(Cerita panggung) Sri Harjanto Sahid - REVOLUSI TINJA

REVOLUSI TINJA

Cerita panggung: Sri Harjanto Sahid


Seandainya tinja satu gelepok itu bisa berbicara, pasti ia akan berteriak lantang, “Sialan!!”, ketika pantat Azwar memaksanya keluar dengan cara sangat tidak sopan dan tanpa rasa hormat sama sekali, dari atas jembatan. Lalu tinja bertubung kuning kecoklatan itu akan meneruskan caci makinya, “Dasar sompret! Kayak nggak pernah makan sekolahan! Masak, nggak pakai kira-kira!! Ngeden ya ngeden, tapi mbok ya pelan-pelan dikit ngapain, sih?! Kayak maling diuber-uber polisi saja. Badan saya sakit! Lecet-lecet nih!!”
Tapi tinja itu tak bisa bicara. Oleh karena itu tak bisa menyuarakan protes beratnya. Ia hanya mampu bersungut-sungut dan pasrah menerima nasib buruknya. Bahkan ketika kejatuhannya tepat mengenai kepala Nardi yang tengah lewat di bawah jembatan, tinja itu hanya mampu bersikap membeku. Hatinya gemetar. Membayangkan nasibnya yang bakal lebih parah lagi.
Sekali lagi, seandainya tinja satu gelepok itu bisa berbicara, pasti ia akan segera teriba-iba meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Nardi. Suaranya akan parau saking takutnya, “Ampuni saya dong Mas Nardi. Sungguh, ini bukan kesalahan saya. Tapi salah Azwar. Percayalah. Saya sendiri tidak memiliki budaya tidak senonoh seperti ini. Leluhur saya tidak pernah mengajarkannya. Berani sumpah! Harga diri saya terluka dan tersinggung diperlakukan sewenang-wenang seperti ini. Saya kan punya hak untuk diletakkan di tempat yang semestinya. Bukan di atas kepala begini. Kalau begini ini saya namanya kan dimahkotakan. Benar-benar tidak pas. Kepala Anda sungguh tidak layak bagi saya. Terlalu terhormat. Hal ini justru mencemarkan nama baik ketinjaan saya. Ketidaktahudirian yang terjadi tanpa saya maui ini, amat sangat merugikan saya. Membuat eksistensi saya sebagai gambaran lapisan kelas bawah menjadi kabur!”
Tapi lagi-lagi, tinja cukup tampan itu tak bisa berbicara. Maksudnya berbicara dalam bahasa manusia. Apalagi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Ia hanya berbicara dalam bahasanya sendiri. Yang aneh. Akibatnya Nardi tak dapat menerima penjelasan cukup intelek dari tinja malang itu. Amarah Nardi langsung meledak. Dengan serta-merta tinja satu gelepok yang nemplok memahkotai kepalanya itu diraupnya. Sambil berteriak keras-keras, “Bangsaaat!!!” dilemparkannya kembali tinja itu ke arah Azwar yang masih asyik nongkrong di atas jembatan. Plok!! Tepat mengenai tengkuk Azwar. Azwar kaget bukan main. Azwar siap naik pitam. Tapi begitu menengok ke bawah dan menyadari keadaan, Azwar langsung lari terbirit-birit sambil membetulkan letak celananya. Menghindari seluruh tanggung jawab atas perbuatan jahanamnya. Tubuh Nardi yang besar mirip binaragawan dan wajahnya yang sangar membuat nyali Azwar runtuh seketika. Azwar lari kencang sambil terkentut-kentut dan ngompol sedikit-sedikit.
Sepanjang pelarian dirinya yang bagai maling diuber-uber polisi, hati Azwar serasa diamuk badai. Hajatnya yang belum lunas dan puncak kenikmatan yang belum tergapai membuatnya sibuk mengumpat-umpat. Tapi Azwar terus saja mengayunkan kaki dengan makin memercepat tempo. Sebab jantungnya hampir copot membayangkan Nardi yang mengejarnya dari belakang dengan penuh amarah. Untunglah ada taksi menderu dari depan. Di-stop-nya taksi itu. Tanpa basa-basi Azwar langsung minta diantar pulang ke rumahnya. Yaitu di sebuah kawasan kumuh yang merupakan lokasi penampungan bagi para seniman tidak sukses.
“Lho, bau apa ini?” tanya sopir taksi.
Azwar hanya diam. Bingung dan kemalu-maluan.
