(Monodrama) Sri Harjanto Sahid - PUTRI MALAM


PUTRI MALAM

Monodrama: Sri Harjanto Sahid


RUANG TENGAH RUMAH SEORANG PELUKIS TUA. SEKALIGUS MENJADI TEMPAT UNTUK BEKERJA MELUKIS SIANG MALAM. AGAK KUMUH, KURANG RAPI, APALAGI DIA TINGGAL HANYA SENDIRIAN SAJA. ADA MEJA UNTUK MENARUH MAKANAN DAN MINUMAN, JUGA SETUMPUK BUKU. AROMA KESUNYIAN MEREBAK. BETAPA NGELANGUT DAN PERIH.

            Kuusap mataku. Kubuka lebih lebar. Kutatap sosok di hadapanku. Aku langsung tahu dia bukan manusia sewajarnya. Tapi makhluk halus. Datang dari dunia tanda tanya. Aku tidak takut. Biasa saja. Aku sering menghadapi makhluk seperti ini. Sejak kecil aku punya kemampuan tak masuk akal yaitu dapat berkomunikasi dengan makhluk halus. Dia dara jelita. Aku merasa seperti pernah mengenalnya. Pengaruh obat tidur yang kutelan membuatku gagal mengingatnya. Kesadaranku tipis.
            “Maaf, aku membangunkanmu.”
            “Siapa kau?”
            “Aku Putri Malam. Anakmu Ayah. Kau lupa?
            “Ah ya. Aku ingat sekarang.”
            “Aku tak pernah melupakanmu Ayah. Aku selalu merindukanmu. Sepuluh tahun kita berpisah. Kini aku menjengukmu. Aku tidak bahagia belakangan ini. Aku ingin menangis di pangkuanmu.”
            Putri Malam memang sudah kuanggap anakku sendiri. Di usiaku yang uzur, 72 tahun, aku tetap membujang karena patah hati. Cintaku pada Dhenok Ernawati ditolak mentah-mentah. Dia memilih lelaki yang jelas-jelas jauh kalah ganteng dibanding diriku. Cinta keduaku juga gagal. Dorce Galatama diserobot bandot tua yang benar-benar tidak bermutu. Cinta ketigaku ambyar pula sebab Yeny Octavia dinikahi Pangky Sarjito. Total aku patah hati tujuh kali. Lalu aku bersumpah akan membujang seumur hidup. Tentu aku kesepian. Hidup sendiri tanpa teman. Keluargaku semua di pulau seberang. Aku di tanah rantau sejak lepas remaja. Hari-hariku terasa sunyi memang. Sampai suatu saat muncullah Putri Malam dalam kehidupan di usia senjaku.
            Saat itu seperti biasanya, larut malam aku suntuk melukis. Aku duduk melamun memandangi lukisanku yang belum selesai. Gambar realis seorang gadis remaja. Separuh badan cuma. Hanya pada bagian wajahnya yang belum kuselesaikan. Sudah dua bulan aku bingung mencari model wajah yang cocok. Tiap malam kupandangi saja lukisan yang belum selesai itu. Sampai berjam-jam lamanya, tiap kali, hingga aku diserang kantuk lalu rebah terkapar di lantai. Di malam bukan Jumat Kliwon itu, tiba-tiba muncul bayangan tipis di samping kanvasku. Mataku yang sudah terserang kantuk jadi berkejap-kejap. Bayangan bagai asap itu nampak timbul tenggelam. Sesosok dara jelita penuh pesona. Aku langsung paham dia makhluk gaib.
            “Muncullah lebih jelas. Tak usah malu,” kataku.
            “Terima kasih. Kau baik sekali,” ucapnya sambil tersenyum simpul lalu menampakkan diri senyata-nyatanya.
            “Aku ingin melukismu. Bolehkah?”
            “Boleh saja. Tapi ada satu syarat.”
            “Katakan syaratnya. Aku pasti setuju.”
            “Kau harus mengangkatku sebagai anakmu. Aku sudah dibuang keluargaku. Aku menolak dikawinkan dengan gendruwo raksasa. Jelek banget dan baunya kayak tai kuda. Meski kaya-raya tapi dia tukang kawin. Mengaku bujangan ternyata istrinya segudang. Joroknya bukan main. Suka makan jengkol lima kilo tiap hari. Berbulan-bulan sudah aku gentayangan. Aku ingin tinggal di sini bersamamu. Izinkan aku memanggilmu Ayah!”
