(Esai) Sri Harjanto Sahid - TATIEK MALIYATI GURU SENI PERAN FENOMENAL

TATIEK MALIYATI GURU SENI PERAN FENOMENAL

Oleh: Sri Harjanto Sahid

            Berkah luar biasa saya peroleh saat duduk di bangku SMP tahun 1979. Yakni saat nonton acara Bina Drama di TVRI yang dibawakan oleh Ibu Tatiek Maliyati. Tiba-tiba saya seperti ditunjukkan kepada suatu arah yang mesti ditempuh: jalan keajaiban keaktoran.
            Saat itu saya langsung mendapatkan wawasan baru, bahwa seni bermain drama bukanlah seni berpura-pura. Tapi seni menciptakan peran, penuh tantangan menggairahkan, yang tak ada habisnya untuk dipelajari, dikaji dan diuji. Sebuah dunia ilmu pengetahuan tersendiri yang memiliki daya pesona berlapis-lapis. Ada sistematikanya, ada tangga tak berujung yang mesti didaki sedikit demi sedikit, dan panorama baru terus bermunculan di langit jiwa. Mempelajari seni peran adalah mempelajari manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan, bukan sekadar mempersoalkan tentang bagaimana berakting di atas panggung dengan baik.
            Aktor adalah orang yang dikorbankan. Artinya, dia harus bersedia menenggelamkan kepribadiannya demi memunculkan kepribadian lain yang sedang diperankannya. Betapa untuk bisa melakukan hal ini dibutuhkan kerendahan hati dan ketulusan budi, serta penguasaan ego yang cermat. Aktor bukanlah pemain panggung yang piawai memunculkan kepribadiannya sendiri, dibekali teknik akting terampil dan tubuh amat terolah, yang lalu menjadikan tokoh cerita yang diperankan sebagai kuda tunggangan untuk eksis. Eksis hanya sebagai dirinya sendiri, bukan menjadi karakter peran. Hal yang demikian itu hanya membuatnya sampai pada peragaan dan tidak pensukmaan. Bisa jadi permainannya di panggung tetap menarik hati penonton. Tapi tetap saja dia gagal total memahami filosofi keaktoran.
            Aktor yang hanya sampai pada peragaan belaka bisa disebut sebagai aktor imitasi. Hanya selalu bermain (bermain-main) sebagai tokoh yang diperankan. Tidak menjadi tokoh yang diperankan. Dia hanya menciptakan fisik. Tidak menciptakan roh atau sukma. Ratusan kali dia main dalam lakon drama berbeda akan tampak sama. Bahkan teknik pemeranannya pun sama saja. Gaya pengucapan, cara menarik dan mengeluarkan napas hingga jenis vokal yang dipergunakan, penjelajahan ekspresi wajah, pola gerak dan penguasaan wilayah panggung hanya dari itu ke itu juga. Bagi penonton yang sudah melihatnya beberapa kali, selalu sangat mudah menebak ke mana arah ekspresinya. Setiap kali mendapatkan peran baru dalam lakon baru maka peran itu akan dikemas disesuaikan dengan teknik bermain yang telah dikuasainya. Berbalik dengan aktor non-imitasi, yang mengerti bahwa tiap peran menghendaki pendayagunaan teknik bermain yang berbeda satu sama lain. Satu peran, satu teknik. Sebab sebuah peran adalah sebuah dunia tersendiri. Kehadiran peran mendahului teknik akting, bukan sebaliknya. Peranlah yang mencari dan melahirkan teknik akting, bukan teknik akting yang menjejalkan dirinya masuk ke dalam peran. Dalam metode casting yang ideal, peranlah yang mencari aktor dan bukan aktor yang mencari peran.
            Kesadaran saya tentang jalan keajaiban keaktoran menghadirkan sebuah pencerahan di dalam diri saya. Aktor yang sedang menjelmakan peran berarti tengah melakukan tamasya spiritual: bagaikan keluar dari dirinya sendiri. Sejenak meninggalkan (melupakan) diri sendiri untuk menjadi sosok baru. Betapa romantiknya petualangan seperti ini. Berbagai kemungkinan baru yang penuh labirin dan misteri akan dijelajahi hingga ke tepi-tepi batas kesadaran kemanusiaan. Ya, pemahaman mengenai ide seperti ini menggairahkan minat saya. Berarti keaktoran bisa menjadi obat jalan bagi jiwa yang sakit. Dapat digunakan sebagai terapi bagi keinginan untuk bunuh diri. Boleh dimanfaatkan guna pelarian diri bagi batin yang penuh luka.
            Saya termasuk makhluk yang sangat sukar berbahagia, sejak kanak-kanak hingga sekarang ini. Riwayat gelap keluarga, berbagai kesedihan yang mengguncang sangat hebat, membuat trauma berkepanjangan dan berpotensi mendorong pada ketidakwarasan jiwa. Keresahan, ketidakstabilan, dan berbagai kecemasan filosofis belum cukup diredakan dengan berlatih kungfu dan silat habis-habisan. Sementara otot-otot yang mengeras selalu memprovokasi pikiran untuk mencari lawan berbaku-hantam. Beruntunglah saya berkesempatan menonton Bina Drama Tatiek Maliyati di TVRI. Hampir tak pernah absen saya mengikutinya. Saya terinspirasi dan mendapat banyak pengertian serta semangat hidup yang baru. Saya tahu, sejak nonton acara itu hidup saya akan berubah. Saya tiba-tiba menemukan cara untuk melarikan diri dari diri sendiri yaitu dengan bermain teater. Melalui teater saya mencari penyembuhan jiwa yang sakit. Itulah motif utama saya memasuki dunia seni peran. Bukan karena ingin menjadi aktor. Tapi sekadar sebagai pelarian diri dari kepahitan. Bahwa kemudian berhasil menjadi aktor kiranya hanya efek samping belaka. Suatu risiko logis akibat menekuninya secara total dan tak kenal lelah. Semakin keras berlatih dan tenggelam di samudra ilmu pengetahuan keaktoran maka segala trauma menakutkan semakin bisa ditanggalkan.
            Ibu Tatiek Maliyati bukan guru biasa. Dia seperti suhu karismatik dalam cerita silat karangan Khoo Ping Ho dan S.H. Mintardja. Berkemampuan memancarkan cahaya energi kreatif yang mensugesti para muridnya agar menggali pengetahuan sejati di lubuk sanubarinya sendiri. Tak sedikit guru berilmu tinggi namun tak punya daya menularkan ilmu kepada para muridnya. Yang dibutuhkan dari seorang guru adalah kemampuannya menggugah minat muridnya untuk menenggelamkan dirinya ke dalam samudra ilmu pengetahuan yang dipelajari. Tanpa kata, hanya dengan isyarat sunyi, para murid sudah mengerti apa yang mesti dilakukan. Menularkan ilmu lewat pandangan mata. Mentransfer kesaktian dalam kediaman dengan getaran hati. Perbawanya membuka cakrawala jiwa, menaburkan ilham, kristal-kristal inspirasi dan daya hidup yang baru. Hingga kini tiap kali mengingat namanya yang saya bayangkan adalah seni peran. Dia guru pertama saya dalam seni peran. Saya cuma murid di depan layar kaca semasa remaja. Alangkah beruntungnya para murid yang ditanganinya langsung berhadapan muka.
            Kenapa Bu Tatiek mampu mensugesti para murid untuk memercayai bahwa jalan keaktoran adalah jalan menuju pemuliaan hidup? Karena dia telah menjalani, menghayati dan menyetiai apa yang disampaikannya. Dia tipe guru yang selalu merindukan para muridnya menjadi jauh lebih hebat dari dirinya. Rasa cintanya terhadap dunia seni peran tak terbayangkan. Saat mengajar matanya memancarkan energi kreatif dan api unggun menyala di dalam dirinya sehingga jiwa dan pikiran para murid menjadi hangat, terang dan jernih. Kemampuannya berkomunikasi menakjubkan. Apa yang sulit bisa dijadikannya sangat mudah. Teori Richard Bolelavsky dan Konstantin Stanislavsky yang sukar dipahami dapat dijabarkannya dengan bahasa sederhana. Enteng tapi berisi. Gampang tapi mendalam.
            Berbekal nonton Bina Drama dan nonton latihan teater para mahasiswa Sasdaya UNS Sebelas Maret Surakarta, tahun 1980-an saya bersama beberapa kawan nekad mendirikan Teater Kerotog di Sragen. Anggotanya sekitar 65 orang remaja. Salah satunya J. Isdaryanto B Oetomo. Padahal saat itu saya masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Saya juga nekad menjadi pelatihnya. Soal melatih saya sudah punya modal cukup sedikit. Di SD saya sering melatih ping pong anak-anak lain lantaran saya sering juara tingkat SD di level kabupaten hingga provinsi. Di kelas 3 SMP saya sudah dipercaya jadi asisten pelatih di perguruan silat saya (Tunggal Hati) yang berhak melatih lebih 50 orang. Jadi apa susahnya melatih teater? He he he... nekad saja. Tapi apa hubungannya ping pong dan silat dengan keaktoran? Ah, ternyata amat sangat dekat. Sebentar, nanti saya ceritakan.
