PENYAIR
YANG TERBUNUH
Drama: Sri Harjanto Sahid
RUANG
TENGAH RUMAH SEORANG REDAKTUR SURAT KABAR YANG MASIH BUJANGAN. SEPI DAN
BERANTAKAN. PAGI HARI MENJELANG BERANGKAT KERJA KANTORAN. TIBA-TIBA SEORANG
NENEK DENGAN PENAMPILAN EKSENTRIK DAN KUMUH, BERJALAN SEPERTI SEEKOR BEBEK
MALAS MEMASUKI RUANG ITU. WAJAHNYA GELISAH, MELONGOK-LONGOK KE SANA KEMARI, SEPERTI
MENCARI-CARI SESEORANG. DARI SISI LAIN MUNCUL SEORANG LELAKI DENGAN WAJAH KEHERANAN,
MENGEJUTKAN SI NENEK-BEBEK MALAS ITU YANG SPONTAN MENGAMBIL SIKAP WASPADA.
001. REDAKTUR
Siapakah Nenek? Kenapa masuk ke rumahku
tanpa permisi dan tanpa mengetuk pintu?
002. NENEK
Oh, maaf. Aku melihat pintu terbuka lebar.
Aku sudah melongok-longok ke dalam dan aku tidak melihat seorang pun. Kukira
penghuninya sedang ada keperluan di dapur atau di kamar mandi. Makanya aku
langsung nyelonong saja. Terus duduk di sini.
003. REDAKTUR
Tak apalah kalau begitu. Aku percaya Nenek
tidak punya maksud yang kurang baik.
004. NENEK
Apakah aku tampak seperti orang jahat?
Perampok? Mana ada perampok serenta ini?! Atau potonganku mirip pencuri? Atau
setidaknya mirip penipu kelas teri, begitu? Awas!! Hati-hati, jangan berpikir
sembarangan terhadap orang tua seperti aku. Kualat!!
005. REDAKTUR
Tak usah sewot, Nek. Harap dimaklumi kalau
teguranku tadi terasa masih kurang halus. O ya, Nenek belum menjawab
pertanyaanku. Siapakah Nenek? Ada perlu apa kemari?
006. NENEK
Soal nama tidak penting. Apalah arti
sebuah nama, bukankah begitu William Shakespeare bilang? Tapi aku ke sini karena
ada soal mahapenting yang harus kuselesaikan.
007. REDAKTUR
Soal penting?
008. NENEK
Ya. Apa benar ini rumah Danang Hananto?
009.
REDAKTUR
Benar sekali.
010. NENEK
Redaktur Koran Minggu Siang?
011. REDAKTUR
Tepat.
012. NENEK
Penanggung jawab rubrik puisi?
013. REDAKTUR
Tak salah lagi.
014. NENEK
Apakah dia itu kamu sendiri?
015. REDAKTUR
Lagi-lagi tak salah.
016. NENEK
Pantas!
017. REDAKTUR
Lho, kenapa Nek?
018. NENEK
Lagak dan lagumu sama sekali tidak puitis.
Meskipun kamu seorang redaktur rubrik puisi. Sekilas saja aku langsung paham
sepaham-pahamnya, bahwa kamu sesungguhnya kurang punya kepekaan puitik. Kamu
tidak benar-benar mengerti dan tidak bisa menghargai keagungan nilai suatu
puisi.
019. REDAKTUR
Wah, wah, wah! Dari mana Nenek menarik
kesimpulan?
020. NENEK
Dari pancaran wajahmu yang agak dungu itu!
Maaf, aku berterus-terang.
Wajahmu memang dungu. Matamu tampak goblok!
021. REDAKTUR
Terima kasih atas pujiannya.
022. NENEK
Tidak perlu!
023. REDAKTUR
Aduh, ada apa ini?! Belum-belum kok sudah
sinis dan bermusuhan begitu. Bagaimana kalau kubuatkan teh dulu supaya Nenek
menjadi lebih tenang? Atau kopi? Kopi susu? Tapi sebelumnya kuberi tahu, aku
tak bisa lama-lama melayani ngobrol. Aku harus segera berangkat ke kantor.
Tugasku hari ini sangat banyak.
024. NENEK
Tidak usah repot. Aku sudah membawa
minuman sendiri dari rumah. Aku juga membawa pisang goreng. Tapi cuma sebuah.
Mau paroan?
025. REDAKTUR
Sudahlah, Nek. Jangan lucu-lucuan begitu!
026. NENEK
Aku tidak lucu-lucuan! Aku serius-seriusan!
Dasar manusia kurang cerdas!! Selalu saja salah menilai. Sungguh perasaanmu
tidak peka. Bagaimana kamu bisa
menyeleksi puisi dengan baik kalau perasaanmu sama sekali tidak tajam? Orang
seperti dirimu inilah yang selalu sukses menjadi pembunuh atas diri para
penyair berbakat. Sikap sok tahu yang dikawinkan dengan kekuasaan mutlakmu
itu telah menjadi tenaga pembantai yang mengerikan. Ayo, mengaku tidak?!
027. REDAKTUR
Tak ada gunanya kubantah. Sekarang katakan
saja, apa keperluan Nenek
datang kemari?
028. NENEK
Ya, mencari kamu! Goblok!!
029. REDAKTUR
Untuk apa?
030. NENEK
Untuk apa, katamu?!
031. REDAKTUR
Ya, untuk apa?
032. NENEK
Kamu tidak mimpi buruk semalam?
033. REDAKTUR
Tidak.
034. NENEK
Punya firasat tertentu?
035. REDAKTUR
Sama sekali tidak.
036. NENEK
Dasar bebal. Ketahuilah, aku datang kemari
untuk membunuhmu.
037. REDAKTUR
Astaga! Membunuhku?
038. NENEK
Masih tanya!
039. REDAKTUR
Untuk apa membunuhku?
040. NENEK
Ya, supaya kamu mati!
041. REDAKTUR
Kalau aku mati, apa keuntungan Nenek?
042. NENEK
Ya, sudah. Itu saja cukup!
043. REDAKTUR
Sebentar! Sebentar! Aku kok jadi penasaran. Orang melakukan sesuatu
pasti ada motivasinya. Apalagi membunuh. Mungkin dendam? Iri hati atau dengki?
Atau karena Nenek memang punya
hobi membunuh orang, begitu?
044. NENEK
Ngawur! Jangankan membunuh, satu kali pun
aku belum pernah melukai orang lain. Jangan sembrono kamu.
045. REDAKTUR
Lho, kalau begitu apa yang mendasari
keinginan Nenek
yang sangat sensasional itu? Apa agar Nenek jadi populer karena berani membunuh
seorang redaktur surat kabar yang tidak punya dosa?
046. NENEK
Endhasmu!! Jangan bilang kamu tak punya
dosa. Kalau ditumpuk dosamu pasti lebih besar daripada pantat gajah. Lebih gede
dari Gunung Merapi. Malahan lebih gede lagi daripada Benua Asia.
047. REDAKTUR
Memangnya Nenek ini malaikat, kok
bisa-bisanya menghitung dosa orang lain? Mana ada sih malaikat kok jelek
begini? Ompong geong lagi! Kalau benar malaikat, pasti Nenek ini malaikat yang
sudah hancur-hancuran. Malaikat kok nyentrik begini!