            “Ya, baiklah. Aku pasti akan bahagia sekali punya anak seperti dirimu. Terima kasih kau memercayaiku untuk menjadi ayahmu.”
            Dengan gesit kulukis wajahnya pada lukisan yang dua bulan belum kuselesaikan itu. Tak sampai dua jam rampung. Jadilah lukisan mahasempurna. Mendadak dara dari dunia gaib itu lenyap masuk ke dalam lukisanku. Kesempurnaan lukisanku menjadi mahadahsyat. Kuberi judul Putri Malam, sesuai nama panggilan bagi anakku yang baru kutemukan.
            Seperti kisah dalam film Indonesia yang bermutu rendah kujalani romantika hidupku bersama Putri Malam. Hampir setiap malam dia mewujud. Ngobrol ngalor ngidul denganku. Memasak nasi goreng, makan singkong rebus bersama, membuatkan kopi, nonton televisi dan dia selalu terkekeh tiap melihat film horor. Dia suka banget membaca komik Donald Bebek. Novel karya Sydney Sheldon dan S. Mara GD dianggapnya terlalu sadis. Tak bosan-bosannya dia duduk di depan laptop. Melanglang buana lewat internet. Sesekali Facebook-an. Temannya di Facebook melonjak jumlahnya dalam waktu singkat. Cuma, dia tidak mau lagi kulukis. Cukup sekali saja, katanya. Menjelang subuh dia masuk kembali ke dalam lukisan.
            Di Minggu sore cerah ceria, seorang lelaki muda tampan dan gagah mengetuk pintu rumahku. Pancaran aura wajahnya seperti pangeran dalam dongeng Putri Tidur karya H. C. Anderson. Pastilah dia orang kaya-raya. Bau tubuhnya saja sangat wangi. Santun pembawaannya.
            Rupanya dia seorang kolektor lukisan dari Jakarta. Sudah lama penasaran terhadap karyaku. Kutunjukkan tujuh buah karyaku yang masih ada. Langsung diborong semua tanpa ditawar sepeser pun. Sewaktu berjalan melewati kamarku, kebetulan pintunya agak terbuka, dia terperangah. Matanya terpaku pada lukisan Putri Malam. Jantungnya berdegup kencang.
            “Ah, lukisan itu seperti tersenyum kepadaku. Bibirnya bergerak ringan. Matanya berbinar dan berkedip-kedip. Dia bernapas. Ingin bicara kepadaku,” katanya dalam keterpesonaan.
            “O, dia itu anak kandungku,” sahutku ringan.
            “Bapak kan tak pernah nikah. Bagaimana bisa punya anak? Maaf, apakah maksudnya dia anak di luar pernikahan? Di mana dia sekarang Pak? Kalau boleh aku ingin berkenalan dengan dirinya,” suaranya memohon.
            “Maksudku, lukisan itulah yang kuanggap sebagai anakku. Bukankah sejatinya setiap lukisan masterpieces itu merupakan anak kandung dari pelukisnya sendiri?”
            “Ha ha... benar Pak. Bagaimana kalau kubeli juga lukisan itu? Berapapun harganya akan kubayar. Sejujurnya, aku langsung jatuh cinta sekali pandang. Kukira dia berjodoh denganku. Dia tersenyum terus padaku. Ingin ikut pulang ke rumahku. Boleh kubeli kan Pak?”
            Tentu saja tidak kukasih. Dia memohon-mohon dengan berbagai cara. Tetap tak kuberikan. Akhirnya dia pamit. Pulang dengan wajah kecut. Besoknya dia nelepon dari Jakarta. Aku tidak terbujuk. Aneh, pangeran tampan bernama Zulhamdani itu kepalanya benar-benar terbuat dari batu. Pantang menyerah. Tiap hari selama tiga bulan meneleponku terus. Katanya, terbayang selalu oleh senyuman indah Putri Malam. Sampai terbujur di rumah sakit. Dalam kondisi sakit selama dua minggu terus meneleponku tiap hari.
            “Mungkin dia memang jodohku. Ikhlaskanlah aku ikut bersamanya. Memang aku dan dia nanti tak dapat berkomunikasi secara nyata. Sebab dia tak punya kemampuan supranatural seperti yang Ayah miliki. Tapi tak mengapa, asal cintanya terus terpancar kepadaku,” menjelang subuh Putri Malam berbicara kepadaku.
