Matamu yang selalu jelalatan ke sana ke mari seperti tikus yang sibuk mencari mangsa.  Nada bicaramu yang sinis akibat kurang punya rasa percaya diri.  Bahkan bentuk bokongmu yang sama sekali tidak artistik.  Atau caramu berjalan yang tidak berbeda dari macan hamil.  Maaf, aku agak lugu.”
          “Tidak apa-apa.  Di sini aku biasa berhadapan dengan para lelaki bermulut lancang.  Makin bebal hatinya makin membuatku bergairah melayani ngobrol.  Bila hati bebal otaknya pasti dangkal.  Gampang dijadikan obyek lelucon.  Suka diperlakukan sebagai badut.  Laki-laki memang merupakan kanak-kanak abadi di hadapan wanita.  Kalau mau, para wanita bisa membantingnya seenaknya.  Atau mencopoti  kecerdasannya.”
            “Cukup.  Kalau diteruskan bisa terjadi perang besar.”
            “Kamu yang memulai!”
            Keheningan meletus.  Jarak tipis membentang.  Angin berdesir.  Bulan bertambah merah.  Angin terus juga berdesir.  Awan berjalan lambat seperti naga raksasa yang baru bangun dari tidurnya berabad-abad.  Sunyi melepas raga.
          “Maaf kalau kamu tersinggung terhadap semua ucapanku tadi.  Aku memang orang lugu.  Harap dimaklumi,” kata penyair membuka percakapan kembali.
            “Lugu atau dungu?” tutur gadis itu sinis.  Duduknya agak bergeser.
           “Terserah apa katamu.  Yang jelas aku datang ke taman ini dan duduk-duduk di sekitar sini bukan untuk memuja hantu yang bernama kemarahan.  Aku ingin menghibur diri.” 
            “Mencari wanita nakal?”
            “Apakah kamu wanita nakal?”
            “Gundulmu!  Sembarangan kamu!  Dasar lugu dan dungu!”
            “Lalu kenapa pada tengah malam begini kamu sendirian berada di sini?  Ada perlu apa kalau bukan mencari rejeki?”
            “Apa yang boleh ke sini hanya wanita nakal dan lelaki nakal saja?  Yang tidak nakal tidak boleh?”
            “Bukan begitu.  Aku kan juga bukan lelaki nakal.  Aku lelaki beriman meskipun kurang sopan.  Mencari hiburan jangan diartikan mencari wanita nakal.  Otakmu kok mesum, sih?  Keseringan nonton film Indonesia yang sedikit moralnya itu, ya?!  Aku ke sini setiap kali dihajar kerinduan terhadap bekas pacarku yang bernama Siti itu.  Dia sepuluh tahun lalu bunuh diri di bawah pohon besar yang tengah menaungi kita ini, di dekat lampu mercury.  Mayatnya ditemukan orang sedang memeluk sekaleng obat serangga.  Mulutnya berbusa dan perutnya berisi janin berusia muda.”
            “Kamu yang menghamilinya?”
            “Tidak.  Aku belum pernah berbuat maksiat dengannya.”
            “Lantas siapa?”
            “Entahlah.  Tak seorangpun mengetahuinya.  Tapi semua orang menuduhku.  Aku percaya dia tak pernah mengkhianatiku.  Dia wanita paling setia yang pernah kukenal.”
            Penyair menghela nafas.  Dalam, dan berulang-ulang.  Duka mengambang di permukaan wajahnya.  Tersedot ke masa lalu yang perih.  Gadis itu tampak bersimpati.
       “Kamu tidak takut datang ke sini sendirian malam-malam begini,” perlahan gadis itu bertanya.
            “Takut?  Kenapa harus takut?”
            “Kalau tiba-tiba arwahnya datang.”
            “Itu yang selalu kuharapkan.  Tapi tak pernah terjadi.  Seumur hidupku belum pernah aku melihat hantu, arwah, ataupun jenis makhluk halus apapun.  Aku tak percaya dua dunia berbeda bisa bertemu secara wadag ataupun saling beraba melalui panca indera.  Secara spiritual mungkin bisa.  Aku sendiri merasakan getaran kehadirannya setiap kali duduk di sini.”
            “Kisahmu romantis dan tragis.  Mirip dengan kisahku.”
            “Benarkah?  Ada apa kamu ke taman ini tengah malam?”
            “Aku menunggu pacarku.”
            “Ke mana dia?”
         “Buang air besar katanya.  Aku disuruhnya menunggu di sini.  Aku sudah lelah tapi dia belum muncul juga.”
            “Kapan dia pergi?  Berapa jam yang lalu?”
            “Apa? Jam?  Dia sudah pergi dua puluh lima tahun yang lalu.”
            “Apa?!!  Sudah dua puluh lima tahun?!!!”
            “Aneh?”
            “Bagi orang yang tidak waras pasti tidak.  Tapi bagi orang yang waras tentu saja keterlaluan anehnya.  Ah, kamu pasti bohong!”
            “Berani sumpah.  Aku mengatakan apa adanya.”