            Setamat SMA tahun 1981, J. Isdaryanto B. Oetomo masuk LPKJ (sekarang IKJ) Departemen Teater. Saya masuk Akademi Seni Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI) Yogyakarta lantaran gagal masuk AKABRI. Saya datang ke ASDRAFI dengan pakaian rapi terseterika, sepatu bagus, rambut pendek rapi seperti calon bintang film. Ya, tentu saja karena saya juga punya mimpi ingin jadi bintang film laga seperti George Rudy.
            Baru beberapa hari saya langsung tahu bahwa mimpi saya itu cuma omong kosong. Mimpi itu pun rontok tanpa ampun. ASDRAFI tak punya fasilitas apa-apa. Miskin luar biasa, mungkin kampus termiskin di Indonesia. Cuma ada dua ruang kelas sederhana untuk belajar. Dengan kursi lawasan tahun 1960-an, pegangan tangannya banyak yang rompal, yang sampai ASDRAFI benar-benar tutup tahun 2005 masih belum ganti. Perpustakaannya nol besar, hanya ada satu lemari kecil berisi kurang dari 20 judul buku yang sebenarnya sudah pantas diafkir. Tak ada kamera untuk praktik. Bahkan tustel kecil untuk memotret pun tak ada. Tape recorder pun tak punya. Apalagi televisi, video player, atau proyektor untuk memutar film. Yang ada cuma kamera tiruan dari kardus. Ada maket panggung dari kardus juga dan sebuah kotak trap di pendopo untuk latihan. Para mahasiswanya lebih banyak yang mirip gelandangan dengan mata jalang dan tajam. Pakaian kumal, gondrong dan kebanyakan bersandal jepit. Tak lebih tiga bulan saya pun ikut menjelma menjadi makhluk seperti itu. Segera saya banting dan saya kubur dalam-dalam keinginan saya untuk jadi pemain film. Saya fokus ke teater. Memilih keaktoran sebagai jalan hidup, bukan sekadar pilihan hidup. Bukan pula jalan karier, apalagi jalan mencari nafkah. Keaktoran saya niatkan sebagai langkah menuju pemanusiaan diri sendiri. Saya tidak mau ditipu oleh harapan. Hidup adalah perjuangan, harapan tak dapat diandalkan. Manusia lebih sering ditipu oleh harapan daripada oleh kelicikan. Tangkap saja hari ini dan jangan percaya hari esok.
            Suatu malam saya datang ke pendopo kampus melihat para gelandangan senior saya itu berlatih improvisasi akting. Wah, saya benar-benar terpesona. Akting mereka benar-benar ciamik. Selesai latihan, saya terpesona lagi, saya lihat mereka bergiliran nyedot ganja dari botol yang dibong. Waduh!!
            Besoknya, kuliah pertama diajar oleh Bapak Sri Murtono salah satu pendiri ASDRAFI. Saya bayangkan kalau para mahasiswanya gila pastilah dosennya lebih edan. Ternyata tidak, beliau serba rapi dan necis dengan tubuh sehat terawat. Meski sudah sepuh tetap bugar, sebab penganut ORHIBA. Santun, sabar dan penuh penghargaan terhadap murid. Wajahnya memancarkan pesona kebaikan hati. Saya masih terngiang terus kata-katanya pada hari itu.
            “Kalau mau jadi seniman itu tidak boleh tanggung-tanggung. Harus basah kuyup sekalian. Belajar keras, berlatih keras dan bekerja keras. Menjadi seniman itu tidak boleh punya nilai 7. Bahkan nilai 8 atau 9 belum cukup. Nilai kalian harus sempurna 10. Kalau nilai kalian tidak sempurna 10 maka kalian boleh jadi akan jadi penghuni tong sampah. Tersingkir dari persaingan. Nah, kalau kalian kuliah di kedokteran atau ilmu hukum boleh saja punya nilai rata-rata cuma 6. Kalian akan tetap bisa jadi dokter atau sarjana hukum. Boleh nyuntik atau buka praktik pengacara, dan bisa kaya raya dan terkenal. Tapi kalau jadi seniman nilai kalian rata-rata cuma 8 maka jangan harap istri dan anak kalian besok akan bisa makan kenyang. Jangan pernah berpikir nama kalian akan pernah dibaca orang. Sekali lagi, harus sempurna 10!”
            Kata-kata itu sungguh meracuni pikiran saya hingga sekarang. Dan racun itu saya tularkan pada setiap murid yang belajar pada saya. Di belakang hari saya mendapat kalimat yang sama hebatnya dari Pak Wahyu Sihombing, “Tak ada tempat bagi orang bodoh!”
            Kemudian Pak Sri Murtono melanjutkan kuliahnya yang dahsyat, “Yang dibutuhkan dunia seni itu adalah orang profesional. Dalam dunia profesional tidak ada maaf bagi kesalahan dan kebodohan. Karena itu asal kalian punya kemampuan profesional, saya tidak keberatan kalau kalian nanti setelah lulus merobek-robek atau membakar ijazah di depan saya. Saat ini ASDRAFI diberitakan telah bubar karena tak bisa memenuhi aturan pemerintah yang dipaksakan. Tidak, kita akan tetap berdiri. Pemerintah akan kita lawan. Pemerintah tak akan pernah bisa mengalahkan kita. Yang bisa mengalahkan kita hanya diri kita sendiri. Menangkanlah diri sendiri supaya kita tidak terkapar kalah di hadapan siapapun.”
            Yah, ASDRAFI memang hanya punya semangat. Mahasiswa yang kendor semangatnya pasti tersingkir secara alamiah. Pulang kampung atau pindah tempat kuliah. Di sini kurikulumnya tidak layak. Jumlah dosennya cuma beberapa orang dan angin-anginan. Honornya tidak pantas dan jarang juga dibayarkan sebab memang tak ada uang. Lebih banyak mahasiswa yang tak sanggup bayar uang kuliah tapi tetap boleh-boleh saja ikut kuliah. Manajemennya tampaknya lebih mirip manajemen dapur keluarga daripada lembaga profesional.
            Mahasiswa yang masuk memang diseleksi melalui tes tapi akhirnya semua diterima alias tak ada yang ditolak. Karena itu mutu para mahasiswanya juga tidak jelas. Baik yang menyangkut bakat, intelektualitas, kepribadian maupun kesungguhannya. Akhirnya, seleksi alamlah yang terjadi. Bagi yang tak tahan mengikuti irama kehidupan kampus absurd ini pasti segera terpelanting. Dalam setahun biasanya dua per tiga  menghilang, sesekali saja nongol ikut kuliah tapi sudah tak mau bayar SPP. Angkatan saya 35 orang dan yang lulus tidak lebih dari 4 orang. Kakak kelas saya konon 50 orang lebih, setahun tinggal kira-kira 10 orang, dan seingat saya yang lulus lewat ujian akhir cuma satu orang saja.
            Saya tak perlu iri pada sahabat saya J. Isdaryanto B. Oetomo yang masuk LPKJ. Di sana segalanya jauh lebih memadai, fasilitasnya oke banget, begitupun mutu pengajarannya. Saya pernah masuk ke Teater Luwes saat Pak Wahyu Sihombing memberikan kuliah praktik penyutradaraan dan pemeranan. Begitu serius, sistematis, ilmiah dan tertata sedemikian rupa. Di kampus saya tidak sedisiplin itu. Kuliah terbagus justru diberikan saat tengah malam tiba-tiba dosen saya (Moortri Purnomo atau Sri Sadhono) mengetuk kamar kos saya. Lalu saya diboncengkan ke warung bakmi, ditraktir, diceramahi dan diajak debat soal seni peran dan penyutradaraan sampai warungnya tutup. Hal itu sering mereka lakukan pada para mahasiswa lainnya juga. Perdebatan sering pula dilakukan di pos ronda, kamar kos, pendopo kampus atau rumah mereka yang tiap saat bebas dikunjungi pada jam berapapun.
            Hebatnya lagi, kehidupan kampus ASDRAFI yang serba tidak jelas, menggelisahkan, penuh konflik sekaligus persaudaraan yang kental, membuat pikiran dan batin seperti selalu bergolak. Frustrasi besar dialami siapa saja yang aktif di kampus dan konon inilah penggodogan jiwa yang sesungguhnya. Hampir tiap angkatan selalu ada satu atau dua orang yang gila, benar-benar gila alias miring otaknya. Saya pernah dijagokan oleh para senior yang berpengaruh akan menjadi mahasiswa yang pasti gila. Lantaran saya tak kenal lelah latihan berteriak-teriak dan meliuk-liukkan badan di pendopo kampus. Sehari bisa lebih 15 jam di pendopo. Jarang pulang ke tempat kos. Pernah pula terjadi, mahasiswa mati menggantung diri di kampus. Beberapa kali mahasiswa ditangkap polisi karena kasus narkoba, nyopet atau maling motor. Tapi jangan dikira hanya kenegatifan saja yang berlangsung. Yang positif lebih banyak tentunya. Seperti latihan superkeras, diskusi-diskusi panjang penuh mutu, perlombaan baca buku, dan pengolahan daya hidup yang menakjubkan. Jiwa-jiwa mulia ditempa. Jiwa-jiwa berkarat diamplas sampai berkilat-kilat. Pendeknya, kehidupan di kampus ini sehari-hari rasanya lebih dramatis daripada drama di panggung.
            Dengan situasinya yang seperti itu tiap orang karakternya tergembleng. Nyali singanya tumbuh. Keunikan kepribadiannya terbentuk. Satu sama lain segera memiliki gaya ekspresi yang berbeda. Baik saat di panggung maupun laku kesehariannya. Perasaan dan jiwa menjadi peka akibat frustrasi, berpikir keras, merenung seperti gunung dan kontemplasi urip sakjeroning mati lan mati sakjeroning urip. Emosi menjadi lentur dan hidup. Otomatis hal itu memudahkan untuk memasuki wilayah pembelajaran seni peran. Ditambah latihan keras di pendopo kampus yang luas. Teman-teman yang kuat bertahan biasanya menghabiskan waktunya di pendopo dan pelataran. Mengolah pernapasan dan vokal, bernyanyi, membaca puisi, reading naskah, latihan olah tubuh dan gerak indah, pantomim, improvisasi akting dan sebagainya. Ini cara terbaik membuang kefrustrasian. Banyak hal yang diuraikan oleh Stanislavsky sebenarnya secara alamiah telah dijalankan oleh teman-teman ASDRAFI dalam kehidupan keseharian. Terutama yang menyangkut pendayagunaan imajinasi, keyakinan dan rasa kebenaran, ingatan emosi, hubungan batin, adaptasi, garis yang tak putus-putus dan kreativitas batiniah. Berbagai guncangan jiwa, problem yang dihayati, dan kefrustrasian yang diatasi akhirnya menjadi kekayaan batin tak terkira nilainya. Menjadi arsip berharga yang tersimpan di almari pikiran.
            Bagaimana memahami semua soal tersebut dalam sebuah keterkaitan yang membentuk kesatuan sistem dalam berolah seni peran? Yang ibaratnya menyatukan jari-jari ke dalam kepalan tangan agar dapat digunakan untuk meninju sasaran dengan telak. Penjelasan mengenai hal itulah yang dibutuhkan oleh teman-teman ASDRAFI. Para dosen kami tidak terbiasa berpikir secara teoretis dan sistematis. Mereka lebih banyak mengajak praktik langsung tanpa penjelasan teoretis yang terinci dan tertata. Ilmu dipahami lewat laku. Seni adalah napas dari napasku. Saya tak tahu, apakah itu karena keterbatasan kemampuan dalam menerangkan atau karena apa. Yang jelas, untuk bisa menerangkan sistem seni peran Stanislavsky dibutuhkan kemampuan tersendiri. Buku Enam Pelajaran Pertama Bagi Calon Aktor karya Richard Bolelavsky dan Persiapan Seorang Aktor karya Konstantin Stanislavsky (keduanya terjemahan Asrul Sani) serta Rendra Tentang Bermain Drama memang menjadi semacam kitab suci di ASDRAFI. Hampir semua teman menentengnya ke mana-mana dan mendiskusikan sebisanya. Buku Rendra mudah dimengerti. Dua buku lain ada bagian-bagian yang betapa sukar dicerna. Akhirnya, tiap orang berusaha menafsirkannya dengan caranya sendiri. Tentu saja ada yang salah kaprah dan ada juga secara kebetulan kok benar.
            Saya amat sangat beruntung karena pada tahun pertama kuliah sahabat saya J. Isdaryanto B. Oetomo ketika pulang ke Sragen meminjamkan fotokopian Theater and The Director mata kuliah Departemen Teater IKJ-LPKJ dosen Wahyu Sihombing. Ada nama Fanny G. Zahri (Teater Sinyal), tidak jelas apakah ini catatan Fanny saat mengikuti kuliah Pak Wahyu Sihombing lalu diketik ulang ataukah semuanya memang asli ketikan dari Pak Wahyu Sihombing sendiri. Yang jelas buku ini menolong saya untuk masuk ke sistem seni peran Stanislavsky. Segera saja fotokopian ini menjadi kitab suci saya yang baru. Hingga kini, bersama Persiapan Seorang Aktor, entah sudah berapa ratus kali saya membacanya. Berulang-ulang, tak bosan-bosan, dan tiap kali membacanya saya merasa mendapatkan pengertian baru dan spirit baru. Tiap kali main atau menyutradarai drama, saya merasa perlu membaca kuliah Pak Wahyu Sihombing ini berulang kali. Ditambah dulu mengikuti Bina Drama dan membaca Klinik Akting Tatiek Maliyati di tabloid Film membuat saya merasa menemukan karakter keaktoran saya. Yang barangkali agak berbeda dengan para senior saya di ASDRAFI. Saya sering merasa, dalam seni peran secara wadag saya IKJ dan secara roh saya ASDRAFI. Pengutaraan cenderung IKJ tapi pendalaman cenderung ASDRAFI, keduanya mesti saya padukan dalam diri saya.
            Ramuan ilmu ASDRAFI dengan IKJ itu diuji tahun 1982. Usia saya 21 tahun, masih ingusan kata para senior saya, tapi mereka yang rata-rata di atas 30 tahun mengajak main saya dalam lakon Kebebasan Abadi karya CM. Nas. Saya di-casting sebagai Sersan. Peran tersulit, paling menantang, sekaligus paling menarik. Pemainnya 5 orang, di antaranya aktor hebat Yoyok Aryo dan Sulitno Harahap. Ikut Festival Drama Perjuangan Kemerdekaan Tingkat Nasional. Memperebutkan trofi Ibu Tien Soeharto di Jakarta. Saya memang paling tertinggal karenanya berusaha mengejar habis-habisan. Di luar hari latihan bersama, saya selalu ke Pantai Parangkusumo berlatih habis-habisan sendirian di sana. Semua lawan main saya imajinasikan kehadirannya. Buku Stanislavsky dan Wahyu Sihombing selalu saya tenteng dan baca di sela-sela latihan. Saya sering sekali ditekan dan dipojokkan oleh para senior saya. Mereka bilang saya aktor bebal yang kebanyakan makan teori, sudah main di panggung tapi masih sambil mikir teori, tidak pakai rasa, kering tak punya greget dan sebagainya. Saya beberapa kali nangis (ah cengeng sekali, tapi ini tetap nangisnya lelaki sejati). Toh, grup kami Teater Lebur sukses menjadi salah satu dari lima grup yang masuk final. Dan hebatnya, saat final berlangsung kira-kira 3 bulan kemudian, saya ditinggal tidak diajak main tanpa pemberitahuan. Peran saya direbut oleh guru saya Yoyok Aryo dan peran dia dijual pada orang lain. Padahal di Yogya saya terus latihan keras sendirian hampir tiga kali seminggu ke Parangkusumo. Bergulung-gulung di tepian pantai menyatu dengan alam, memaki-maki langit, menghujat bumi, dan menghasut angin laut. Eh, tahu-tahu kok saya di PHK tanpa pesangon, dirahasiakan, tanpa penjelasan. Alangkah sakitnya. Hasilnya mereka kalah telak. Yang menang Teater Luwes IKJ dan aktor terbaiknya Arthur Tobing.