048. NENEK
Bajindul! Aku ini lebih dari sekadar
malaikat, tahu! Aku ini manusia dan
manusia itu lebih dari malaikat.
049. REDAKTUR
Siapa bilang manusia itu lebih dari
malaikat?
050. NENEK
Aku yang bilang! Guru agamaku dulu juga
bilang begitu.
051. REDAKTUR
Ah! Kalau malaikat yang bilang, pasti
tidak begitu.
052. NENEK
Ngeyel! Eh, kamu tadi bilang apa? Aku
jelek? Iya, begitu?!
053. REDAKTUR
Memangnya Nenek merasa trendi? Cantik
jelita?
054. NENEK
Oh, alangkah malangnya nasibmu Nak. Kamu pantas menangisi kesialanmu karena
dilahirkan setengah abad setelah kelahiranku. Seandainya kita lahir dalam waktu
sama, pasti kamu akan melihat keindahan bulan purnama setiap hari. Bulan
purnama itu adalah aku. Percaya tidak? Ketika masih remaja aku dianggap sebagai
bidadari yang menjelma menjadi manusia. Hanya orang-orang yang dikutuk untuk
tidak mengenal keindahan sajalah yang tidak terpesona olehku. Sesudah menjadi
STW (setengah
tua) pun, karisma dan daya tarik seksualku masih bersinar gemerlap. Banyak
perjaka mabuk kepayang setiap menatap tubuhku. Bahkan kini, setelah aku reot dan
berkarat seperti ini,
bukankah aku masih tampak sangat artistik? Aku percaya, hanya orang yang buta
filsafat estetika sajalah yang tidak menangkap adanya kedahsyatan misteri
keagungan jagat raya di balik sosokku ini. Kamu pantas bunuh diri bila tak
menangkap pesona apa pun.
Akulah puisi yang sukar dituliskan. Hanya penyair yang punya kepekaan luar
biasa sajalah yang mampu mengulum ilham dari dalam diriku.
055. REDAKTUR
Bukan main!
056. NENEK
Kenapa?
057. REDAKTUR
Pintar benar Nenek mempromosikan diri.
058. NENEK
Edan! Memangnya aku mau menjual diri?
059. REDAKTUR
Lantas deklamasi berapi-api barusan itu
apa?
060. NENEK
Aku tidak bermaksud mempromosikan diri.
Sesuatu yang berkualitas tidak perlu lagi dipromosikan. Aku hanya bicara
tentang kenyataan di balik kenyataan yang tak boleh dikhianati. Aku juga tidak
sedang memuji-muji diri sendiri. Puji-pujian tidak akan memberikan pengaruh apa
pun pada sesuatu yang mutunya terjamin. Puji-pujian yang tidak beralasan adalah
penghinaan. Aku tak mau menghina diriku sendiri. Hanya sesuatu yang mutunya
jelek sajalah yang kalau dipuji-puji harganya menjadi naik. Aku justru
membutuhkan kritik. Bagiku kritik selalu kuterima sebagai penghormatan.
Prestasi besar memang pantas mendapatkan haknya. Hak itu adalah hadiah berupa
kritik tajam yang sekiranya sanggup menggoyahkan posisinya. Prestasi kecil
dipercakapkan pun tak layak. Sesuatu kalau memang benar-benar bermutu akan
semakin memancarkan keanggunan dan kewibawaannya bila dikecam tiada henti.
Meski ada yang memfitnah, bahwa kritikus adalah orang tanpa tulang yang
kerjanya menghardik orang lain agar berlari cepat, dan ada lagi yang bikin
lelucon kocak bahwa kritikus itu tahu
jalan tapi tak bisa mengendarai mobil, namun aku tetap akan memerhatikannya
meskipun dengan mata kriyip-kriyip. Eh, ngomong-ngomong kamu mau tidak
mengkritik kesempurnaan daya artistik sosok kehadiranku yang kasatmata ini?
Katakan saja terus terang penilaianmu. Tak usah sungkan-sungkan. Tapi awas,
kalau kritikanmu tidak proporsional! Apalagi jika melenceng dari pertimbangan
akal sehat! Kuhabisi kamu sampai tujuh turunan! Ngerti tidak?!!!
061. REDAKTUR
Wah, dahsyat betul retorika Nenek. Anda
ini benar-benar minta dikritik atau mengancam agar dipuja dan dipuji?
062. NENEK
Terserahlah penafsiranmu bagaimana. Semua
ungkapankku tadi multi-interpretable.
Yang jelas jangan menyakiti hatiku. Bersikap bijaksanalah menghadapi orang tua
renta seperti aku. Aku ini orang menderita. Jangan kamu lukai lagi.
063. REDAKTUR
Memangnya Nenek ini punya problem apa?
064. NENEK
Apa kamu tak bisa membaca ekspresi
wajahku? Jenguklah lorong tersembunyi di kedalaman bola mataku ini. Ada rahasia
besar apakah di sana? Ada endapan kalbu macam apakah?
065. REDAKTUR
Wah, aku tidak melihat sesuatu pun selain
keruwetan belaka. Apa Nenek sakit mata? Perlu obat tetes mata?
066. NENEK
Dasar bodoh! Tak punya kehalusan budi!
067. REDAKTUR
Lho, apa salahku? Belum dikritik kok sudah
ngamuk?!
068. NENEK
Bebal!!
069. REDAKTUR
Aduh, mak. Baiklah Nenek yang cantik
jelita...
070. NENEK
Nah! Aku suka ungkapanmu yang jujur itu.
Teruskan! Ayolah teruskan! Jangan rikuh menyatakan kebenaran!!
071. REDAKTUR
Baiklah. Baiklah Nenek yang seksi dan
bahenol...
072. NENEK
Ihh, itu sih kurang pas. Tapi terserahlah
kalau itu merupakan pendapatmu yang tulus dan tanpa pamrih.
073. REDAKTUR
Begini, Nek. Sesudah menyeksamai matamu
yang romantik dan mengandung daya sugesti ajaib itu, aku seperti terlempar ke
sebuah daerah tak bertuan. Begitu sepi. Senyap. Seolah-olah ada kerinduan
terhadap seorang penjelajah agar memasukinya.
074. NENEK
Jangan mencoba merayuku, Anak Muda.
Kuperingatkan!
075. REDAKTUR
Benarkah Nenek sangat kesepian?
076. NENEK
Ah, kamu masih ingusan!
077. REDAKTUR
Lho, memangnya kenapa?
078. NENEK
Kok ngeyel!
079. REDAKTUR
Kenapa sih?
080. NENEK
Terus terang saja, kamu bukan tipeku.
081. REDAKTUR
Bah! Ge Er! Memangnya aku mau sama Nenek?!!
082. NENEK
Lho?! Lho?! Terus kamu mesra-mesraan tadi
apa maumu?
083. REDAKTUR
Ya, cuma iseng saja.
084. NENEK
Buaya!!
085. REDAKTUR
Biar.
086. NENEK
Tukang mempermainkan wanita!!
087. REDAKTUR
Prek!
088. NENEK
Kubunuh kamu! Kubunuh!!
089. REDAKTUR
Silakan. Bukankah Nenek tadi bilang, bahwa
datang ke sini khusus untuk membunuhku? Lupa ya, Nek?!
090. NENEK
Benar, aku hampir lupa. Ini akibat rayuan
gombalmu itu!
091. REDAKTUR
Sialan! Aku tidak merayu. Nenek saja yang
merasa dirayu.
092. NENEK
Kucincang kamu!!
093. REDAKTUR
Boleh, boleh. Tapi apa salahku sebenarnya?
094. NENEK
Kamulah yang menyiksa dan membunuh suamiku
dengan kejam.
095. REDAKTUR
Suami Nenek?
096. NENEK
Ya.
097. REDAKTUR
Ah, jangan mengada-ngada. Dengan Nenek
saja aku baru ketemu sekali ini. Sedang dengan suami Nenek aku sama sekali tidak kenal.
Mana mungkin aku membunuhnya?
Demi Tuhan aku tak pernah melakukan pembunuhan terhadap siapapun. Seumur hidup
tanganku bersih dari noda darah. Motong ayam saja takut, apalagi membunuh
orang. Ini fitnah besar. Jangan ngawur, Nek! Gawat risikonya!!
098. NENEK
Itu kenyataan. Bukan fitnah.
099. REDAKTUR
Edan! Kapan aku melakukannya?
100. NENEK
Seminggu yang lalu.
101. REDAKTUR
Ajaib! Di mana?
102. NENEK
Di rumahku.
103. REDAKTUR
Bohong! Sama sekali aku tak tahu di
mana rumahmu. Seminggu lalu aku masih berada
di luar kota mengikuti seminar sastra. Baru tiga hari aku kembali ke rumah.
Jadi mana mungkin aku membunuh suamimu?
Sekarang sudah tampak jelas belang-bontengmu Nenek Jelek! Kamu mau memerasku,
bukan? Taktikmu terlalu naif dan bodoh. Kampungan sekali. Kuno. Kalau butuh
duit ngemis saja terus terang. Tak usah bikin pusing begini. Sialan!
Jangan macam-macam kamu!! Kamu kira kamu ini Nenek Lampir yang supersakti
apa? Kok pakai mengancam mau membunuhku
segala. Dengan kekuatan model apa kamu mau membunuhku? Pakai tenaga dalam?
Iya?! Kalau aku mau kudorong sedikit saja pasti tubuhmu yang reot bau bangkai
itu oleng dan terkapar di lantai. Bisa-bisa tidak bangun lagi. Dasar Nenek Genit.
Gede Rasa. Penipu. Sok intelek. Ayo, cepat keluar dari rumahku! Jangan menunggu
aku sampai kehilangan kesabaran. Aku juga bisa bersikap kasar, tahu?! Sudah
sana. Pergi! Aku sudah tidak punya waktu lagi. Urusanku di kantor masih
menggunung dan aku sudah terlambat masuk kerja. Atau mau kupanggilkan polisi?
Biar ditembak pantatmu? Wah, keenakan kalau kena pantat. Dengkulmu yang keropos
itu saja, biar nyahok! Eh, kok malahan mewek. Akting nangis ya? Itu pasti airmata buaya. Mau pakai
taktik apa lagi
kamu? Aku tak akan jatuh kasihan. Huh! Akal-akalan seperti itu sudah basi.
Ketinggalan jaman. Bukan mode lagi. Itu sudah terkubur dalam kamus penipu gaya
purba. Sudah, sudah. Diamlah Nenek Jelek! Nanti disangka para tetangga aku
kepengin memperkosa kamu. Atau mau kuguyur pakai air sabun seember?! Atau
disemprot saja pakai obat serangga, barangkali?!
104. NENEK
Cukup! Cukup!! Sudahilah penghinaanmu
yang kejam ini!
105. REDAKTUR
Tailah! Berlagak ngamuk lagi.
106. NENEK
Sungguh tak berperasaan. Tak kusangka
orang yang bergaul dengan puisi setiap hari masih bisa berlaku begitu keji.
Tidak memuliakan kata-kata tapi justru menajiskan kata-kata. Bengis sekali
ucapanmu. Belum pernah kualami kekasaran sejenis ini seumur hidupku. Terima kasih. Kamu telah memberi
pengalaman luar biasa kepadaku. Dahsyat sekali rasanya.
107. REDAKTUR
Ahh!! Jangan melantur!
108. NENEK
Tidak. Aku tidak melantur. Aku cuma
mengherankan dirimu. Katanya kamu setiap hari menyetubuhi puisi. Tapi kamu jauh
dari kebijaksanaan. Padahal puisi adalah inti kebijaksanaan. Sumber kehalusan
budi pekerti. Di mana rahasia kemuliaan langit dan bumi serta segala bentuk
kehidupan bersemayam di dalamnya. Ternyata tak ada hikmahnya kamu menyelam ke
dalam rahim samudra bernama puisi. Bekasnya pun tak terbaca dalam tingkahmu.
Aku sungguh sangat kasihan padamu.
109. REDAKTUR
Omong kosong! Hanya tukang mimpilah yang
mau menyakralkan puisi. Bahkan menyembahnya seperti berhala. Seolah-olah puisi
itu lebih penting dari hidup itu sendiri. Atau lebih bermanfaat dibanding kerja
keras, duit, makanan dan minuman. Tak
heran kalau penyair identik dengan kemalasan. Lebih suka mengagumi
keelokan rembulan daripada menghayati hidup dengan membanting tulang. Lebih
getol memejamkan mata daripada membuka mata. Lebih giat ngobrol daripada cari
nafkah. Bahkan banyak yang tega menggelantung di ketiak istri.
110. NENEK
Oh, rupanya demikian pandanganmu terhadap
para penyair.
111. REDAKTUR
Mau bagaimana lagi? Mengagumi mereka
seperti dewa? Bah!
112. NENEK
Lalu puisi itu apa menurutmu?
113. REDAKTUR
Cuma hasil permainan pikiran!
114. NENEK
Gila.
115. REDAKTUR
Dilarang menyikapi puisi begitu itu? Tai
kucing!!
116. NENEK
Siapa yang melarang? Tak ada! Namun
andaikata seluruh penduduk bumi berpikir picik seperti dirimu, alangkah
sia-sianya William Shakespeare menciptakan 154 soneta dan 4 puisi panjang, atau
Chairil Anwar yang dengan darah dan nanah menulis 70 puisi yang menggetarkan
hati. Dan betapa tak berguna Omar Khayyam
berjuang mati-matian menulis Rubaiyat,
Rabindranath
Tagore melahirkan Gitanyali, Kahlil
Gibran menyusun The Prophet, Walt
Whitman menyelesaikan Leaves of Grass,
John Keats merampungkan Lamia dan
Isabella, Charles Baudelaire menggarap Flower
of Evil, Arthur Rimbaud merangkai The
Seekers of Lice, Edgar Allan Poe menggubah The Raven, Wing Kardjo meluncurkan Selembar Daun, Sitor Situmorang menanam Bunga Di Atas Batu, Kirdjomuljo mendendangkan Romansa Perjalanan dan Rendra menyanyikan Blues Untuk Bonnie, serta ribuan penyair lainnya dengan
masing-masing karyanya. Nah, kalau manusia abad globalisasi ini tak lagi peduli
pada puisi lantas bagaimana naluri luhur bisa dipelihara? Kalau politik
pergaulan hidup sudah kotor, kemudian dengan apa akan membersihkannya? Coba
kamu jawab!
117. REDAKTUR
Phuih! Buat apa memikirkan soal begituan?!
118. NENEK
Lalu mengapa kamu menjadi redaktur rubrik
puisi?
119. REDAKTUR
Karena terpaksa.
120. NENEK
Maksudmu?
121. REDAKTUR
Tugas ini pemberian bosku. Sebenarnya aku
lebih merasa gagah andaikata duduk sebagai redaktur rubrik olahraga atau rubrik
ekonomi. Bahkan aku lebih senang mengurusi naskah tentang seni masak-memasak
daripada seni puisi. Tapi semua pos itu sudah ada yang menduduki. Jadi kusabet
saja peluang menyebalkan yang belum disambar orang lain ini. Daripada aku tak
punya jabatan?! Aku butuh pekerjaan! Supaya asap dapurku mengepul!!
122. NENEK
Pantaslah kalau begitu.
123. REDAKTUR
Pantas apa?
124. NENEK
Wajahmu dungu dan matamu goblok.
125. REDAKTUR
Brengsek!
126. NENEK
Kamu sendiri yang brengsek! Tak tahu malu.
Sekarang aku jadi paham mengapa kamu bisa menjadi monster berdarah dingin. Aku
sedih, mengapa orang tak berharga seperti
kamu bisa menjadi penyebab kematian suamiku. Malang betul suamiku. Ia mati
diakibatkan oleh ulah orang yang sangat tidak bermutu.
127. REDAKTUR
Ngomong apa lagi kamu genderuwo
betina?!
128. NENEK
Kere! Dengar baik-baik. Pasang kupingmu
lebar-lebar. Kamulah yang secara tidak langsung menjadi penyebab kematian suamiku
tercinta. Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu.
129. REDAKTUR
Penyebab tidak langsung? Apa pula ini?
130. NENEK
Akan kujelaskan masalahnya.
131. REDAKTUR
Baiklah. Kuberi waktu lima menit. Tapi
awas kalau omonganmu tidak karuan. Kulempar kamu lewat jendela. Ingat itu!
132. NENEK
Aku harus memulainya dari mana?
133. REDAKTUR
Ya, terserah. Kok tanya!
134. NENEK
Baiklah. Suamiku bernama...
135. REDAKTUR
Tak perlu sebutkan nama!
136. NENEK
Kenapa?
137. REDAKTUR
Tidak penting. Apalah arti sebuah nama.
Bukankah begitu William Shakespeare bilang? Bunga bangkai meski diberi nama
indah tetap akan berbau busuk. Benar tidak?
138. NENEK
Tepat sekali. Tapi itu bukan pendapat
orisinalmu. Jangan gede kepala. Sebaliknya, bunga mawar meski diberi nama
mengerikan akan tetap elok menawan dan harum
baunya.
139. REDAKTUR
Tepat sekali. Tapi itu juga bukan pendapat
orisinalmu. Jangan membusungkan dada. Sudah kempot! Eh, apa pekerjaan suamimu?
Pensiunan guru Bahasa Indonesia? Pensiunan Kepala Taman Budaya? Bekas carik atau
mantri suntik? Atau tukang tambal ban sepeda? Atau pengangguran seumur hidup?
140. NENEK
Kampret! Suamiku seorang penyair.
Sepanjang waktu hanya menulis puisi.
141. REDAKTUR
Pasti pemalas! Puisi-puisi tentang apa
yang diciptakan oleh suamimu? Tentang hutang negara yang makin hari makin
menggunung? Atau tentang keserakahan penguasa yang menyembah-nyembah dewa
mutakhir berjuluk kekerasan? Atau
tentang nasib golongan fakir miskin yang dianggap seperti bukan warga
negara? Atau tentang dosa turunan yang
harus ditanggung anak para tahanan politik yang sebenarnya tak pernah berbuat
kesalahan apa pun? Atau tentang bahaya energi nuklir yang diternakkan oleh para birokrat
pinter tapi keblinger? Atau tentang kebobrokan moral generasi tua yang ditutupi dengan
mengkambing-hitamkan generasi muda? Atau cuma mengenai selembar daun yang
melayang ditiup angin? Kisah rembulan yang menangis tersedu di sudut dasar
kolam dimakan ikan gurameh? Atau
barangkali tentang ribuan puisi yang menjerit-jerit ketakutan karena tak mau dituliskan kemudian
bersama-sama meregang nyawa di atas meja?
142. NENEK
Semua tebakanmu salah berat. Suamiku hanya
menulis puisi-puisi tentang cinta.
143. REDAKTUR
Apa? Ha ha ha...
144. NENEK
Ha ha, hi hi! Ngapain tertawa?
145. REDAKTUR
Suamimu pasti orang tidak normal. Sudah
bangkotan kok masih repot-repotnya menulis soal cinta. Tentu dia sangat
menggairahkan. Meski tenaganya kurang tapi nafsunya pasti besar.
146. NENEK
Idiot! Apakah yang berhak mengomongkan
soal cinta itu hanya para remaja saja? Cinta itu adalah harimau ganas yang
berkeliaran di mana-mana. Kukunya runcing seperti cakar garuda, giginya busuk
dan beracun seperti taring drakula, dan bola matanya menyala seperti obor
olimpiade. Dengan ekspresi bengis dia siap mencabik-cabik jiwa siapa saja. Tak
peduli tua atau muda, janda atau duda, sudah berkeluarga atau belum. Diterkam
harimau ganas bernama cinta merupakan pengalaman mengerikan yang paling
indah di dunia. Meski cinta adalah
sumber dari kecemasan tapi merupakan tenaga pendorong tak terbandingkan.
Cintalah yang membuat orang paling lemah menjadi superkuat, membuat pengemis
merasa lebih mulia daripada raja, mengubah
malapetaka menjadi keberuntungan, menyulap orang bejat menjadi bijaksana, dan
mengubah bau bacin menjadi wangi menyegarkan serta menyihir gerhana bulan
menjadi matahari penerbit harapan. Namun sayangnya, kurang pintar mengelabui
perut lapar supaya merasa kenyang. Tidak bisa mengubah batu menjadi nasi. Cinta
itu kunci mustika untuk membuka dan memasuki misteri hidup. Tidak mungkin ada
manusia waras yang bisa mengerti tentang hidup kalau dirinya belum pernah
bercinta.
147. REDAKTUR
Bukan main! Tua-tua keladi, makin tua
makin kental santannya.
148. NENEK
Terima kasih. Suamiku memang menggairahkan
dan kegairahannya ditularkannya kepadaku. Dia juga selalu mencari kebahagiaan
dengan cara membangunkan kebahagiaan orang lain terlebih dahulu. Dia tak pernah
marah karena kemarahan dianggap sebagai pemborosan stamina. Murah senyum sebab
senyuman adalah pintu komunikasi paling sakti untuk berhadapan dengan semua
makhluk. Tak suka tertawa berlebihan sebab gampang dimasuki setan. Tawanya
dihemat sedemikian rupa agar esok hari masih bisa tertawa lagi. Berdekatan
dengannya, siapapun akan merasa hangat, seolah ada api unggun menyala di dalam
dirinya.
149. REDAKTUR
Eh, sebentar. Kepada siapa puisi-puisi
suamimu itu ditujukan? Kepada cewek SMP tetangganya atau kepada pembantu rumah tangganya?
150. NENEK
Jangan keterlaluan Monyet! Tentu saja hanya
untuk diriku. Seumur-umur hanya akulah yang dijadikan mata air bagi semua
puisinya. Akulah satu-satunya wanita pujaan hatinya.
151. REDAKTUR
Alaaah, bohong! Mana pernah tercatat dalam
sejarah ada penyair di dunia ini yang setia pada satu orang wanita? Jangan
menghibur diri sendiri dengan kenaifan
begitu rupa. Atau itu hanya sebuah pelarian dari tumpukan kekecewaan akibat
pengkhianatan suamimu? Iya kan?! Sudah menjadi kesepakatan internasional, bahwa
penyair itu diyakini sebagai makhluk yang paling aktif menyeleweng. Libidonya buas dan
spektakuler. Sekarakter dengan ayam jago atau babi jenis teko (pejantan).
Begitu menjumpai betina, birahinya langsung melompat dari ujung jempol kaki naik ke
atas jidat. Oleh para nabi sastra hal itu sudah dimaklumi sebagai kutukan alam
yang harus dipikul seumur hidup. Percayalah!
152. NENEK
Hhh...! Ada benarnya juga. Dulu sebelum
akhirnya menikah denganku, dia memang sedang berpacaraan dengan tiga belas
orang gadis dalam waktu bersamaan. Anehnya, kegilaannya itulah yang makin
membuatku tergila-gila padanya.
153. REDAKTUR
Nah, apa kataku?! Setelah menikah pun
kebiasaan joroknya itu pasti tetap dipelihara. Paling tidak di belakang
punggungmu.
154. NENEK
Memang pada dasarnya laki-laki itu seperti
anjing. Sudah tersedia daging harum satu ons di dalam rumah tapi masih suka
menyambar bangkai tikus di tong sampah. Tapi itu bukan urusanku. Dia sendirian
yang bakal menanggung dosanya kalau dosa itu memang benar-benar ada. Yang
penting aku tidak pernah memergoki. Yang pokok dia senantiasa manis di
hadapanku. Soal di balik punggungku, aku tak mau peduli. Aku tak pernah mau
mengorek-ngoreknya. Biarlah menjadi rahasia abadi. Cinta tanpa rahasia akan
kehilangan keindahan dan kenikmatannya. Hanya yang bernama cinta, merahasiakan
jejak dan bayangannya. Cinta itu teka-teki. Meski sederhana tapi untuk menjadi
penuh mutu harus tak dapat dianalisis secara tuntas. Mirip puisi gelap. Tak
dapat disimpulkan. Inilah filsafat cinta yang agung.
155. REDAKTUR
Nah, kalau begitu jangan keburu Ge Er
bahwa semua puisinya khusus ditujukan buat dirimu. Siapa tahu ada dark lady yang digilainya, yang
membuatnya pusing seratus keliling padahal dia tengah berada dalam dekapanmu?
156. NENEK
Itu pun bukan urusanku.
157. REDAKTUR
Wah, kokoh benar doktrin yang
dihujamkannya ke dalam sukmamu. Dia sukses besar membentuk dirimu sebagaimana apa yang
dimauinya. Persis lempung dibikin patung. Tentu saja untuk kepentingan
pelunasan egoisme kepenyairannya.
158. NENEK
Usil! Doktrin atau bukan tak jadi soal.
Cinta murni menghendaki kepatuhan yang membabi buta.
159. REDAKTUR
Salah! Cinta yang berlebih-lebihan itu
cuma main-main. Bukan wujud asli. Jika luput akan mendendam sampai liang kubur.
Cinta murni hanya memberi secukupnya. Kalau berlimpah ruah, bahaya, bisa tumpah
dan akan ditampung orang lain.
160. NENEK
Ah! Itu kan sudut pandang laki-laki, yang
memang hanya bisa total dalam permainan seks tapi bukan dalam permainan asmara.
Wanita tentu lain, sebab satu orang wanita
pada hakekatnya merupakan ibu bagi seluruh laki-laki di muka bumi.
161. REDAKTUR
Duh, wanita memang tak pernah waras setiap
terlibat dalam peristiwa asmara. Akal sehatnya begitu gampang keseleo dan
terserang kram. Sukmanya selalu sempoyongan. Persis tikus sawah kebanyakan
minum bir. Wanita juga merupakan makhluk yang sukar dibaca isi jeroannya, meski
kalau sekadar meraba-raba tidak susah melakukannya. Ibarat permukaan telaga
tanpa tiupan angin! Tenang dan teduh. Menawarkan hamparan pesona keindahan dengan
bau mimpi yang mewah. Namun begitu telaga itu diselami, segeralah muncul naga
raksasa bertanduk api. Menyunggi misteri dan bencana abadi. Pokoknya, mengherankan
dan benar-benar di luar dugaan. Dipegang kepalanya, kena buntutnya. Dicengkeram
buntutnya, eh, terkentut-kentut semaunya. Heh, siapa sih nama suamimu itu?
162. NENEK
Tak perlu kusebut nama. Tidak penting.
Apalah arti sebuah nama. Bukankah
begitu William Shakespeare bilang?
163. REDAKTUR
Prek!!
164. NENEK
Asu!!!!
165. REDAKTUR
Terima kasih. Eh, aku yakin sepanjang usia
perjalanan rumah tangga kalian pasti neneklah yang bekerja keras mencari makan.
Sedangkan suamimu cuma memuas-muaskan diri dengan sibuk menganggur, terlampau
rajin menunggu ilham jatuh dari langit abstrak. Tidak menggali gagasan-gagasannya
dari dalam tanah yang diolah dengan tangannya sendiri. Ongkang-ongkang doang
kayak cukong. Lagaknya saja bagai jendral siap perang. Sepotong pena dijadikan
senjata pusaka andalan dan kertas kosong dianggap medan laga penuh tantangan.
Lalu berteriak kayak kerupuk melempem: Hidup adalah perjuangan!! Hayo, benar tidak Nek?!
166. NENEK
Kok kamu tahu?
167. REDAKTUR
Begitu itulah adat-istiadat para penyair
gagal.
168. NENEK
Jangan merendahkan. Dia bukan penyair
gagal. Dia penyair besar dan agung, paling tidak dalam pandangan mataku. Aku
bahagia dapat melakukan segala macam bentuk pengorbanan bagi dirinya. Tentu
saja agar dia senantiasa dapat menghamili dirinya sendiri dengan ide-ide
fantastis, kemudian melahirkannya
dalam wujud rumusan kearifan hidup. Aku menikmati semua karyanya. Selalu dengan
perasaan berdebar-debar. Haru yang menggemuruh. Surprise, ekstase, katarsis. Ada sensasi psikologis menakjubkan,
luar biasa, yang kualami setiap kali memasuki ruang-ruang ajaib yang
diciptakannya itu. Aku merasa hidup lebih berarti dan punya makna. Belajar dan
terus belajar. Untuk menjadi manusia. Ah, sekarang dia telah meninggalkanku.
Tapi amanatnya masih tertinggal.
Ditulis dengan kapur biru di dinding kamar mandi. Agak bombastis tapi merasuk
hati dan memabukkan imajinasi. Bunyinya:
Bagi kreator, berkarya adalah pekerjaan
keabadian. Sekaya raya apa pun, sepintar apa pun, dan seluas apa pun wawasan seseorang, dia
akan segera lenyap ditelan gelombang sejarah bila tidak meninggalkan karya
besar. Karena sudah terlanjur lahir, bertahanlah, untuk tidak pernah mati!
Bagaimana? Hangat, berdarah, dan menggairahkan bukan? Dapat menyembuhkan sukma
yang terserang influenza, bukan? Dia memang jenius. Tidak ada orang jenius yang
bebas dari berbagai kesintingan. Sebab kesintingan memang saudara kembar dari
kejeniusan, tapi tak boleh diakui kebalikannya. Tanpa para orang gila yang
berani bersikap keras menentang semua konvensi maka dunia ini tak akan pernah
maju pesat. Ya, suamiku memang seorang kreator gila yang dikodratkan menjadi
pemburu besar. Tak kenal henti menjelajahi hutan kreativitas. Dengan gagah
dilabraknya pusat kerajaan terlarang yang dihuni para siluman dan hantu. Sebab
seni sendiri adalah revolusi abadi. Langkah pertama dalam penciptaaan adalah
menghancurkan dan hasil ciptaan bermutu adalah waktu yang dihentikan dalam kesempurnaan. Padahal, bukankah kebesaran hanyalah
jalan menuju ketidaktahuan?! Ahh, suamiku yang malang! Kenapa kamu pergi begitu
jauh dan tak pernah mau pulang? Tanpa sarapan dulu. Nyelonong keluar dari rumah
begitu saja. Tanpa ciuman manis di pipi. Entah ke daerah mana jiwanya
dilabuhkan. Kasihan. Siapa yang menemaninya berjalan? Siapa yang memijit kakinya
kalau kelelahan? Apakah waktu makannya terjaga? Apakah tidurnya bisa nyenyak
tanpa kudampingi? Bukankah penyakit encokmu perlu perawatanku? Imajinasimu
perlu kubakar? Semangatku kini teriris
dan teriris. Aku dilahap naga raksasa bermahkota kesunyian. Kelabakan di lorong
hampa. Sendiri. Ohh, suamiku yang baik!
169. REDAKTUR
Sudahlah. Jangan mewek lagi, Nek. Aku
nanti bisa ikut-ikutan. Tertulari kesedihanmu. Tiba-tiba aku jadi ingat ibuku
ketika menangisi kematian ayahku dulu. Tenanglah, jangan makin dramatis begitu.
Nanti disangka orang kita tengah asyik bermain drama. Redakan emosimu. Jangan over-acting. Kata para penganut aliran
kebatinan, orang baik itu tidak pernah mati, dia hanya tidur, bukan mati. Orang
tidur tidak seharusnya ditangisi.
170. NENEK
Omong kosong ucapan klise itu. Suamiku
benar-benar mati. Bukan tidur. Dan kamulah yang mendorong kematiannya.
171. REDAKTUR
Gombal! Coba terangkan bagaimana
prosesnya!!!
172. NENEK
Suamiku telah mengirimkan ratusan puisi
terbaiknya ke koranmu. Semua dilahirkan
melalui perjuangan batin yang berdarah dan bernanah. Tidak satu pun dimuat. Dia
sabar menunggu. Tapi yang ditunggu tiada kunjung tiba. Dia patah arang. Frustrasi berat berlarut-larut.
173. REDAKTUR
Lantas bunuh diri, begitu?
174. NENEK
Bukan.
175. REDAKTUR
Biar kutebak sekali lagi. Pasti tepat. Tak
perlu dijelaskan. Berikutnya dia sakit keras, bukan? Akhirnya mati ngenas!
Benar?!
176. NENEK
Begitulah kejadiannya.
177. REDAKTUR
Bah! Dasar penyair cengeng! Kirim puisi
ditolak saja kok ngambek. Manja. Pakai minggat ke akhirat segala. Mental tempe
namanya! Pejuang berkualitas kerupuk singkong! Kalau semua penyair kayak
suamimu, lantas berapa banyak penyair yang modar dalam sebulan? Berapa kali aku
harus dituduh sebagai malaikat pencabut nyawa?
Pembunuh tidak langsung berdarah dingin? Dan kalau tiap keluarga atau
istri penyair yang modar itu menuntut balas padaku, ingin gantian membunuhku
seperti kamu sekarang ini, lantas berapa ratus kali aku harus mati? Berapa
banyak redaktur terbunuh setiap hari? Ketahuilah, andaipun setiap kali mati aku
bisa bangkit lagi seperti Yesus, aku tetap tidak mau dibunuh orang satu kali
pun. Konyol! Intelektual kok bernyali kecoak! Tak punya ketabahan. Tak punya
kesadaran bersaing. Ngomongnya doang segede bokong Ratu Cleopatra, tapi praktiknya
cuma semungil brutu burung parkit. Idealismenya membumbung setinggi langit di
atas langit, tapi kenyataannya lebih rendah dari pusarnya sendiri. Astaga!
Pemburu besar macam apa itu? Itu sih kurcaci nakal bermulut raksasa. Singa
ompong yang getol menggertak mangsa dengan menggunakan gigi palsu dari karet.
Busyet! Romantis-romantisan kok keblinger. Itulah akibat dukunganmu yang tak
terbatas. Kekejian yang bertopeng kasih sayang. Tong kosong diisi nasi basi.
Absurd nian permainana ini. Mirip lakon fiksi yang dipaksakan ending-nya. Maunya bikin kejutan tapi janggal
total. Tidak logis dan mengada-ada! Gila!!! Kirim puisi ditolak saja kok terus
modar.
178. NENEK
Bukan penolakan itu sebab utamanya. Tapi
jiwanya yang kosong dan bolong, dunianya yang bocor dan mengempis, akibat
ditusuk sampai ke dasar-dasarnya.
Terhina, hingga ke sumsum tulangnya!
179. REDAKTUR
Terhina bagaimana?! Pengarang mengirim
naskah dan ditolak oleh redaksi, apanya yang aneh? Sangat biasa sekali. Semua
pengarang pasti mengalaminya. Tidak mungkin semua naskah yang datang dapat
dimuat. Harus diseleksi sesuai kebutuhan. Dalam sehari saja ada lebih 200 puisi
masuk dari 20 penyair. Berapa dalam seminggu? Padahal hanya 5 buah yang bisa
ditampilkan dalam seminggu. Mengingat sangat terbatasnya ruang. Yang lain
bagaimana nasibnya? Ya, ditolak. Memang keras persaingannya. Siapa yang unggul
dalam kualitas pasti didahulukan. Karenanya, tidak mungkin seorang redaktur
dapat memuaskan semua pihak. Yang tak puas bisa jadi musuh meski sebelumnya
merupakan kawan akrab. Secara rutin mendapat kecaman, keluhan, caci-maki dan tekanan
dari kanan-kiri atas-bawah. Dari atasan, rekan kerja, penulis, pembaca, dan
pengamat pers. Pendeknya dari pihak resmi maupun tak resmi. Tak jarang sangat
kasar. Membuat hati panas dan jantung tergoncang. Masih lagi dikejar-kejar
deadline, mengambil
keputusan ini-itu, dan menghadapi banyak halangan yang tak boleh dilawan.
Banyak yang berpraduga, bahwa redaktur
itu enak-enakan kerjanya. Santai. Duduk tenang kayak raja gembur yang nongkrong
di takhtanya. Tidak! Redaktur
itu supersibuk, kerja habis-habisan, pusing seribu keliling. Membaca naskah-naskah
jelek lebih tersiksa lagi! Belum pula harus mengerjakan segudang hal lain di
luar keredaksian akibat kurangnya tenaga ahli. Makanya penyakit jiwa dan badan
menjadi langganan setia. Stres, hipertensi, maag, lever, lemah jantung, komplikasi, impotensi, atau lainnya. Kalau redaktur mati, siapa yang
mendoakan? Tidak ada! Lain dengan presiden, dalang, bahkan koruptor. Sebagai
manusia berdaging tentu juga tak luput dari berbagai kesalahan. Ini wajar.
Misalkan, menganak-emaskan pengarang tertentu atau keliru perhitungan dalam
pemuatan. Karya jiplakan diloloskan dan seabreg kekonyolan lain. Sekali lagi
aku cuma insan biasa. Bukan superman. Tapi percayalah, kalau puisi suamimu
mutunya terjamin pasti sudah kumuat.
180. NENEK
Karya suamiku jelas mutunya. Bagus. Kalau
dia memakai nama samaran wanita, tidak satu pun koran dan majalah yang
menolaknya. Semua puisi yang dikirim termuat. Belum pernah terjadi sebuah pun
gagal dimuat. Bahkan lalu banyak tanggapan positif dari para kritikus sastra
semua memuja serta mengelus-elus. Hanya karena dia memalsukan nama dengan nama
wanita!
181. REDAKTUR
Hal seperti itu banyak sekali terjadi.
Dikira redaktur tidak tahu kalau tulisan itu bukan tulisan wanita? Jangan
menduga kami terlampau bodoh. Dari baunya saja sudah terdeteksi. Agak apek!
Tulisan wanita lain lagi baunya. Agak amis! Sebab wanita suka memasak di dapur.
Mengutak-atik daging satu ons. Menggoreng tempe dan tahu. Dan nyebokin anaknya
yang masih balita. Hidung kami lebih tajam dari hidung anjing pelacak. Jadi
kami tentu tahu kalau dikibuli. Tapi tetap dimuatkan juga. Ini cuma karena
pertimbangan bisnis, bukan hati nurani. Bagaimanapun, usaha penerbitan koran
juga memprioritaskan segi bisnis. Bukan sekadar membela fakta dan realita.
Pembaca perlu disenangkan, dirayu, acapkali dikibuli yang penting bisa senang,
supaya jumlah langganan terus meningkat. Nama wanita jelas lebih komersial,
mengingat negeri ini miskin penyair wanita. Langka. Penyair wanita itu sama
dengan binatang purba. Susah mencari makhluk aneh macam begituan. Banyak wanita
menggebu-gebu menulis puisi semasih lajang, tapi begitu menikah langsung
terkapar K.O. ditungganggi suaminya.
Makanya banyak pengarang lelaki secara licik mengakali redaktur dengan menyamar
sebagai wanita. Lucu seperti banci. Tujuannya supaya mendapat simpati. Biar
honornya menumpuk dan terhindar dari kelaparan. Tak peduli apa kata nurani.
Kami pasti tahu. Intuisi kami lebih peka dari maling. Tidak kayak polisi yang
sering kalah lomba lari dengan pencuri kelas teri. Apalagi dengan pencuri uang
negara, makin besar jumlah curiannya makin tak berdaya melacaknya. Entahlah
kalau para kritikus yang punya tradisi sok keminter itu. Yang merasa makin
gagah perkasa manakala membantai daripada memuji. Pedas dan sinis tutur katanya
tapi kalau dikritik balik seupil saja langsung kelenger. Mati berdiri! Selalu
cerewet menuntut seniman agar tahan kritik, dewasa menghadapi kritik, tapi
dirinya sendiri pilih mampus daripada dikritik!!
182. NENEK
Jika demikian nama suamiku yang salah.
Bukan karyanya atau orangnya. Namanya memang tidak identik dengan
kesastrawanan. Tidak berbau sastra. Tidak puitis sedikit pun. Hanya cocok bagi
petani gurem di desa terpencil.
183. REDAKTUR
Sekarang tak usah pedulikan William
Shakespeare. Tolong, sebutkan siapa nama suamimu!
184. NENEK
Namanya keterlaluan jeleknya. Sama dengan
nama barang pusaka yang paling sakral di dunia.
185. REDAKTUR
Barang pusaka? Maksudmu?
186. NENEK
Aku malu mengatakannya terus terang. Jorok
dan saru. Yang kumaksud barang pusaka adalah organ tubuh laki-laki yang paling
dibanggakannya. Diucapkan dalam bahasa Jawa.
187. REDAKTUR
Ha ha ha...! Itu rupanya nama suamimu?!
Wah, keramat sekali!! Pantas saja tak ada satu pun koran yang mau memuatnya.
Seandainya koranku nekat menampilkannya, bisa-bisa Negara Republik Indonesia
ini geger. Lalu koran Minggu Siang dibredel hanya karena kasus menggelikan.
Amit-amit!! Hei, Nek! Kok suamimu tidak terus mengenakan nama samarannya saja? Kenapa?
188. NENEK
Nama aslinya meski tidak sopan dan tidak
komersial, adalah nama wasiat pemberian orangtuanya. Harus disunggi ke manapun pergi. Nama
samarannya dulu memang indah. Membuat karyanya tak pernah ditolak redaksi.
Padahal yang dikirim hanya puisi kelas sampah. Tapi honornya jarang sampai.
Betapa memalukan. Sedemikian banyak koran di negeri ini yang kerjanya
mencurangi para penulisnya. Tulisan dimuat tapi honor tak dikirimkan. Kalau
tidak ketahuan pasti amblas. Bahkan penulis yang menagih ke redaksi lewat surat
cuma dianggap angin lalu belaka. Didatangi langsung ke kantor, masih tidak
diberikan juga. Alasannya tentu macam-macam. Mohon dimaklumi. Amit-amit! O ya,
apa tadi? Nama samaran suamiku?! Betul. Nama indah itu diambilnya dari anak
kami satu-satunya yang sudah meninggal dunia ketika masih dalam kandungan. Tapi
akhirnya diputuskan nama itu tidak digunakan lagi. Sebab selalu membangkitkan
kenangan sedih. Biarlah terkubur bersama jasad pemiliknya. Tak baik
mengutik-utiknya lagi. Suamiku lalu bersumpah hanya akan menggunakan nama asli pemberian orangtuanya. Apa pun risikonya!
189. REDAKTUR
Siapa sih nama samarannya dulu?
190. NENEK
Ratu Pandan Wangi.
191. REDAKTUR
Itu kan nama penyair besar! Penyair wanita
yang misterius. Tak pernah terlacak jati dirinya hingga kini. Tak pernah putus
jadi pembicaraan hangat di dunia sastra. Dia pernah puluhan kali memenangkan juara utama sayembara penulisan
puisi tingkat nasional dan regional. Tapi tak pernah mau mengambil hadiahnya.
Menongolkan batang hidung dan raut wajahnya lewat foto pun tidak. Aneh bin
ajaib. Sudah sekitar lima tahun belakangan ini dia menghilang. Amblas bagai
ditelan bumi. Edan! Ini skandal besar yang bisa laris kalau ditulis. Tak
kusangka, Ratu Pandan Wangi itu nama aslinya Organ Tubuh Yang Paling
Dibanggakan Laki-laki. Yang diucapkan dalam bahasa Jawa. Selama ini aku sudah
membayangkannya sebagai wanita cantik bagai rembulan, yang berbau wangi bagai
daun pandan. Tidak tahunya cuma laki-laki tua bangkotan yang berbau ompol. Pesing! Sialan! Hi hi
hi...
192. NENEK
Cukup! Sudahi banyolanmu! Sekarang
katakan, kalau memang tidak bakal dimuat kenapa naskah-naskah suamiku tidak
dikembalikan? Atau paling tidak sekadar pemberitahuan lewat kartu pos?
193. REDAKTUR
Pasti tidak disertai prangko pengembalian.
Kantorku memang tidak menyediakan dana untuk mengembalikan naskah yang ditolak.
Jadi prangko pengembalian itu penting bagi pengarang sendiri. Jangan
diremehkan.
194. NENEK
Sudah! Suamiku senantiasa menyertakannya.
Bahkan biasanya berlipat ganda nilainya.
195. REDAKTUR
Ah, masak sih begitu?
196. NENEK
Sungguh menyakitkan! Padahal ratusan
naskah puisi yang dikirimkan bertahap ke koranmu itu tidak ada rangkapannya.
Makanya dia berusaha mengambilnya kembali. Jarak 200 km dia tempuh dengan
berganti-ganti bus umum. Dia kelelahan luar biasa karena badannya memang sudah
ringsek dimakan usia dan berbagai penyakit. Turun dari bus kota dia berjalan
tertatih-tatih menuju kantor Koran Minggu Siang. Tapi kurang dari 300 meter dia
berhenti di sisi bak sampah karena encoknya kumat. Tiba-tiba matanya terpaku
pada onggokan kertas-kertas yang dibuang di situ. Dia penasaran melihat banyak
kertas berwarna biru berserakan. Sebab dia pencinta warna biru sebagai simbol dari
keabadian cinta. Dia selalu menulis di atas kertas biru. Selembar dipungutnya.
Alangkah kagetnya, karena itu adalah naskah puisinya. Dengan penuh nafsu dan
emosi serta tubuh bergetar hebat dikumpulkannya semua kertas biru yang ada di
situ. Semuanya ternyata naskah puisinya!! Sudah pada kotor bercampur tai anjing, tai
kucing, mungkin juga tai manusia, dan comberan busuk. Dia meraung dan menangis
keras. Lalu jatuh pingsan di atas onggokan sampah. Tak ada orang yang mau menolong
kecuali sekadar melihat sejenak sembari meludah ke tanah. Dikira dia
gelandangan. Masyarakat memang menganggap gelandangan sama saja dengan sampah.
Bukan manusia dan bukan warga negara. Penggendong bakteri dan benih kejahatan.
Layak diinjak-injak karena mengotori kota dan membuat malu negara. Sesudah
kembali sadar, suamiku berubah linglung. Bagai disulap penyihir. Dia langsung
pulang, membonceng satu truk ke truk lainnya. Sepanjang jalan dia meratap-ratap
sambil mendekapi setumpuk kertas biru yang dianggap sebagai anaknya sendiri.
Ya, bagi penyair puisinya adalah anak kandungnya. Jarak 200 km dia tempuh dalam
waktu seminggu. Dia tersesat-sesat dan tidur di sembarangan tempat. Sesampai di
rumah dia membisu sambil berleleran air mata. Badannya kotor penuh debu. Lalu
mendadak berteriak histeris, bercerita sekilas, membisu lagi.
197. REDAKTUR
Maafkan aku, Nek. Begitu tak terbatas
dosaku padanya. Ampuni pula semua kelancangan ucapanku sepanjang perbincangan
ini tadi. Suamimu seorang penyair besar yang dibantai nasib keji dan tragis.
Dalam sekali luka-lukanya!
198. NENEK
Oh, betapa merana dia. Hari-harinya
kemudian dilewatkan tanpa bicara sepatah pun padaku. Penyakit tuanya kambuh dan
makin memberat. Di tempat tidur terus-menerus mengigau tak karuan. Dihajar
demam dan digerogoti maut. Menjelang ajal dia mengumpat-umpat namamu dengan
sinar mata merah membasah. Itulah satu-satunya umpatan kotor yang pernah
kudengar dari mulutnya seumur hidupku. Lalu tubuhnya mengejang, kadang berkelojotan,
mulutnya berbusa-busa. Keadaan itu berlangsung sangat lama. Amat menegangkan. Rupanya
Dewi Kematian kewalahan membetot nyawanya.
Sebab dia keras sekali bertahan. Dia begitu menderita. Bagai dihimpit
dinding panas dari segala arah. Berat. Sukmanya terbakar. Akhirnya aku tidak
tahan melihat kemelut itu. Kuambil selendang tua yang tergeletak di kursi. Dengan
cepat kulingkarkan pada batang lehernya. Kutarik sekuat tenaga. Matanya mendelik!
Dia pergi!!!
199. REDAKTUR
Apa? Kamu membunuhnya?!
200. NENEK
Tidak! Aku menolong membebaskannya!!
201. REDAKTUR
Bukan! Kamu telah membunuh suamimu. Kamu
menipu diri sendiri dengan mengkambing-hitamkan aku. Agar kamu dapat merasa
lepas dari perasaan berdosa. Biadab. Keji nian tindakanmu. Orang sudah sekarat
masih dijirat. Kenapa kamu tidak cukup sabar untuk menunggu beberapa menit
lagi? Supaya dia bisa mati tenang! Arwahnya tidak penasaran!! Mati wajar! Bukan
kayak binatang hina-dina yang dicelakai!! Dibunuh dalam keadaan sudah tak
berdaya!! Senewen!! Pembantaian itu pasti membuatnya menyesali pertemuannya
dengan dirimu. Seandainya dia tak pernah ketemu dengan kamu dalam sejarah
hidupnya, pastilah riwayatnya tidak berakhir dengan sepele. Remeh! Tanpa kegagahan
dan suasana khidmat!! Hebat benar tindakanmu dalam mengekspresikan cinta palsu.
Harimau ganas bertaring drakula yang bersarang di pusat kegelapan hatimu,
akhirnya menerkam mangsanya yang paling
baik hati. Mencabik-cabik dan membinasakan. Merobek-robek dada dan mengisap
darah dari jantungnya. Dahsyat sekali!!!! Hei?! Mau apa kamu?! Diamlah di
tempatmu!! Jangan beranjak dari situ. Aku akan menelepon polisi. Biar kamu
ditangkap dan diadili. Sungguh ini skandal besar. Spektakuler. Penyair kampiun
yang misterius dibantai istrinya di ranjang! Kalau kutulis pasti menaikkan
oplah koranku!!!!
202. NENEK
Tidak! Jangan menari di atas bangkai orang
lain. Jangan hubungi polisi. Bukan aku pembunuhnya. Aku hanya sekadar
membebaskan dirinya dari siksaan berlarut-larut. Kamulah yang mendorong
kematiannya! Kamulah hantu bengis yang menculik nyawanya!!
203. REDAKTUR
Fitnah! Kedokmu sudah kamu bongkar
sendiri. Terlambat. Tak mungkin lagi kamu ingkari. Kamu harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!! Tidak bisa tidak!!
204. NENEK
Babi!! Terimalah pisau dapurku ini!!!
205. REDAKTUR
Hei?! Apa-apaan?!
206. NENEK
Awaaaaaasss!!!!!!
Yogyakarta, 13 Agustus 1996
No comments:
Post a Comment