“Maaf, Mas berak di taksi saya ya?”
Azwar cepat-cepat menyadari keadaan. Dibukanya baju pinjaman yang dikenakannya. Lewat jendela dibuangnya baju itu. Celananya yang basah oleh ompol mau dicopotnya juga untuk dibuang. Tapi mendadak ia ingat tak memakai celana dalam. Lalu dibatalkannya niatnya membuang celana penuh ompol itu. Sopir taksi terheran-heran melihat tingkah lakunya yang mirip beruk kebakaran pantat.
“Aduh, maaf Pak. Pokoknya nanti Anda akan saya bayar tujuh kali lipat. Asal Anda tidak marah dan mau cepat-cepat mengantar saya sampai ke rumah.”
Sopir taksi secara refleks mengembangkan senyumnya.
“Lho, kenapa sih Mas?”
“Bapak mau saya ceritai? Wah, lucu sekali deh!”
Azwar mulai tertawa-tawa kecil mengenang pengalaman paling indah di dalam hidupnya barusan. Sopir taksi penasaran. Minta dengan sangat agar Azwar membagi kebahagiaannya. Dengan runtut, dalam plot yang rapi dan canggih, Azwar mengungkap sepenggal riwayat hidup yang dijalani belum lima menit berlalu. Begitu cerita berakhir keduanya terbahak-bahak sampai air matanya bercucuran. Kursi yang diduduki terguncang-guncang. Taksi melejit lebih cepat!
Lalu bagaimana nasib sang tinja satu gelepok itu kemudian? Bagaimanakah gerangan? Nah, ikutilah kisah petualangannya yang spektakuler. Kalau tidak spektakuler buat apa dikemukakan? Bahkan liku-liku petualangannya pantas dijadikan buku biografi untuk dipasarkan ke seluruh penjuru dunia dan akhirat.
Tatkala Azwar membuang bajunya dari dalam taksi, kebetulan ada seorang peragawati cantik bersama pacarnya yang sudah tua renta dan pikun berdiri di pinggir jalan. Mereka bergandengan tangan sangat mesra. Siap menyeberangi jalan. Peragawai molek dan superbahenol itu mengenakan gaun mini dengan potongan di dada terbuka lebar. Sehingga sepasang buah-buahan yang dibanggakannya sebagian besar menyembul keluar. Mau tumpah. Menantang bintang-bintang di langit agar menjamahkan jemari sinarnya yang indah. Apa daya, yang datang justru sebuah baju kucel ditemani segelepok tinja. Tepat hinggap di daerah paling nyaman tersebut. Sang baju langsung lemas terpuruk jatuh ke bawah dan nglumpruk di aspal. Tapi sang tinja tetap bertengger dengan megahnya. Terciptalah pemandangan menakjubkan: Dua gunung memeluk rembulan! Tentu saja peragawati itu jadi kelabakan. Sambil menangis tak karuan, tangannya secara refleks bergerak mengusir tinja kurang ajar itu. Dengan sentakan keras membuangnya ke tengah jalan. Pacarnya yang pikun hanya bengong dan salah tingkah. Bingung mau berbuat apa. Peragawati itu tambah kalut dan histeris. Telapak tangannya digunakan menutupi wajahnya. Lalu untuk mengacak-acak rambutnya sembari terus menangis dan mengekspresikan rasa jiijk. Dalam situasi makin tak menentu sepasang pahanya yang mulus, pantatnya yang menggelora bagai gunung berapi siap meletus, dan bagian-bagian tubuh lainnya mendapat giliran dijamah-jamah. Akhirnya, dipeluknya pacarnya erat-erat sambil meledakkan emosinya yang paling puncak. Sungguh dramatis. Peragawati itu tak menyadari, bahwa telapak tangannya tadi sudah berlepot tinja.
“Rejeki nomplok nih! Tidak dinyana nasib begini mujur. Benar-benar pintar si Azwar. Dia membuat saya menjadi tinja paling beruntung di dunia. Bagaimana saya harus membalas utang budi yang tiada terkira besarnya ini kepada si Azwar?!” demikian ocehan lepotan tinja di tengah kepiluan sang peragawati. Tentu saja dengan bahasa tinja. Dengan perasaan dingin lepotan tinja itu menggali kebahagiaan di atas penderitaan orang. Ocehannya makin lama menjadi lebih mesum. Terutama yang melepoti daerah rawan bahaya. Tertawa cekikikan, medesis-desis keenakan, mendesah-desah kegelian, terengah-engah menderu-deru seperti sedang mendaki puncak kenikmatan. Gumamnya tak beraturan, “Ah ih uh ah oh!! Eh! Eh!! Ih uh ah!!!”