            Tahun 1985 festival itu diadakan lagi. Teater Lebur ikut lagi dan saya diajak main lagi. Lakonnya sama, cuma dua pemain lama tak mau ikut. Salah satu pemain barunya Pinurti SP (Pipien Putri) dari tari IKJ. Tentu saya sudah makin paham dengan teori Wahyu Sihombing. Tapi Theater and The Director dan Persiapan Seorang Aktor tetap saya tenteng tiap kali latihan. Juga Psikoanalisa Sigmund Freud, The Age of Reason Jean-Paul Sartre, Manusia Pemberontak Albert Camus, Zarathustra Nietzsche, dan Memories, Dreams, Reflections C.G. Jung. Dan saya masih dipojokkan juga oleh para senior saya. Tetap dibilang aktor bebal, otak buku, nggak pakai rasa, ngomong sama perempuan kok seperti ngomong sama pohon kelapa, terlalu mikirin teknik dan sebagainya. Saat latihan di TIM, sutradara dan pemain serta puluhan alumni ASDRAFI yang sudah malang melintang di Jakarta kompak menyalahkan cara bermain saya. Saya dianggap sebagai titik terlemah dalam grup. Dosen saya, Sri Sadhono, yang kebetulan ada di Jakarta dan nonton latihan, juga sama penilaiannya. Tapi beberapa teman IKJ dan teaterawan TIM yang ikut nonton dan evaluasi membela saya. Menilai permainan saya paling tidak jelek. Menjelang pentas, karena terus diejek oleh senior lainnya saya ngamuk. Dengan agak kekanak-kanakan saya berkoar, “Kalian boleh saja aktor hebat. Tapi saya ini punya mental juara. Dari SD sampai SMA saya juara kelas terus. Puluhan kali saya juara ping pong dan silat. Tujuh kali saya juara satu baca puisi se-DIY dan Jateng. Dalam perlombaan mental juara itu lebih penting!” dan mereka semua cuma tertawa. Saya tetap dikatain sebagai aktor bebal berotak buku yang miskin rasa. Saya jawab, “Kalian wong ASDRAFI terlalu mendewakan rasa tapi lupa menggunakan otak. Makanya permainan kalian lamban kayak keong. Wong Jakarta nggak bakal sabar ngeliatnya!” Dan hasil akhir dari festival itu membuat saya sendiri pun tidak terkejut. Saya terpilih sebagai Aktor Terbaik. Teater Lebur hanya juara 2. Jurinya Tatiek Maliyati, Ikranagara, Dr. Amoroso Katamsi, Armyn Kelana, dan Wahyu Sihombing. Yah, menjadi aktor itu ternyata cuma bisa terjadi karena adanya kutukan alam. Saya sudah mendapat kutukan itu. Siapa pun yang tidak disesatkan jalan hidup di wilayah terkutuk tak bakalan bisa menjadi aktor betapa pun besar usahanya. Yang tak terkutuk tapi seolah terlihat duduk di singgasana, suatu saat pasti terpelanting ke lubang lain yang mungkin malah jauh lebih nyaman.
            Semakin menekuni Stanislavsky maka saya semakin paham betapa besar manfaat bermain ping pong, catur, sepakbola dan silat bagi keaktoran. Ping pong dan catur membuat konsentrasi dan imajinasi dalam garis yang tak putus-putus jadi terlatih. Sewaktu tempo permainan mencepat, irama gerakan mengalir seperti air bengawan. Dan ketika berhenti tiba-tiba, ada energi kreatif yang tetap berputar dan menggelegak dalam tubuh, kediaman terasakan sebagai puncak dari segala gerak. Begitupun dalam berpikir cepat dan Stanislavsky menekankan keharusan berpikir cepat pada aktor. Sepakbola sangat mengasah daya spontanitas, ketepatan timing dan kesantaian bermain. Bahkan bagaimana tetap bisa santai di puncak ketegangan, santai saat emosi tinggi, santai ketika tenaga raksasa dikerahkan dalam gerakan kuat bertempo cepat. Maradona adalah contoh bagus. Betapa aura keaktoran terpancar dari tubuhnya saat dia melenggang dahsyat di lapangan. Makhluk raksasa yang bersemayam di dalam dirinya dibangunkan, menyatu diri, mengajak si boncel menari-nari memecah kebuntuan inspirasi. Aktor pun mesti membangunkan raksasa yang tidur di dalam dirinya ketika sedang naik panggung.
            Guru silat saya, Ahmad Jamil, mengajarkan bahwa jagoan sejati tidak akan pernah bertarung. Sebab tanpa mengepalkan tangan sudah bisa menaklukkan lawan. Kalau lawan bisa ditaklukkan dengan senyuman dan pandangan mata kenapa tinju mesti dikepalkan? Karena itu jangan sekali-sekali membuka toko kalau tidak bisa tersenyum. Dalam bersikap betapa perlunya menjaga ilat (lidah, tutur kata), ulat (ekspresi wajah) dan polat (pandangan mata). Bukankah kesemua hal itu berkaitan dengan bagaimana seorang aktor membangkitkan pesona dirinya.
            Ketika memainkan serangkaian jurus janganlah bergerak seperti menghafal tapi bergeraklah secara naluriah dan otomatis. Mengalun bagaikan ombak. Saat terdiam mesti kokoh seperti batu karang. Nah, Rendra juga mengajarkan bahwa bagi aktor teknik itu dipelajari untuk dilupakan. Artinya harus mendarah daging dan biarkan keluar dengan sendirinya secara otomatis. Spontanitas menjadi daya penyegar bagi penciptaan seni. Dalam spontanitas, misteri abadi dan kesempurnaan kemanusiaan menggumpal dalam keterlepasan. Kepenuhan memahkotai kebebasan.
            Dalam bersilat saat sedang bergerak sangat pantang sambil berpikir tentang gerakan yang akan dilakukan selanjutnya. Biar saja gerakan berikutnya itu muncul tiba-tiba dengan sendirinya seolah-olah belum pernah dikenali. Nah, pelajaran Tatiek Maliyati yang paling saya sukai adalah tentang pengucapan dialog. Katanya, kesalahan terbesar aktor adalah ketika sedang mengucapkan suatu kalimat sambil mengingat-ingat kalimat berikutnya yang akan diucapkan. Seharusnya biarkan kalimat berikutnya itu bermunculan begitu saja, seolah-olah baru pertama kali terucapkan meskipun sebenarnya sudah ribuan kali diucapkan dalam latihan. Saat mendengarkan lawan main mengucapkan dialognya, harus benar-benar didengarkan. Jangan justru memikirkan dialog yang akan diucapkan seusai lawan main berucap. Kunci utama seni akting adalah mendengarkan. Akting itu perbuatan. Tapi yang terpenting dalam akting itu bukan perbuatan itu sendiri melainkan apa yang menyebabkan perbuatan itu lahir. Artinya harus ada motif. Dan motivasi itu digerakkan oleh emosi yang menjadi motor untuk menuju kepada sasaran. Namun saat berakting jangan sesekali memikirkan hasil. Sebab hasil itu hanyalah akibat yang akan terjadi dengan sendirinya. Jika aktor sedang melakukan sesuatu, jangan berpikir dan merasa sedang melakukan sesuatu, tapi lakukan sesuatu itu begitu saja.
            Guru silat saya sering meminta menghitung beras satu gelas dengan mengucapkan hitungan secara cepat dan keras. Kalau salah atau ragu-ragu harus diulang dari awal lagi. Rupanya hal itu untuk melatih konsentrasi, kecerdasan, kesabaran, dan pengendalian diri. Berpuasa ngrowot, mutih, ngebleng pati geni. Sewaktu kelas 2 SMP saya pernah ngebleng pati geni (berpuasa di kamar tertutup tanpa cahaya) tiga hari tiga malam tanpa minum setetes air pun dan tanpa makan sebutir nasi pun. Betapa berat dan ekstremnya latihan ini. Bukan untuk mendapat kesaktian atau ilmu gaib tapi sebagai upaya untuk berdialog dengan diri sendiri, menyuruk ke dalam lubuk kemanusiaan sendiri, memahami sangkan paraning dumadi dan menyelaraskan diri dengan irama semesta raya. Bukankah dalam ajaran Stanislavsky juga disyaratkan pentingnya pemahaman diri sendiri bagi seorang aktor?
            Lalu ada juga latihan aneh dan berat. Secara berombongan dari lepas maghrib berjalan keluar rumah perguruan ke arah mana saja tanpa tujuan yang direncanakan hingga matahari terbit harus sampai lagi di rumah perguruan. Tak boleh berhenti sama sekali. Tak boleh berbicara, bergumam atau bersiul, bersentuhan tubuh dan berjalan di bawah teritisan rumah. Jika satu orang saja gagal maka semuanya dianggap gagal total. Nyatanya kami lebih sering gagal justru pada saat menjelang matahari terbit. Ini bentuk latihan kerja kolektif dan penguasaan diri. Rupanya hal seperti ini juga dilakukan Bengkel Teater, Teater Alam Azwar AN, ASDRAFI dan banyak grup teater lain.
            “Kuasailah emosimu dan jangan dikuasai oleh  emosimu. Kuasailah pikiranmu dan jangan dikuasai oleh pikiranmu. Kuasailah tubuhmu dan jangan dikuasai oleh tubuhmu. Kuasailah jiwamu dan jangan dikuasai oleh jiwamu. Kuasailah egomu dan jangan dikuasai oleh egomu. Kuasailah dirimu dan jangan dikuasai oleh dirimu. Jangan ragu-ragu ketika sedang ragu-ragu. Tetaplah yakin di dalam keraguan. Kuasailah situasi dan kondisimu dan jangan dikuasai oleh situasi dan kondisimu. Di dalam ruang yang sangat terbatas harus dimungkinkan lahirnya gerakan yang tak terbatas. Manjing sakjeroning kahanan,  Inilah filosofi perguruan silat Tunggal Hati di Sragen yang saya ikuti. Bukankah kesemuanya itu merupakan jembatan yang mulus untuk menuju kepada seni peran Stanislavsky.
            Guru silat saya selalu bilang, “Bersilatlah tapi jangan membuat dirimu bersilat. Kalahkan lawanmu tapi jangan membuatmu mengalahkannya.” Dan saya kemudian mengadaptasikan pengertian ilmu itu ke dalam seni peran. Menjadi, “Beraktinglah tapi jangan membuat dirimu berakting. Bermainlah tapi jangan membuat dirimu bermain. Menyanyilah tapi jangan membuat dirimu menyanyi. Bicaralah tapi jangan membuat dirimu berbicara. Masukilah peranmu tapi jangan membuatmu memasuki peranmu. Hayatilah peranmu tapi jangan membuatmu menghayati peranmu. Dengarkan tapi jangan membuat dirimu mendengarkan. Lihatlah tapi jangan membuat dirimu melihat, dan seterusnya. Nah, bukankah Stanislavsky juga membedakan antara melihat dengan kelihatannya melihat atau seolah-olah melihat? Mendengar dengan seolah-olah mendengar atau kelihatannya mendengar? Berjalan dengan kelihatannya berjalan atau seolah-olah berjalan?
            Dalam bersilat saya biasa menerapkan gerakan mengalir, pikiran dan perasaan juga mengalir. Begitu jiwa bergerak, badan langsung bertindak. Dan saat badan bertindak, jiwa terus bergerak. Begitu seterusnya. Biarkan intuisi, inspirasi dan ide mengalir lepas seperti keran yang dibuka sehingga air memancar dan mengalir mencari jalannya sendiri.
            Ternyata di ASDRAFI dosen akting saya Sri Sadhono juga mengajarkan metode akting mengalir. Senior saya Zulhamdani AS yang ahli tenaga dalam dan gerak indah melatih saya bergerak bagai gerakan daun melayang.
            Dulu Pak Ahmad Jamil melatih para murid kungkum (berendam) di sungai berjam-jam pada tengah malam, diam tanpa bergerak. Tujuannya untuk membaca gejala-gejala yang terjadi di dalam tubuh dan jiwa. Lebih mengenali otot dan urat serta jalannya peredaran darah. Memantapkan keyakinan diri. Agar mengenal keindahan dan keluhuran kemanusiaan melalui jiwa dan tubuh kita sendiri. Ternyata Moorti Purnomo juga mengajak latihan kepekaan dengan kungkum di Sendang Kasihan pada jam 12.00 malam untuk menyatu dengan alam, dalam upaya mencapai kematangan sukma. Dengan sukma yang matang seorang aktor akan bersikap bijak dalam membawakan perannya. Dan guru utama saya, Yoyok Aryo, menekankan pentingnya kemantapan hati dalam menjelmakan peran. Jangan diganggu keraguan, mantap saja kayak membalikkan telapak tangan. Kadangkala aktor memang tidak perlu mengerti tapi harus menjadi. Wawasan dan referensi yang luas wajib dijinakkan agar tidak menjadi ganjalan. Dalam upaya untuk menjadi maka pengertian harus dicegah sebagai penjegal jalan.
            Seorang aktor mesti menenggelamkan kepribadiannya sendiri demi memunculkan kepribadian peran yang sedang dimainkan. Bukan berarti kepribadiannya sendiri itu dibunuh atau dihilangkan. Sama sekali tidak. Justru secara sangat sadar diaktifkan untuk memunculkan karakter peran yang digelembungkan dan dilambungkan alam bawah sadar. Jadi karakter peran bisa lahir karena didorong keluar oleh karakter aktor. Permainan bawah sadar yang dominan tetap dikendalikan oleh kesadaran yang sengaja ditipiskan. Bukankah untuk bisa melakukan hal seperti itu dibutuhkan penguasaan diri dan ketulusan budi?
            Kematangan aktor bisa dipacu dengan sebanyak mungkin memainkan peran dan lakon yang berbeda. Tentu dengan kesungguhan dan totalitas. Pengalaman menjelajah medan-medan baru membuat daya adaptasi dan intuisi menguat dan menajam. Karena ASDRAFI jarang berproduksi maka saya bertualang ikut bermain di berbagai grup. Cara, teknik, gaya dan disiplin yang berbeda seringkali membuat saya kepontal-pontal. Tapi kesulitan itu berkah, membuat banyak belajar dan menemukan ilmu baru. Aktor yang ingin berkembang harus menyukai dan selalu mencari kesulitan baru untuk ditaklukkan. Tak boleh selalu berjalan di jalan yang mulus. Prajurit yang tubuhnya penuh bekas luka di kelak hari pasti lebih waspada. Siapa yang ingin cepat mati menyepilah di puncak gunung yang sunyi. Yang ingin berumur panjang, masuklah ke tengah-tengah badai yang bergolak.
            Pengalaman sangat berharga saya peroleh saat saya untuk kesekian kalinya main dengan Teater Jeprik. Sudah lebih 3 tahun saya tidak bertemu Noor W.A karena pertengkaran besar. Tiba-tiba kami berpapasan di gang sempit. Tubuhnya kurus, tangannya memegang naskah. Kasihan amat. Singkat kata, dia mau pentas tapi peran utamanya yang dia mainkan sendiri tak membuatnya puas. Saya didesak untuk memainkannya. Lakonnya Sang Aktor, berdurasi sekitar dua jam dan selama itu pula tokoh Sang Aktor terus ada di panggung. Pentas di Purna Budaya, empat hari lagi. Edan!
            Saya selalu mendahulukan persahabatan daripada seni. Kesenian saya boleh rusak tapi persahabatan mesti dijaga keutuhannya. Istri dan anak jauh lebih penting daripada teater. Sepiring nasi lebih berarti daripada selautan puisi yang tak menyelesaikan kelaparan badan. Kalau harus memilih antara hidup dan seni, maka saya memilih hidup. Hal itu tidak berarti saya boleh mengkhianati kesenian demi mengejar sekarung beras. Sama sekali tidak! Acapkali saya lebih berpihak pada kuantitas daripada kualitas. Tapi manakala suatu saat kualitas mesti didahulukan maka saya pun bersikap tegas. Bagaimanapun, seni itu untuk kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, bukan sebaliknya. Karenanya, di Yogya saya sering main sepanggung dengan anak-anak SMP atau SMA yang buta akting. Asal semuanya bisa senang, hal itu sudah cukup bagi saya.
            Demi persahabatan, ajakan Noor W.A saya sanggupi. Soal menghafal naskah, saya bisa sangat cepat. Hari pertama dan kedua saya bergabung dalam latihan. Hari ketiga, gladi resik dan tampak lancar. Usai gladi resik kira-kira jam 11.00 malam, Noor W.A selaku sutradara bilang bahwa harmoni permainan tak tercapai kalau saya tetap memainkan peran Sang Aktor. Dia minta bertukar peran dengan saya. Ini lebih edan lagi rasanya! Artinya, saya harus menghafal peran baru lagi hanya dalam waktu kurang dari sehari. Masih dipotong lagi waktu untuk istirahat tidur, mandi, dan makan. Tak ada lagi kesempatan latihan bersama. Besok malam datang langsung main. Padahal peran baru itu juga sama beratnya, dua jam dari awal sampai akhir juga di panggung terus. Noor W.A menyerahkan sepenuhnya kepada saya, bergerak ke mana saja, terserah. Silakan beradaptasi total dengan situasi dan suasana yang berkembang di panggung.
            Kala itu Teater Jeprik dan Noor W.A sedang naik daun dan jadi pusat perhatian. Reputasi saya sebagai aktor teater tampaknya juga sedang jadi sorotan. Makanya, sebagian pengamat teater dan teaterawan lainnya menganggap keputusan saya mendukung pementasan itu sebagai langkah bunuh diri. Noor W.A dicurigai sengaja mau menjatuhkan dan menghancurkan reputasi saya. Tentu saja saya tidak memercayai pergunjingan itu sama sekali. Saya yakin bisa mengukur kekuatan saya sendiri. Dan Noor W.A sebagai seniman sejati tidak akan pernah menghancurkan karyanya sendiri.