            “Gila!!  Apa yang membuatmu sedemikian setia?”
            “Cinta.”
        “Dia mungkin sudah mampus di jalan.  Atau kalau tidak mungkin sudah berada dalam pelukan wanita lain dan punya selusin anak.  Sudahlah, pergilah!  Jangan ke sini lagi.  Buanglah kenangan menyakitkan itu.  Carilah lelaki lain.  Jangan sia-siakan  kecantikan dan umurmu.  Wah, absurd sekali lelakonmu.  Kalau kamu mau aku bersedia jadi suamimu.  Kesetiaanmu pada cinta telah menggetarkan hatiku.  Kamu pasti bisa menjadi istri terbaik di seluruh dunia.”
            “Aku tak akan bisa melupakannya.  Aku tak mungkin menjadi milik siapapun selain dirinya.”
            “Apa sih keistimewaan Arjunamu itu”
            “Dia mengajariku tentang keindahan.”
            “O, dia penyair?”
            “Bukan.  Dia hanya pemuja kata-kata.”
            “Tentu dia menaklukanmu dengan keahliannya memuliakan kata-kata.  Menggedor nuranimu dengan kata-kata besar dan dahsyat.  Sampai kamu mengalami kemabukan abadi.”
            “Kalimatnya selalu sederhana.  Apapun yang diungkapkannya selalu indah justru karena kesederhanaannya.  Di tempat inilah kami menyatakan perasaan keindahan dengan sempurna.   Setiap larut malam kami saksikan matahari mencorong di langit sebelah utara.  Menjelang subuh rembulan bergerak dari ujung langit sebelah selatan menunggang kereta kencana.  Lalu matahari menikahi rembulan di balik cakrawala.”
            Tiba-tiba saja penyair kadal itu tersentak kaget. Tubuhnya sampai menggeletar.  Detak jantungnya bertalu-talu.  Urat-urat wajahnya menegang, warnanya memias dan memasi, sinar matanya kian jalang.  Ditatapnya tajam-tajam gadis bertutur indah tapi berpenampilan bagai sundal itu.  Naga raksasa di langit mulai menggeliat.  Hawa di sekitar taman terasa membeku.       
            “Aih, sebentar!  Ungkapan tentang pernikahan matahari dengan rembulan itu tadi adalah ucapanku yang kujiplak dari karya penyair Spanyol yang tak kuingat namanya.  Selalu kuucapkan di tempat ini untuk merayu pacarku.  Kok bisa sama?!  Aneh sekali!!”
            “Mungkin pacarku dulu juga menjiplak penyair Spanyol itu.”
       “Tapi aku hanya menjiplak ide dasarnya saja., yakni tentang matahari menikah dengan rembulan.  Sedangkan deretan ungkapan kalimatnya, sebagaimana yang kamu ucapkan tadi, merupakan hasil susunanku sendiri.  Orisinal, tak dipengaruhi siapapun.  Aku hapal betul baris-baris kalimat itu.  Sebab kutulis dalam buku harianku dan selalu kugunakan untuk merayu semua pacarku yang berjumlah mendekati angka 100.  Kamu tadi mengucapkannya sama persis.  Tak sedikitpun ada yang salah susunan katanya.  Tak mungkin pacarmu yang pamit buang air besar dan dua puluh lima tahun kamu tunggu belum kembali itu dapat menyusun kalimat-kalimat indah yang sama persis denganku.  Ah, sekarang aku tahu siapa kamu.  Jangan berpura-pura lagi!”
            “Maksudmu apa?”
            “Kamu tadi membohongiku dengan cerita palsu.”
            “Lantas apalagi?”
            “Kamu pasti Siti.”
            “Ya, memang aku Siti.”
            “Siti pacarku!”
            “Ngawur!  Bukankah dia sudah mati?”
            “Kamu pasti arwahnya!”
            “Salah!!  Kebetulan saja banyak hal yang sama dan mirip.  Nama pacarku yang pamit buang air besar itu juga persis sama dengan namamu.  Senyumannya yang licik juga persis dengan senyumanmu.  Sok tahunya juga.  Apalagi bokongnya yang tepos dan caranya berjalan yang mirip penderita penyakit hernia.  Serta bau nafasnya yang bagai bau kotoran kuda dan jutaan virus beterbangan dari mulutnya kalau dia bicara.  Wah, semuanya persis dengan kamu.  Namun tragediku berbeda dengan tragedi pacarmu.  Dulu ketika aku menunggu pacarku di sini, aku disergap lima orang pemuda berandal.  Diperkosa, dirampok perhiasanku, dan dibunuh di bawah pohon besar yang menaungi kita ini, dekat lampu mercury.  Jadi aku mati dua puluh lima tahun yang lalu, sedangkan pacarmu mati sepuluh tahun lalu.  Sudahlah, waktu subuh hampir tiba.  Aku harus pulang ke rumahku di dalam pohon besar yang menaungi kita ini.  Selamat tinggal!”
            Gadis sundal itu berjalan lima langkah.  Tiba-tiba lenyap.  Plas!!

Yogyakarta, 14-16 April 1997

No comments:

Post a Comment