Sementara sang tinja satu gelepok yang terlempar ke tengah jalan hanya bungkam dalam kecemburuan. Ngiler dan mangkel merenungi keberuntungannya yang cepat berlalu. Sampai kebisingan mereda ia tetap terpuruk sunyi di tempatnya. Dipandanginya sang peragawati naas dan pacarnya pergi tanpa pesan. Samar-samar masih didengarnya ocehan-ocehan mesum lepotan tinja yang lengket di daerah rawan bahaya dari tubuh sang peragawati. Sedangkan yang terpaksa lengket di jidat dan depan hidung si tua-pikun, didengarnya mengumpat-umpat berkepanjangan bagai kerasukan setan.
Angin malam mendesir. Dingin. Langit muram. Rembulan memucat dan awan tebal yang berarak bagai naga raksasa mulai memakan bokong rembulan pelan-pelan. Suasana terasa mencekam. Apalagi bintang yang masih ngeceng dapat dihitung dengan jari. Tak ada sesuatu pun yang lebih menyiksa selain kesendirian. Dalam kesendirian, sunyi seolah-olah menjerit-jerit melepaskan raganya. Kecemasan menyerang dari delapan belas penjuru bagai taring-taring ajaib yang menakutkan. Satu gelepok tinja bertubuh kuning kecoklatan itu menggigil. Bukan lantaran dingin tertiup angin. Tapi karena tegang dan waswas. Renungannya yang positif tentang masa depan timbul-tenggelam. Sebaliknya ia dihantui obsesi-obsesi negatif. Membuat frustasi. Berkali-kali mobil dan sepeda motor lewat. Hampir melindasnya! Setiap kengerian semacam itu muncul ia menangis keras-keras. Berulang-ulang. Untunglah nasib baik senantiasa melindunginya. Sehingga roda-roda bengis yang berseliweran tak pernah mengenainya sedikit pun. Ia bersyukur. Barangkali ini berkat kemanjuran doa dan jampi-jampinya. Yang dilakukannya dengan khusyuk dan penuh konsentrasi.
Kilat menyambar. Gerimis turun. Lalu ledakan petir yang berulang-ulang membuat awan hitam tebal yang menggantung di langit berubah menjadi curahan hujan yang dahsyat. Pesta pora semesta raya dengan tumpahnya air mengguyur bumi berlangsung sangat lama. Tinja satu gelepok yang menjadi aktor utama dalam cerita ini tentu saja bertempik sorak kegirangan. Apalagi ketika air naik menggenangi jalanan, ia pun segera mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Seru Sekalian Alam. Bersamaan dengan arus air yang membawanya pergi, tiba-tiba muncul badai angin ribut disertai curahan hujan yang lebih menggila. Ledakan petir menggelegar berkepanjangan. Berulangkali. Terus-menerus. Pohon-pohon bertumbangan. Banyak rumah berobohan. Porak poranda. Banjir segera tercipta.
Tinja satu gelepok bertubuh kuning kecoklatan bergulir memasuki pusat kota. Penuh kemenangan ia menyanyi sendirian. Semangatnya sedemikian tingi. Sorak-sorak bergembira. Sambil sesekali terlonjak-lonjak. Disaksikannya hampir sebagian besar wilayah di seluruh penjuru kota terendam. Diakibatkan oleh saluran-saluran air yang mampet tersumbat milyaran softex bekas pakai. Ditambah gunungan sampah dan limbah. Air meluap dari beberapa sungai. Pada daerah yang permukaan tanahnya rendah banyak rumah terbenam total. Sedang di daerah yang cukup tinggi hanya digenangi air berkedalaman satu setengah meter.
Sepanjang malam terdengar ribut-ribut dan hiruk-pikuk di sana-sini. Ada jeritan minta tolong. Tangisan bayi dan kanak-kanak. Gerutuan dan makian orang yang berusaha mengungsi sambil menyelamatkan harta bendanya. Tentu saja para maling juga banyak yang sibuk memanfaatkan keadaan. Serobot sana serobot sini. Berlagak menolong kemudian menggarong. Dalam keserbakacauan tinja satu gelepok yang menjadi tokoh pujaan kita berhasil mendapatkan kekayaan wawasan dan pengetahuan. Yang luar biasa besarnya. Terutama tentang kelakuan manusia yang aneh-aneh. Salah satunya, yang sungguh mati membuatnya terheran-heran, dilihatnya seorang budayawan muda sangat kondang sibuk memforsir tenaga berzina dengan nenek misterius di atas genting. Di bawah hujan deras. Diiringi pekikan halilintar bertalu-talu.
Hingga pagi tiba, alam tetap mengamuk. Bahkan ada tanda-tanda akan berlangsung terus sepanjang hari lagi. Tokoh pujaan kita sudah tampak kelelahan hilir mudik tiada henti diseret arus air yang mengalir. Emosinya seolah terkuras dan imajinasinya macet. Apalagi ia harus seringkali bersusah payah menghindari tabrakan dengan tumpukan sampah menjijikkan. Yang menggendong bertrilyun-trilyun bakteri dan virus bertampang garang. Hanya kalau kebetulan bertemu dengan sesama tinja hatinya agak terhibur. Lalu dialog pun terjadi. Saling bertukar kabar dan pengalaman. Dalam bahasa nasional mereka tentunya.
“Hai, para sobat! Mau ke mana kalian?” teriaknya kala tergugah dari lamunan dan melihat barisan tinja berkelok-kelok sangat indah sepanjang dua ribu lima ratus meter.
Lho, apa kamu belum tahu? Apa tidak mendapat undangan?” jawab komandan yang mengatur barisan. Ekspresinya tampak memancarkan ketidakpuasan. Lalu meskipun tidak punya sungut ia bersungut-sungut, “Wah, ini jelas keteledoran pihak panitia penyelenggara. Ternyata undangan tidak disebarluaskan secara maksimal. Publikasi juga sangat kurang. Jangan-jangan ada yang mau memboikot!”
“Ada apa, sih? Kok serius amat!”
“Ada rapat akbar. Membicarakan rencana besar!”
“Di mana?”
“Di Stadion Utama.”
“Apa yang mau dibahas?”
“Wah, rahasia. Cerewet amat sih kamu! Ayo, cepat bergabung saja. Nanti terlambat. Jangan males-malesan dan lamban kayak pegawai negeri. Dunia tinja mengharamkan jam karet!”
Tokoh pujaan kita pun bergabung dengan rekan sebangsa dan setanah airnya. Sesuai peraturan yang berlaku, ia harus menempatkan diri di ujung paling belakang. Mereka berjalan sangat tergesa-gesa. Berderap-derap sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Singkat cerita, barisan tinja itu sampai di Stadion Utama kurang satu menit menjelang pintu ditutup. Begitu tokoh pujaan kita masuk, pintu stadiun langsung ditutup keras-keras. Jedher!! Jadilah ia sebagai peserta terakhir dalam rapat akbar yang bersejarah. Yang sebentar lagi akan segera dimulai.
Ternyata, Stadion Utama sudah penuh sesak dengan tinja-tinja yang terapung dan berdesakan. Sampai sekadar bernapas pun sulit dilakukan. Banyak yang pingsan. Banyak pula yang mengambil keuntungan untuk saling bersetubuh secara tidak sengaja. Menikmati seks kilat. Keringat yang bercucuran membuat aroma stadion menjadi sedap bukan kepalang. Aroma ajaib itu mampu mengantarkan ke dunia mimpi yang telah hilang ratusan abad sebelumnya. Hadirin meningkat berlipat-lipat gairah berpolitiknya. Mereka terdiri dari berbagai suku bangsa pribumi dan nonpribumi. Yang secara tidak kompak sudah menjadi satu warga negara. Ada tinja Batak yang suka menggertak, kaku, berwajah kotak-kotak. Ada tinja Irian yang hitam legam, kribo, gampang heran. Ada tinja Madura yang atos, pedas-panas, legit sekali. Ada tinja Betawi yang jenaka, mengaku sering menjadi bintang film, tampangnya sih memang agak-agak mirip Rano Karno. Ada tinja Jawa Tengah yang karakternya jelek bukan main, lekas lumer, kemlenyek-mlenyekan terutama yang dari Kabupaten Sragen. Ada tinja Daerah Istimewa Yogyakarta, sok priyayi, baunya harum bagai gudeg kedaluwarsa. Ada tinja Ambon yang persis pisang ambon. Ada tinja Sunda yang kepete-petean. Ada tinja Bali yang tampak mistis-religius. Ada tinja Melayu yang selalu lari-larian. Ada tinja Dayak pedalaman yang kebanyakan masih buta huruf. Ada tinja peranakan Cina, pintar kungfu tapi agak sinting, sebentar-sebentar memekik ciaaaat-ciaaaat. Ada tinja asli Arab yang gede banget, kayak permen coklat raksasa, bentuknya persis pentungan polisi dan kepalanya mengenakan helm dari besi-baja. Ada tinja India imigran mirip ular kobra. Serta masih banyak etnis lain lagi yang tak mungkin disebutkan di sini satu persatu mengingat terbatasnya tempat dan waktu. Semua dari mereka itu telah terikat sumpah palsu; Bertanah air satu tanah air tinja. Berbahasa satu bahasa tinja. Berbangsa satu bangsa tinja. Namun di tengah-tengah mereka ada pula tamu asing yang diundang sebagai peserta kehormatan. Misalnya, tinja Amerika Serikat yang liberal, kapitalistik, dan betapa menjemukan karena lagaknya sok superpower. Lalu tinja Inggris yang flamboyan dan pintar berbahasa Inggris. Tinja serumpun, Malaysia, yang penampilannya terkesan ketinggalan zaman. Tinja Australia yang hangat-hangat tai ayam. Sementara tinja Rusia dan Kuba sengaja tidak diundang mengingat bau komunismenya yang menyengat hidung dianggap merupakan ancaman membahayakan. Di luar dugaan, ternyata banyak tinja haram menyusup secara rahasia dan sembunyi-sembunyi. Yaitu dengan menyamar sebagai turis asing, di antaranya tinja KGB, tinja MOSSAD, tinja CIA, tinja NATO, tinja Macan Tamil, tinja Al Qaeda, tinja Ku Klux Klan, tinja cucu Nazi dan GESTAPO, dan tinja James Bond 007.
Pada pukul 06.00 waktu setempat, rapat akbar resmi dibuka. Di podium tampil tinja yang paling besar. Gemuk, bongkok, dan gendut. Kira-kira beratnya satu setengah kilogram. Wajahnya memesona, simpatik, bersahabat. Mulut mrongos ke dalam. Tepukan panjang mengiringi lemparan senyumnya. Khas gaya pejabat tinggi negara. Sesudah mengucapkan salam, ia pun membuka mulutnya lebar-lebar. Amat sangat lebar. Tiga menit hening. Sunyi senyap. Tak terdengar suara apa pun. Eh, ternyata tinja spektakuler itu kelupaan segera mengatupkan mulutnya kembali. Atau barangkali gerahamnya mendadak terserang kram? Siapa tahu?!
“Saudara-saudaraku! Putra-putri Ibu Pertiwi tercinta! Setelah kemarin secara de facto saya menyatakan diri sebagai pemimpin kalian kaum tertindas, maka kini dengan berdiri di sini berarti sah sudah kedudukan saya secara de jure. Saya terpilih semata-mata karena kehendak arus bawah. Bukan karena dipaketkan dari atas sebagai rongsokan yang menjijikkan. Inilah bukti bahwa demokrasi kita semakin menemukan harga dirinya. Arus bawah telah bangkit. Menggasak arus atas. Yang otoriter, sewenang-wenang, sekaligus gemblungnya bukan alang-kepalang. Di bawah kepemimpinan saya, percayalah, bahwa asas demokrasi akan benar-benar dijalankan secara murni. Konsekuen! Bukan sekadar dijadikan renda-renda hiasan bagi celana dalam. Alias demokrasi-demokrasian itu! Bukan demokrasi yang manis di mulut tapi pahit di buntut. Bukan demokrasi yang diterapkan menurut penafsiran kerdil penguasa berdasarkan kepentingan pribadinya sendiri. Bukan! Sama sekali bukan!! Tapi demokrasi tulen berdasarkan penafsiran luhur masyarakat tinja secara luas. Saya ini maniak demokrasi. Bapak saya dulu lebih maniak lagi. Seluruh keluarga besar saya maniak demokrasi. Cecunguk-cecunguk di sekitar saya juga begitu. Itulah jaminannya!!” demikian ungkapan bergula Sang Pemimpin Besar Tinja mengawali pidatonya. Tentu isi keseluruhan pidatonya bukan hasil pikirannya sendiri. Ekspresi wajahnya yang kebego-begoan jelas-jelas tidak menunjukkan ada kecerdasan yang cukup layak. Pasti tim tertentu yang telah mempersiapkannya. Koarnya lagi dengan lebih menggebu, “Camkanlah!! Kita bukanlah seperti bangsa manusia. Yang picik, licik, dan tidak bijaksana. Kita adalah bangsa tinja yang luhur. Agung dan rendah hati!! Kita mencintai kejujuran dan kebenaran sejati. Tidak seperti bangsa manusia yang munafik, hipokrit, dan tanpa rasa bersalah suka membengkokkan kebenaran sejarah. Oleh karena itu kita tak pernah memergunakan parfum wewangian agar bau tubuh kita berubah. Kita senantiasa bangga dengan bau tubuh kita yang asli. Tidak seperti bangsa manusia yang justru minder dengan kemurniannya sendiri. Lalu mengenakan topeng-topeng agar kelihatan seperti bukan manusia. Pura-pura menjadi malaikat. Bahkan banyak sekali yang bergaya bagaikan Tuhan. Tai kucing semua itu! Jangan sampai kita tertulari ketidakberbudian dan kegoblokan bangsa manusia. Yang rajin membuat undang-undang tapi lebih rajin lagi menginjak-injak semua undang-undang yang dibikinnya sendiri. Itulah penghinaan paling laknat terhadap kehormatan diri sendiri. Sungguh tak terampunkan. Sekali lagi, jangan mencoba-coba meniru kelakuan buruk bangsa manusia. Ya, meskipun kita ini adalah anak kandung bangsa manusia. Yang dilahirkan dari dalam perutnya secara sah tapi tak pernah diakuinya karena malu. Justru kita dicampakkan seperti ini. Dibuang dengan tidak semestinya. Sebagai anak kandung sejati seharusnya kita dicintai sepenuh hati. Ditimang-timang dan dicium-cium dengan penuh kasih sayang. Setiap pagi, siang, sore dan malam. Eh, lha kok para orang tua kita itu malahan melupakan kita begitu saja. Tidak pernah mencoba mengingat sama sekali. Kejam. Sungguh sangat kejam! Benar-benar orang tua durhaka!! Mari kita doakan saja supaya mereka semua nanti masuk neraka. Tapi jangan sedih. Jangan menangis Saudara-Saudaraku. Bah!! Dalam soal memberi penghargaan terhadap masa lalu, kita ini memang jauh lebih cerdas dari leluhur kita bangsa manusia. Harkat dan martabat kita lebih tinggi. Lebih mulia. Sebenci apa pun, kita tetap dihantui kerinduan dahsyat untuk bisa berjumpa lagi dengan mereka. Kangen! Bajingan, benar-benar kangen!!! Tapi mereka justru sebaliknya. Benar-benar mereka tak punya romantisme. Miskin perasaaannya tentang cinta. Kasihan!!!”
Stadion Utama gemuruh. Tepukan dan sorak-sorai hadirin menggelegar. Langit meningkahnya dengan ledakan halilintar menyambar-nyambar. Serempak mereka berderap-derap. Berdesakan saling menggosokkan pantatnya. Sembari menggumamkan lagu-lagu perjuangan. Angin kencang menderu. Mimpi menderu. Sukma menderu. Birahi menderu. Segalanya menderu-deru!!
“Karena kita penganut asas demokrasi tulen. Maka jika ada isi pidato saya yang tidak kalian setujui, silakan diprotes. Di sini protes hukumnya wajib. Berdosa besar bagi siapapun yang mengetahui berbagai kebobrokan dan kecurangan tapi mengunci mulutnya rapat-rapat. Takut melakukan protes terbuka. Lebih suka gerundelan sendiri seperti banci. Para pengecut semacam itu harus diberi hadiah istimewa; dikentuti beramai-ramai! Jangan takut dicekal. Pencekalan itu hanya kebudayaan bangsa manusia yang menghambat kemajuan zaman. Silakan bikin oposisi sebrutal mungkin. Tanpa oposisi hidup akan jadi karatan. Otak tumpul akibat kurang pengasahan. Saluran kreativitas bakal mampet!! Inovasi tak akan pernah terjadi!!!”
Geledek kembali menggelegar. Lebih membahana.
“Hidup Pemimpin Besar Tinja!!!!”
“Hidup Pemimpin Besar Tinja!!!!”
“Hidup Tinja Besar!!!!”
“Hidup Tinja Besar!!!!”
Angin topan berpusar. Mirip gerakan gurita raksasa. Tepat di atas stadion. Penuh misteri. Membuat semua bulu berdiri. Suasana bertambah mencekam. Mistis dan fantastis.
“Nah!! Sekarang dengarkan amanat terpenting saya! Kita semua yang berkumpul memenuhi Stadion Utama ini adalah korban kebiadaban bangsa manusia. Mereka benar-benar durjana! Kalau makan sedobol-dobolnya sampai orgasme. Tapi kalau berak sekena-kenanya tanpa pertimbangan estetika. Setelah memeras sari pati yang kita miliki sampai ludes lalu mengusir kita tanpa pesangon. Tanpa ucapan terima kasih sedikit pun. Ngomongnya saja gede-gede. Konsepnya doang seabreg dan muluk-muluk. Seolah-olah merekalah makhluk paling beradab dan berbudaya. Padahal sopan santun yang paling dasar saja, yang seharusnya dipersikapkan kepada kita mengingat segala jasa kita yang terlampau besar, tak setitik pun dikerjakan. Kita inilah contoh terbaik pahlawan yang dilupakan dan dikhianati. Habis manis sepah dibuang, kata peribahasa Indonesia. Bahkan eksistensi kita dihina karena biasanya ditempatkan di tempat yang tidak layak. Sehingga membuat kita tidak bisa merasa punya harga diri dan gengsi. Apalagi prestise! Ya, kehormatan kita dirampok!! Terkutuk!!! Mereka makin hari makin tambah kurang ajar. Membuangi bangsa kita seenaknya. Tanpa rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab. Seolah-olah bangsa kita ini bukan apa-apa. Dijatuhkan sembarangan di bawah jembatan. Dibuang di tong sampah biar disantap anjing geladak. Digeletakkan di got kering. Sengaja disakiti hati kita dengan diletakkan di jalan raya biar digilas truk. Yang mengerikan, secara massal dipaksa ditransmigrasikan ke tempat-tempat yang jauh lebih jorok daripada neraka jahanam. Dan sebagainya dan sebagainya dan sebagainya!! Bahkan adik kandung saya secara kejam dionggokkan di depan pintu masuk sebuah supermarket sehingga sampai kehilangan muka karena malu. Sungguh tak tahu tata krama!! Terkutuk!!! Huk… uhuk, waduh saya batuk Saudara-saudaraku. Vokal saya memang gampang keseleo karena kurang latihan. Oke saya teruskan!!”
Hadirin menguat amarahnya. Derap kakinya makin keras. Tak beraturan. Nyanyiannya makin panas. Tak beraturan. Menggebu-gebu menyayat-nyayat. Tak beraturan. Gesekan satu dengan yang lain mulai menimbulkan luka-luka menganga. Guruh pun menggeledek berkepanjangan. Tak beraturan. Bunga api berpercikan di langit. Waktu terbakar. Masa lampau terbakar. Masa depan terbakar.
“Saudara-Saudaraku sebangsa dan setanah air. Dengarlah!!! Kinilah saat terbaik bagi kita untuk memberi pelajaran kepada umat manusia. Kita hajar mereka biar kapok!! Agar mereka memperhitungkan kekuatan kita di masa datang. Agar eksistensi kita dipandang tidak dengan memicingkan mata belaka. Kita bikin mereka terbelalak seperti melihat hantu raksasa telanjang bulat di siang bolong! Sampai mata mereka tak bisa mengatup kembali! Ayo, kita serbu mereka!! Kita duduki wilayah-wilayah mereka dan kita sebarkan bencana berupa bermacam-macam penyakit kotor yang berbahaya. Typhus, kolera, muntaber, disentri dan segala macam koleksi penyakit yang kita miliki harus kita pergunakan semaksimal mungkin! Ayo!! Tunggu apa lagi?!!! Saya hitung sampai tiga kali. Satu! Dua!! Tiga!!! Yak, serbuuuuuu!!!!!!!!”
Geledek yang menggelegar lebih rendah membuat hadirin kacau balau. Apalagi angin topan pun turun pula ke bawah. Menyambar-nyambar dengan puncak kedahsyatannya. Hiruk-pikuk terjadi. Pikuk-hiruk juga terjadi. Ah, sama saja! Jerit tangis bercampur dengan gema lagu perjuangan yang terus digelorakan menimbulkan kengerian mencekam. Desakan-desakan menguat secara jauh lebih brutal. Goyang menggoyang. Adu pantat. Adu kepala. Adu dada. Adu perut. Adu lain-lainnya. Goyang menggoyang. Air memercik-mercik dan menggelombang-gelombang. Tanpa terduga pintu stadion dihantam geledek yang menyala bagai sebentuk naga perkasa. Hancurlah pintu stadion seketika!
Masyarakat tinja yang histeris dirasuki dendam kesumat berjalan keluar dari stadion. Beberapa ribu ada yang tergencet sampai penyet dan amburadul tubuhnya. Bagai pasukan berani mati mereka bergerak membentuk gelombang-gelombang besar menyerbu kota. Taktik dan strategi perang gerilya pun dijalankan dengan jitu. Berpencar-pencar dalam gerombolan-gerombolan kecil mereka menduduki tempat-tempat strategis yang merupakan urat nadi kehidupan bangsa manusia. Sementara lagu-lagu perjuangan terus diteriakkan sekuat tenaga. Gedung MPR, DPR, Kejaksaan dan Pengadilan, Istana Presiden, Gubernuran, Balai Wali Kota, Kecamatan, Kelurahan dan gedung-gedung yang dijadikan perkantoran bagi jajaran pemerintahan berhasil dikuasai dengan gilang-gemilang. Lalu kampus-kampus perguruan tinggi, sekolah-sekolah, lembaga-lembaga pendidikan formal maupun nonformal ditongkrongi. Meja rektor dijadikan tempat istirahat paling membahagiakan dan dengan berbagai cara yang hina dina diperebutkan. Bangku-bangku kuliah disulap menjadi ranjang buat molor dan bersanggama. Selanjutnya museum, galeri, bank, pasar, supermarket, rumah sakit, tempat ibadah, hotel, gedung bioskop dan olahraga, kompleks pelacuran, diskotik, terminal bus, stasiun kereta api, lapangan terbang, pusat bursa efek, kedutaan-kedutaan asing, gudang beras, toko makanan, restoran jet set, warung tegal, kantor redaksi surat kabar dan majalah, stasiun televisi dan pemancar radio, markas besar tentara maupun polisi, rumah pegadaian, gardu ronda, pusat kesenian dan pusat pariwisata, rumah cendekiawan dan budayawan, asrama-asrama dan tempat-tempat penting lainnya ditaklukkan melalui perjuangan sengit dengan menelan banyak korban. Bahkan dengan sangat jenaka, tinja-tinja kanak-kanak berjuang sendiri mendirikan kemah-kemah di dalam mulut dan pelupuk mata para koruptor dan politikus mata duitan. Hakim tersesat, jaksa bangsat, pengacara keparat habis-habisan disikat. Tentara dan polisi diadu domba. Tapi bayi-bayi dilindungi. Para dukun dan ulama dijaga, entah apa alasannya. Orang-orang gila yang berkeliaran di jalanan dibiarkan saja. Kasihan barangkali? Mungkin juga! Nah, tentu saja masyarakat manusia terteror sampai kalang kabut. Keningnya secara permanen jadi berkerut-kerut. Tak habis pikir. Gerakan para tinja itu benar-benar di luar jangkauan akal sehat. Akhirnya semua kehilangan kewarasan, sinting sesinting sintingnya, diremuk-remuk oleh tanda tanya besar yang terus-menerus menggodam tanpa ampun.
Lantas bagaimana nasib tinja satu gelepok bertubuh kuning kecoklatan yang merupakan tokoh pujaan kita? Tinjanya Azwar dulu itu, lho?! O, tentu saja beliau bisa dijadikan teladan bagi generasi muda bangsanya. Penuh ketakziman beliau berjuang tanpa pamrih dan paling gigih menggayang musuh. Sehingga layak bila diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Dan kinipun, dengan tubuh yang sudah porak-poranda serta luka arang keranjang yang disandangnya, tertatih-tatih beliau terus memburu musuh sembari menahan dendam membara yang setiap saat siap diledakkan. Seluruh anggota pasukan sudah berhenti karena kehabisan tenaga. Beliau menjadi gerilyawan terakhir yang belum mau menyerah meski telah dimakan usia senja. Sambil melantunkan lagu-lagu perjuangan, makin lama makin lirih, dengan sisa-sisa napasnya yang terus melemah dicarinya rumah Azwar!!!!


Yogyakarta, 24-29 Januari 1994

No comments:

Post a Comment