            Toh, pentas pun akhirnya berjalan lancar. Cukup sukses dan mengejutkan serta memunculkan berbagai wacana baru. Saya sendiri merasa mendapatkan anugerah yang terindah. Yakni menemukan pencerahan dalam berolah seni peran. Memetik makna dan pengertian baru dalam menghayati kebebasan kreativitas. Betapa indahnya bermain lepas, ikhlas, tulus budi, dan menjelmakan peran semudah membalikkan telapak tangan. Tanpa prasangka apa pun menaruh segala teknik akting akademik di sekujur alam bawah sadar. Samar-samar teka-teki sunyi pada bagian-bagian tersulit metode Stanislavsky terkuak perlahan. Bermain seperti tidak bermain. Ah, alangkah nikmatnya akting tanpa berakting.
Kosong itu penuh. Penuh itu kosong. Rahasia berjalan di atas air adalah mengetahui di mana letak batu. Hanya yang bernama cinta merahasiakan jejak dan bayangannya.
            Buah keajaiban apa yang bisa saya petik di jurusan Teater ISI Yogyakarta? Saya masuk ke sana tahun 1985 sebagai mahasiswa angkatan pertama setamat resmi dari ASDRAFI tahun 1984. Saya bilang tamat resmi, sebab sekolah di ASDRAFI itu sesungguhnya tidak ada tamatnya. Harus jadi murid seumur hidup. Berguru pada diri sendiri: pada keheningan roh sejati. Belajar untuk menjadi manusia. Memuliakan kemanusiaan. Teater dihayati sebagai ilmu pengolahan kemanusiaan untuk memanusiakan manusia. Semua mimpi dan omong kosong menjadi sangat berharga. Di ISI yang penuh fasilitas alangkah berbeda. Lemahnya pemahaman kolektif mengenai esensi berteater membuat jiwa-jiwa mengering. Pengamat teater Indra Tranggono pernah menulis bahwa mahasiswa teater ISI bagaikan anak-anak ayam yang mati di lumbung padi. Tahun pertama saya terpesona oleh pengeroposan bakat yang saya alami. Kepekaan artistik saya terasa mengendur tajam.
            Dosen seni peran saya lulusan Fakultas Geografi UGM. Saat mengajarkan praktik konsentrasi mengatakan, “Ayo, kosongkan pikiran kalian!” Dan saat melatih meditasi menginstruksikan, “Ayo, kosongkan diri kalian!” Wah, mati aku!!! Bukankah kalau pikiran dikosongkan malah bisa jadi linglung dan edan karena kemasukan setan? Dan bukankah yang punya ilmu mengosongkan diri itu hanya Mandala si Siluman Sungai Ular dalam komik jadul karangan MAN? Dalam film laga tokoh Mandala diperankan oleh Barry Prima. Oke, dalam fiksi silakan saja mengosongkan diri sepuasmu. Tapi dalam realitas abad komputer ini bisakah manusia mengosongkan diri? Kalau diri dikosongkan terus piye? Ke mana darah harus dikuras dan sukma didudukkan? Nah, saya mencoba mengoreksi dengan penyampaian yang sopan. Bahwa konsentrasi itu memusatkan perhatian pada satu tujuan, bukan mengosongkan pikiran. Dan meditasi itu antara lain mengheningkan jiwa dari persoalan dan kebisingan dunia, bukan mengosongkan diri. Saya pun mendapatkan hadiah indah, nilai pemeranan saya dapat D. Konon sampai bertahun-tahun para adik kelas saya tetap diajari ilmu mengosongkan diri milik Siluman Sungai Ular itu.
            Kira-kira mulai tahun ketiga para pakar didatangkan jadi dosen luar biasa untuk beberapa semester. Di antaranya Bakdi Soemanto, Ashadi Siregar, Azwar AN dan Mbah Guno. Situasinya sudah terlanjur tidak kondusif. Para mahasiswa semau gue saja. Lebih suka lari ke buku-buku dan bertualang ke luar kampus. Seringkali kalau jam kuliah tiba harus dicari-cari, dari kejauhan sekretaris jurusan (Mas Sumpeno B.A) berteriak memanggil-manggil agar pada mau masuk kelas. Ha ha ha... siapa yang butuh?
            Para pakar itu tak memiliki ruang dan peluang untuk melakukan pembinaan lebih dekat. Tidak kaku, fungsional dan formal, kering dan mekanik. Saya pribadi lebih banyak menyerap ilmu dari jurusan tari. Ikut mendukung dalam karya M. Miroto, Cynthia MT Sumukti, V. Ida Riyanti, Begawan Ciptoning dan yang lainnya. Kelenturan tubuh jadi lebih terolah. Muncul pemahaman tentang melejitkan kekuatan energi raksasa di tengah keheningan gerak dadakan.
            Lantas apa yang didapat dari perkuliahannya? Wah, banyak sekali. Teori sastra melimpah ruah, psikologi dan filsafat, ilmu melawaknya Mbah Guno yang ampuh, apresiasi ketoprak Handung Kusudiarsono, rahasia kesaktian menulisnya Ashadi Siregar, berbagai teori teater yang dingin, bisu, pucat pasi dan tak berdarah. Tapi dari kesemuanya amat sedikit yang memberi jawaban tentang kebutuhan pokok berteater. Bukankah teater itu praktek dan pengalaman, dan bukan cuma teori dan khayalan? Teater itu pertunjukan, bukan pemikiran. Teater adalah performance, bukan literatur. Teater adalah keringat. Belajar teater hanya melalui teori ibarat melakukan perjalanan lewat peta.
            Kesan mendalam saya rasakan ketika aktor Tapa Sudana yang main Mahabharata bersama Peter Brooks memberikan workshop kecil bermakna besar. Perlunya mandi vibrasi getaran bumi dan menyelaraskan diri dengan irama semesta raya. Lalu tahun 1987 Pak Wahyu Sihombing dan Bu Tatiek Maliyati datang memberi kuliah umum selama dua hari. Saya berkesempatan langsung mendengarkan uraiannya mengenai isi kitab suci saya Theater and The Director. Sayangnya, hanya sekali itu saja Pak Hombing  dan Bu Tatiek datang.
            Dengan beberapa teman ISI saya bergabung dengan seniman luar antara lain Mas Genthong HSA, Suprapto dan Leen Willaeys (Belgia), membentuk Sanggar Teater Aksara. Sanggar tempat berlatih difasilitasi oleh penyair Bambang Widiatmoko. Hampir dua tahun kami berlatih habis-habisan dengan disiplin sangat keras dalam suasana kekeluargaan yang kental. Mas Genthong HSA berperan membuka cakrawala wawasan kebudayaan. Hanya sesekali melatih pemeranan. Theresia Swandayani melatih olah tubuh. Saya sebagai instruktur utama berkesempatan menerapkan metode keaktoran “peragaan IKJ, pensukmaan ASDRAFI”. Tentu saja mengarah ke seni peran realisme Stanislavsky dan Richard Bolelavsky.
            Salah satu lakon produksi kami adalah “Awas” naskah Putu Wijaya. Sebagai sutradara dan pelatih akting saya beranggapan penggarapan lakon ini sebagai pendalaman keterampilan penerapan teknik bermain, penguasaan badan dan stamina serta intuisi, meliarkan daya tarik-ulur fantasi dan imajinasi. Juga penajaman spontanitas yang terukur dan penerobosan kemungkinan misteri artistik yang tak terduga. Ini hanya latihan dasar sebelum menuju pola akting realis yang esensial. Berat tapi asyik, hampir setahun latihan dasar doang, baru kemudian pegang naskah. Banyak latihan improvisasi gerak, wicara hingga menata benda-benda. Memahami keselarasan permainan gobak sodor dan buku resep masak-memasak untuk diterapkan dalam penciptaan teater. Saya ciptakan pula metode, teknik dan berbagai cara berlatih yang baru untuk didalami bersama-sama. Terutama serapan dari ilmu silat dan kawruh kejawen. Saya minta teman-teman mengamati Piala Dunia 1986 yang tengah berlangsung. Bagaimana Maradona mengelola energi kreatifnya secara intuitif, daya mistisnya yang menyihir, kewaspadaan imajinasinya yang liar, dan terutama keluruhannya dalam permainan kolektif. Bermain lepas bebas bagai kuda liar dari ruang gelap. Untuk memahami gaya IKJ kami mencermati ekspresi akting Dedy Mizwar, Didi Petet, Ray Sahetapy, Mathias Muchus, Eeng Saptohadi dan Rachman Yacob. Untuk mendalami gaya ASDRAFI kami telaah keunikan akting Maruli Sitompul, Koesno Sudjarwadi, Hendra Cipta, Mien Brojo dan Yoyok Aryo. Yah, menurut saya mereka itu memang contoh terbaik untuk melihat manusia yang dilahirkan khusus untuk menjadi aktor.
            Alhasil, lakon “Awas” cukup meyakinkan saat dipentaskan keliling ke berbagai kota. Lebih dari apa pun, pembelajaran yang superkeras telah memunculkan pekerja teater militan dan dedikatif. Mereka yang terlibat antara lain Whani Darmawan, R. Iwan Gardiawan, Winsa Prayitno (kini di Taman Budaya Lombok), Retno Budiningsih dan Iwul Ida Riyani (kini beraktivitas teater di Jakarta), Aziz Fikri (Taman Budaya Riau), Bagus Putu Parto (Blitar), Untung Erha (Batam), Lephen Purwarahardja (dosen ISI). Pernah terlibat juga Bambang JP (TVRI Yogya) dan Dewo PLO.
            Kalau belakangan ini Whani Darmawan, Retno Budiningsih, Winsa Prayitno dan R. Iwan Gardiawan menyambangi saya, maka diskusi soal pembelajaran superkeras di masa lalu kembali terulang. Sebagai mantan guru TK mereka saya selalu bilang bahwa ilmu seni peran yang telah saya “wariskan” kepada mereka dulu itu adalah “peragaan IKJ, pensukmaan ASDRAFI”. Syukur mereka terus menyebarkannya ke mana-mana, terutama Whani dan Winsa yang punya bakat melatih sangat tinggi. Yah, kalau ilmu disebarkan terus-menerus justru membuat kita sendiri kian kaya raya. Kalau duit yang disebarluaskan pasti membuat secepat kilat jadi fakir miskin. Ilmu tak boleh digenggam sendirian, bisa meledakkan dosa bagi sukma. Tak boleh dirahasiakan, bisa menjadi hantu yang meneror pikiran.
            Saya juga berpesan agar mereka menambahkan cara-cara berlatih yang baru yang mesti mereka temukan dan ciptakan sendiri. Supaya ilmu selalu tumbuh dan berkembang. Sebab seni itu adalah revolusi abadi. Akan bermetamorfosis tanpa henti. Bahkan, kadangkala tiap penciptaan diawali dengan penghancuran. Apa yang dibawakan Rendra pada tahun 1970-an dulu terasa ciamik, jika ditampilkan saat ini mungkin terasa naif dan jadul. Meski begitu karya yang mengandung kekuatan artistik sejati akan mampu menembus setiap lapisan zaman. Hanya kreator yang dapat menyelami napas zaman yang berhak memeluk keabadian. Karenanya, tiap seniman harus melahirkan dirinya kembali berulang-ulang, tiap hari, tiap jam, menit dan detik. Terutama dalam olah kreativitas, selalu munculkanlah ide dan spirit baru. Banyak seniman intensif berkarya hingga tua renta tapi dari segi kreativitas sebenarnya belum ke mana-mana. Hanya produktif tapi tidak kreatif. Tak mau berubah dan tidak inovatif. Banyak pula seniman berumur pendek tapi petualangan kreativitasnya sangat panjang, menjangkau berbagai wilayah rahasia yang tak terduga. Tiap kali berkarya selalu inovatif, mendobrak kebekuan, dan melahirkan wacana baru yang memperkaya perbendaharaan kamus bahasa seni. Tentunya yang ideal adalah berumur panjang dan terus inovatif. Perjalanan menuju ujung dunia diawali dari langkah pertama. Tiap kali kaki menapak maka beribu-ribu kemungkinan terbentang di depan mata.
            Saya katakan pada mantan murid TK saya itu, seni peran pun senantiasa berevolusi. Apalagi jika harus diadaptasikan dengan perkembangan media teknologi canggih yang meluncur cepat. Serta tata nilai, pola pikir dan cita rasa masyarakat dunia. Silakan dicari cara berlatih baru. Bisa mengambil padanan pengertian dari seni memancing ikan di laut lepas. Atau penguakan harmoni dalam street art, teknik pengunyahan puisi terlezat dan pembakaran prosa terpercaya, pengulegan rujak cingur dan penggorengan perkedel. Yang penting jangan merusak tubuh dengan alkohol, narkoba dan rokok. Aktor wajib menghormati dan menjaga kebugaran tubuh agar senantiasa kuat dan sehat. Seorang aktor tak boleh mengkhianati tubuhnya sendiri. Yah, kalau bisa merokok pun jangan. “Merokok itu membunuhmu!” kata pemerintah. Itu salah! Rokok dan penyakit tidak bisa membuat manusia mati. Yang menjadikan manusia mati itu adalah jika jatah hidupnya habis. Seorang aktor hanya dilarang tidak sehat tapi kalau mati boleh.
            Apakah ilmu seni peran hanya berguna bagi para aktor saja? Sama sekali tidak. Siapapun, dengan latar belakang profesi apa pun, akan mendapat manfaat tak terkira dahsyatnya jika berkenan mempelajari dan mempraktikkannya sesuai dengan kebutuhannya. Seni peran dapat mengubah hidup siapapun secara dramatis dan menakjubkan. Bung Karno jelas memiliki keaktoran. Di masa pengasingannya di Digoel, menulis naskah Dokter Setan dan Krukut Bikutbi. Memainkannya, menyutradarai dan memimpin produksi pementasan. Tak aneh pidato kenegaraannya ciamik banget, variatif dan kreatif, tangga dramatiknya terpola dalam ketakterdugaan yang cemerlang. Pendeknya sangat memenuhi syarat sebagai performance bertaraf masterpiece. Enak disaksikan orang buta dan orang tuli. Rakyat yang lapar sampai lupa makan setiap mengikuti pidato Bung Karno melalui radio. Pak Harto tidak belajar akting, meski suaranya luar biasa bagus tapi cara pengucapannya monoton, sehingga orang lapar bisa tambah lapar jika mendengar pidato kenegaraannya. Gus Dur jelas tahu banget ilmu teater. Meski kualitas vokalnya bertaraf kebanyakan, tapi berdaya greget tinggi dan bobot sugestinya bertenaga kuat. Olah suara dan cara pengucapannya masih mengkili-kili kuping siapapun yang pernah mendengar kelakarnya padahal sudah bertahun-tahun lewat. Seolah kelakar Gus Dur masih terus melekat di gendang telinga kita. Ekspresi wajahnya yang unik tertata, hingga kini terus menancap dalam ingatan. Betapa mengesan dan mudah dihadirkan kembali di tempurung kepala. Di antara semua presiden di seluruh dunia, wajah Gus Dur adalah yang paling enak dilukis di atas kanvas. Teaterawan Surakarta, Hanindawan, bercerita kepada saya pernah dipanggil Pak Joko Widodo (Jokowi). Diminta melatih vokal dan memperbaiki cara bicaranya yang tidak mengalir mengesankan ketergeragapan. Tak banyak yang dilakukan Hanindawan kecuali meminta Pak Jokowi tak ragu-ragu dengan penampilannya seperti itu. Sebab itulah kepribadian yang tak terkira nilainya. Menyihirkan kesan hebat bagi masyarakat. Menjadi pembeda, mudah melekat dan diingat.
            Jutaan siswa di sekolah harus menanggung prestasi buruk dan malu hati karena dianggap bodoh. Padahal otak mereka cerdas dan rajin bersekolah. Hal itu sebenarnya bukan salah mereka. Tapi salah para gurunya yang tidak dapat mengajar secara layak dan menarik. Bagaimana para murid dapat menangkap pelajaran kalau suara gurunya lirih, lembek, artikulasinya kacau dan pengucapannya semrawut? Tiap siswa disiksa untuk berjuang keras menangkap tiap kalimat yang diucapkan gurunya. Toh, tak tertangkap dengan baik juga. Padahal obat kuping mahal. Bagaimana ilmunya bisa masuk kalau ucapannya saja tidak? Lalu bagaimana para murid bisa nyaman belajar kalau ekspresi wajah gurunya kaku menyebalkan padahal hatinya tidak marah? Bagaimana kalau emosi gurunya dingin seperti es, imajinasinya macet, bahasa tubuhnya njelehi dan matanya tampak dungu? Padahal sesungguhnya para guru itu sangat berilmu, lembut hati dan sayang pada semua muridnya. Kok muridnya pada bodo dan nakal? Gimana sih? Ah, banyak sekali cara berlatih seni peran yang bisa menyembuhkan penyakit yang diidap oleh para guru seperti itu.
            Menyadari kenyataan di atas, Balai Bahasa Yogyakarta berulang kali mengadakan workshop teater dan seni peran bagi para guru. Tujuannya terutama agar para guru bisa mengajar lebih menarik, bukan sekadar peningkatan apresiasi teater. Bagaimanapun, penampilan di depan kelas sama halnya melakukan sebuah performance. Menjadi pusat tontonan siswa. Karena itu mesti kaya kreativitas dan daya tarik. Tontonan yang tidak menarik dengan cepat akan ditinggalkan oleh penontonnya. Telah ratusan guru mengikuti workshop ini. Saya dan beberapa kawan aktor diminta menjadi tutor. Alhamdulillah, hasilnya amat memadai
            Setahun sebelum Gunung Merapi meletus, di tempat tinggal Mbah Marijan, saya bersama Untung Basuki dan Bram Makahekum diminta memberi workshop puluhan pendeta yang terseleksi dari gereja-gereja se-Pulau Jawa. Tujuannya setelah mengenal teknik-teknik keaktoran lalu dapat dimanfaatkan saat berkhotbah di mimbar. Agar khotbah jadi lebih memesona, menggugah dan menyentuh hati, dapat meyakinkan dan memengaruhi para umat. Pernah pula saya diundang ke Pondok Pesantren Gontor Jombang Jawa Timur. Melatih ilmu keaktoran pada ratusan ustadz dan da’i. Mereka sangat tahu, bagaimana menyampaikan sesuatu itu merupakan senjata ampuh bagi apa yang akan disampaikan. Jika apa yang disampaikan sangat bagus tapi cara menyampaikannya sangat buruk, maka akan sia-sialah sebuah khotbah dilakukan. Begitu pula dalam negosiasi bisnis, presentasi, interview, melakukan promosi dan pelayanan, memimpin rapat, pidato politik, beradu argumentasi hingga saat menghadapi calon mertua untuk melamar calon istri. Dan teknik latihan keaktoran memberi penyelesaian masalah tentang bagaimananya itu. Bahkan latihan seni peran sanggup memberikan kegembiraan hidup yang melimpah ruah. Para istri yang dikhianati suami, duda yang ditinggal mati istri tercinta, narapidana yang digodam kegamangan hidup, pensiunan atlet nasional yang dicampakkan, pengacara yang selalu kalah di ruang sidang, petani miskin yang diperas tengkulak, pengusaha besar yang dikejar utang: cobalah masuk teater dan latihan seni peran. Bukan untuk menjadi aktor tapi untuk sekadar mengguyur diri dengan hujan kebahagiaan. Kalau hati senang pasti rezeki dan keberutungan berdatangan. Mau dapat madu dekatilah sarang lebah.
            Saya mengamati cara Bu Tatiek Maliyati dalam mengajar. Bukan cuma menyerap apa yang diajarkan. Saya selalu berusaha mendengarkan apa yang tidak dia ucapkan dan berusaha melihat apa yang tidak dia tampakkan. Menerobos kamar batin dan menelisik misteri pikiran. Dia tidak cuma fasih. Tapi fasih dan menggugah. Kefasihan yang tidak menggugah bukanlah kefasihan. Konsentrasinya sangat tinggi. Dan konsentrasi yang sangat tinggi itu dibayar dengan perhatian sangat tinggi pula oleh penonton. Derajat perhatian publik akan sebanding dengan derajat konsentrasi seorang public speaker. Dia bisa membuat pemirsa merasa ngeh dan percaya karena di dalam dirinya juga tumbuh rasa ngeh dan kepercayaan. Ah, tak pelak lagi, dia menghidupkan daya pesona keaktrisannya saat menyampaikan pelajaran. Juga teknik akting tinggi dalam berekspresi. Semuanya tampak wajar dan biasa karena dia tidak mendramatisir pengucapan dan bahasa tubuh. Dengan lunak diidealisirnya sosoknya sendiri melalui kesadaran terukur memperbesar volume kemanusiaannya. Nah, inilah penerapan ilmu seni peran dalam aktivitas komunikasi efektif. Itulah sebabnya Bu Tatiek tak terlupakan. Entah sudah berapa puluh tahun penampilan terakhirnya di Bina Drama TVRI saya lihat. Tapi segalanya masih jelas terbayang. Sekali lagi, mengingat Bu Tatiek yang langsung terbayang adalah dunia keilmuan seni peran.
            Kalau seorang aktor mengajarkan ilmunya dengan cara seperti itu maka otomatis keaktorannya sendiri terolah. Makin sering mengajar akan makin terasah ketajaman ilmunya. Tampaknya saja mengajar orang lain tapi sebenarnya sedang mengajar diri sendiri. Teknik seperti itulah yang juga saya pakai tiap kali saya mengajar. Beruntung saya mendapat banyak kesempatan mengajar. Pernah sebentar di ISI dan cukup lama di kampus absurd ASDRAFI. Di Abhiseka dari tahun 1992 hingga sekarang saya mengajar public speaking kepada orang-orang dari berbagai profesi. Di Bengkel Sastra Balai Bahasa sejak 1996 hingga kini mengajar para siswa dan guru tentang akting dan pemanggungan karya sastra. Wah, tiap kali mengajar rasanya seperti sedang berpentas. Belum lagi kalau diminta memberikan workshop kalangan teater kampus yang untungnya sering dilangganani. Apalagi kalau workshop-nya di Pantai Parangtritis dengan jumlah peserta mencapai lebih 75 orang. Sebagai instruktur betapa besarnya daya ekspresi yang harus saya kerahkan di keluasan alam bebas seperti itu. Inilah bentuk pematangan keaktoran tersendiri. Melatih sembari numpang latihan.
            Pematangan diri seorang aktor juga sangat ditunjang oleh mutu peran dan mutu naskah yang dimainkan. Di Indonesia naskah drama realis betapa minim jumlahnya. Perkembangannya amat sangat-sangat lambat. Baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Sama sekali tak sebanding dengan perkembangan para aktor. Naskah asing yang diterjemahkan pun lambat sekali pertambahan jumlahnya, meski banyak yang bermutu tinggi, tapi biasanya banyak hal yang tetap luput kalau kita mainkan. Kultur, psikologi, gaya hidup dan cita rasa yang berbedalah antara lain yang jadi kendalanya.
            Di kampus-kampus teater terutama, masih saja hingga kini yang dimainkan naskah-naskah jadul karya Kirjomulyo, B. Sularto, Nasjah Djamin, Utuy Tatang Sontani dan Motinggo Busye yang ditulis sekitar 50 tahun yang lalu. Padahal para pengarang itu saat menuliskan karyanya masih berusia belia. Belum banyak pengalaman dan referensi. Sementara anak-anak muda aktivis teater sekarang ini sudah banyak referensi dari buku-buku mutakhir yang bagus, film-film hebat, dan banyak nonton pementasan yang dahsyat mutunya. Kenapa tidak pada nulis naskah sendiri? Kenapa lebih suka mundur ke zaman baheula? Ayo, menulislah. Menulis itu pekerjaan keabadian. Usia aktor dan sutradara itu pendek. Tapi usia penulis naskah drama itu panjang banget. Bahkan boleh dikata sejarah drama itu milik para penulis naskah. Aktor dan sutradara seolah tak berhak berada di dalamnya. Siapakah aktor dan sutradara semasa zaman keemasan teater Yunani Kuno? Betapa susahnya menemukan tiga-empat nama saja. Tapi siapakah pengarang naskah dramanya? Wah, berderet-deret nama bisa mudah kita temukan. Karya tulisnya tetap dapat dinikmati hingga kini. Sedangkan aktor dan sutradara begitu layar pentas diturunkan maka karyanya langsung menjelma bayangan. Begitupun dengan sejarah teater Indonesia, lebih suka melupakan eksistensi aktor dan sutradara, catatannya lebih dipenuhi pengarang naskah drama yang bahkan karyanya tak pernah sekalipun dipentaskan.
            Kondisi seperti itu, miskinnya naskah bagus, membuat para aktor berbakat kita sukar menggenjot prestasi tinggi. Banyak yang bakatnya mengeropos akibat keseringan memainkan peran yang terlalu enteng. Kualitas permainannya terus memburuk akibat digosongkan oleh peran buruk dan produksi lakon buruk. Padahal dalam seni, kualitas buruk itu memiliki kekuatan dan kecepatan luar biasa kejamnya untuk mencekik batang lehernya sendiri. Bukan berapa banyak jumlah karya yang akan dihitung oleh zaman. Tapi berapa masterpieces yang sudah dihasilkan. Sayangnya juga, para dramawan besar kita sangat sedikit menulis naskah drama realis. Itu pun biasanya dikerjakan pada masa-masa awal karier mereka. Saat belum menemukan kematangan kesenimanannya. Setelah mereka hebat dan matang lalu hanya menulis naskah nonrealis. Itu pun biasanya untuk pemenuhan kepentingan grupnya sendiri, yang sering tidak cocok jika dimainkan oleh grup lain.
            Nah, bagaimana para aktor teater realis kita mencari jalan keluar dari masalah ini? Bagaimana Bu Tatiek? Selamat berulang tahun ke-80. Semoga mencapai 100 tahun!


Yogyakarta, 1 September 2014

No comments:

Post a Comment