            Tanpa menunda-nunda kubawa lukisan Putri Malam ke Jakarta. Langsung menuju rumah sakit tempat Zulhamdani dirawat. Dia bagai kejatuhan bulan. Dia mau bayar berapa saja. Aku menolak tegas. Kuberikan gratis saja. Konon, tak lama kemudian dia sembuh total.
            Kenapa kini anakku Putri Malam pulang? Sepuluh tahun tak pernah menengokku. Rasa kangenku sering tak tertahankan. Mendadak dia datang sambil menggendong kesedihan. Ada apa dengan anakku? Kenapa dia ingin menangis di pangkuanku?
            “Dia sudah bosan padaku, Ayah. Mencampakkanku dengan kejam. Dionggokkan di gudang bawah tanah. Gelap, pengap, kotor dan panas. Ada tikus menggerogoti tubuhku. Aku tertekan di bagian terbawah dari tumpukan lukisan lain yang tak terurus. Sesak sekali napasku,” anakku tersedu-sedu.
            “Kenapa bisa begitu? Padahal dulu kupesan agar merawatmu baik-baik. Dia janji akan menyanggupinya. Kenapa kau dihinakan seperti itu?” kataku sedih.
            “Dulu memang dia menyayangiku. Sampai dia tak mau menikah, kebutuhan akan rasa cintanya cukup terpenuhi dengan memandangiku tiap malam. Aku dipajang khusus di kamar tidurnya. Berhadapan dengan arah pandang matanya saat terbaring di ranjang. Dia menatap mataku terus hingga matanya terpejam lelap. Aku benar-benar bahagia,” anakku bercerita emosional. Lanjutnya sembari sesenggukan, “Entah bagaimana asal-usulnya, tiba-tiba dia membawa berpuluh-puluh lukisan wanita telanjang. Benar-benar menjijikkan. Jorok, dangkal, penuh nafsu kebinatangan. Semua lukisan lain diturunkan dari dinding, termasuk diriku, diganti lukisan wanita bugil bulat-bulat. Aku dan yang lainnya disia-siakan di gudang bawah tanah. Tak pernah dirawat. Tak pernah ditengok lagi. Sudah tiga tahun ini kujalani penderitaanku.”
            “Bertahanlah dulu Anakku. Akan kuminta supaya kau dikembalikan kepadaku,” bujukku.
            “Tidak mungkin dia mau, Ayah. Semua yang sudah jadi miliknya tak mungkin dilepas lagi. Egonya luar biasa besar. Aku tahu persis watak aslinya. Aku sudah marah tak tertahankan. Aku ingin membunuhnya. Tapi aku tak bisa. Sebab sesungguhnya aku juga sangat mencintai dirinya. Aku sudah meniup semua udara keberuntungan dari rumahnya. Dia pasti akan jatuh miskin tak lama lagi. Akhirnya akan jadi gembel di jalanan. Aku harus segera pergi, Ayah. Aku akan pergi sangat jauh. Jauh sekali. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi. Aku mohon pamit. Mohon doamu, Ayah. Aku mencintaimu. Sangat menyayangimu. Selamat tinggal,” anakku menangis pilu di pelukanku. Lalu pelan-pelan melepaskan diri. Mundur beberapa langkah, berubah menjadi asap tipis, dan lenyap.
            Setarikan napasku yang berikutnya, betapa ajaib, kutatap sebuah pemandangan mengerikan. Gudang bawah tanah rumah Zulhamdani di Jakarta menyala berkobar-kobar. Dengan cepat kobaran itu menjalar ke seluruh rumah. Akibatnya rumah Zulhamdani segera menjelma menjadi api unggun raksasa. Di puncak kobaran api kusaksikan anakku Putri Malam menari-nari sambil menjerit-jerit histeris kesakitan. Aneh, aku bisa melihat jelas pemandangan yang terjadi di Jakarta itu dari dalam kamar tidurku di rumahku Sorosutan Yogyakarta.

Yogyakarta, 7-8 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment