(Monodrama) Sri Harjanto Sahid - KEPALA PEGADAIAN

KEPALA PEGADAIAN

Monodrama: Sri Harjanto Sahid


DEKORASI PANGGUNG BISA TERDIRI DARI APA SAJA. YANG PENTING TERTATA SECARA ARTISTIK, BALANCE, HARMONI, ADA KEUTUHAN GAGASAN. MEMBUAT SANG AKTOR ENAK BERMAIN DAN PENONTON NYAMAN MELIHATNYA. TERUTAMA MERANGSANG DAYA-DAYA TERSEMBUNYI SANG AKTOR DAN PENONTON UNTUK MENGEMBANGKAN IMAJINASI KREATIFNYA. JADI TERSERAH SUTRADARA DAN PENATA ARTISTIK MENAFSIRKANNYA. DALAM SUASANA HANGAT, DENGAN DAYA PUKAU DAN SEGALA PESONA, SANG AKTOR MUNCUL DI ATAS PANGGUNG.

Para penonton yang mencintai saya. Sekarang saya akan memainkan sebuah kisah nyata yang tidak pernah terjadi. Atau kisah tidak nyata yang amat sangat nyata. Bingung? Ya, tidak apa-apa. Silakan saja. Tidak dilarang. Gratis. Pokoknya kisah tidak nyata yang benar-benar saya alami ini sungguh fantastis. Menurut istilah KH. Abdurrahman Wahid adalah hal yang mustahil. Atau menurut Asmuni Srimulat adalah hil yang mustahal. Tapi menurut saya sendiri adalah hal-hil yang hiltamus.
            Meski begitu Anda semua, para penonton yang saya duga dengan kerendahan hati sangat mencintai saya, saya minta Anda semua benar-benar memercayainya. Maksudnya supaya…, terutama gadis-gadis yang sekali pandang langsung jatuh simpati kepada… kepada… ah malu saya, …ehm kepada bukan pacarnya masing-masing, bisa menikmati pertunjukan monodrama ini dengan sepenuh hati. Dengan gairah terbaik dan birahi maksimal. Pokoknya percayailah begitu saja. Tanpa alasan apa pun. Apalagi pertunjukan ini gratis (murah tiketnya). Tak boleh ngeyel. Haram! Percayailah sebagai suatu tugas dan kewajiban. Tak perlu menggunakan otak sama sekali. Kalau terpaksa berpikir, silakan berpikir secara tidak sengaja saja. Biarkan pikiran berjalan tanpa logika. Yang penting hati nurani disiagakan.
            Kisah ini dimulai persis seperti pembukaan cerita sinetron misteri murahan yang banyak ditayangkan di stasiun televisi swasta. Benar-benar dangkal dan tidak mencerdaskan. Tidak mengandung nilai kultural edukatif. Lho… lho…, mana musiknya? Musik! Ayo musik! Jangan telat dong. Yang profesionallah! Jangan mempermalukan saya dong. Ini kan sudah pentas. Masak latihan begitu, sekarang sudah pentas masih begini?! Apa? Tiga puluh lima orang pemusiknya baru pipis di toilet barengan? Aduh! Mau memboikot saya apa? Sialan! Bubar pentas tak antemi tenan mengko. Bajindul. Hei Mas! Cepat masuk, ayo cepat! Sana!! Ambil posisi di depan alat musik!! Pipis kok kompak. Yang lain ditinggal saja. Biar nanti menyusul. Keburu main nih. Lihat otot-otot saya sudah menegang semua. Menegang! Hormon adrenalin mengalir deras di setiap pembuluh darah saya. Wajah saya sudah memancarkan cahaya gemilang dan penuh daya pesona. Nih! Jiwa saya ereksi!! Karena sudah dirasuki karakter peran yang akan saya mainkan!!!
            Para penonton yang sangat mencintai saya. Maaf terganggu sedikit. Maklum, para pemusiknya masih mahasiswa di jurusan teater baru semester tiga. Jadi belum begitu paham bagaimana harus bersikap profesional. Mereka sebenarnya tersesat kuliah di jurusan teater. Terbukti mereka lebih aktif menekuni dunia bulutangkis dan demonstrasi politik daripada melata di panggung teater. Dengan susah payah mereka berhasil saya paksa memainkan musik untuk pertunjukan ini. Tentu setelah saya rayu dengan imbalan honor yang tidak seberapa jumlahnya. Kira-kira hanya sepertigapuluh dari uang kuliah mereka selama satu semester. Saya yakin, sebenarnya mereka lebih tertarik kepada honor yang tidak layak itu daripada bersungguh-sungguh memainkan musik untuk pertunjukan ini. Tapi tak apa, saya tetap memercayai mereka. Habis bagaimana lagi?!
           Oke, para penonton yang benar-benar mencintai saya di mana saya merasa tidak keberatan sama sekali. Pertunjukan saya lanjutkan. Musiiiiiik!! Alah opo meneh iki?! Yang bener dong! Nah, gitu baru sip!!
            Sesosok tubuh tanpa kepala, kepalanya telah terpotong sehingga darah berlelehan dari pangkal lehernya, mendatangi sebuah rumah pegadaian. Bukan pada malam hari yang dingin dan beku. Tapi pada siang hari yang terang benderang ketika matahari bertengger di puncak kepala. Sehingga suasananya tidak mistis sama sekali. Apalagi seram. No no no!! Hanya ada ketegangan yang wajar-wajar saja. Tidak dramatik. Bahkan kelihatannya antidramatika. Sosok tubuh tanpa kepala yang konon merupakan makhluk paling seksi di seluruh dunia dan akhirat itu adalah saya sendiri. Ya, saya sendiri.
            Saya datang ke rumah pegadaian dengan maksud menebus kepala saya yang telah saya gadaikan dua bulan sebelumnya. Pejabat kepala rumah pegadaian yang bernama Azwar, yang sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut ngganteng, beberapa saat kemudian menemui saya. Tubuhnya yang mirip Napoleon Bonaparte itu gemetar. Wajahnya pucat. Matanya yang mirip kacang bawang itu melolo bingung seperti mau melompat dari kerangkengnya. Dia ketakutan. Bukan karena melihat tubuh saya yang menyemburkan ulat-ulat busuk dari pangkal leher yang terpotong. Bukan sama sekali. Hal ini tak berarti apa-apa bagi dirinya. Dia takut karena setelah semua pegawai mencari di gudang penyimpanan barang, toh kepala saya tak berhasil ditemukan. Dia malu sekali. Merasa tanggung jawabnya terlukai. Saking gugup dan bingungnya, dengan serta merta diambilnya sebuah gergaji karatan. Melalui tindakan serbacepat digergajinya sendiri lehernya. Kepalanya dicopot paksa.

            Kepala yang terambil itu tiba-tiba dipasangkan ke tubuh saya. Dengan paksa pula. Maksudnya sebagai ganti kepala saya yang hilang. Semuanya terjadi serbacepat. Mendadak dan tak terduga. Saya tak sempat menawar. Apalagi menolak. Berikutnya saya hanya bisa terpana memandangi tubuhnya yang berdiri tegar tanpa kepala. Pada lehernya yang putus tampak darah blekutuk-blekutuk. Barangkali membahasakan rasa penyesalan dan permintaan maaf.
            Saya stress  mendadak menghadapi kejadian itu. Saya sungguh tidak siap. Sukma saya kelimpungan bagai ular kobra kebanyakan menenggak temulawak kedaluwarsa. Langsung saja saya melejit berlari cepat pulang ke rumah. Berlari sekuat tenaga. Seperti dikejar polisi homoseks berdarah dingin. Namun sesampai di rumah, kekagetan menyergap saya. Saya baru menyadari ada keanehan yang terjadi. Astaga!! Kepala itu terpasang terbalik!!!
            Sialnya, kepala yang terbalik itu tak bisa saya bereskan. Saya mencoba memutarnya. Ah, sakit tak tertahankan. Tak mau bergeming. Tak berubah sedikit pun posisinya. Saya putus asa. Akhirnya apa boleh buat, saya menyerah pada keadaan. Biarkan saja. Ini nasib. Ini rejeki saya. Satu-satunya cara terbaik adalah membiasakan diri hidup dengan kaki berjalan ke depan tapi kepala menatap ke belakang. Bukan main!
            Tentu tidak mudah hidup dengan cara baru itu. Banyak hal harus disesuaikan. Cara makan, berak, onani. Bahkan cara mengintip janda tetangga mandi. Mula-mula agak repot memang. Apalagi anak-anak kampung selalu mengolok-olok. Menyoraki. Merubung dan mengikuti kalau saya pergi berjalan-jalan. Di manapun, orang-orang menganggap saya sebagai tontonan gratis yang mengasyikkan.
            “Mas, minta tanda tangannya Mas!”
            “Potret bareng ya Mas?”
 “Aduh, gayanya. Nyentrik amat Lu!”
“Kucubit pipimu dikit mau Mas?”
Amit-amit jabang bayi! Kuwi uwong opo anak demit yo? Wis rupane koyo munyuk. Bentuke koyo memedi sawah. Nanging lagake kok koyo pejabat eselon satu. Mas tak bandem watu gundulmu gelem opo ora Mas? Mbayar wis! Gelem yo?
“Jangan jual mahal dong Pakdhe!”
Aduh, ambune! Wah, ngentutan! Wooo, tak entuti genti wae. Nyoh!! Peken kabeh!!
“Ha ha ha…, dikentuti dia malah senang. Lihat hidungnya cengar-cengir. Menghisap-hisap. Dikira bau parfum barangkali, ya?!”
“Saya kirimi surat nanti dibalas ya?”
“Yuk nyanyi bareng yuk, Om! Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya, … Meletus balon hijau, door!!!
Sayangnya tak ada yang menawari makan di restoran bersama. Apalagi mengajak tidur bersama di hotel berbintang lima. Sungguh, saya merasa menjelma menjadi selebritis baru. Dianggap penting di mana-mana. Sebagai selebritis saya menyadari risikonya. Kehilangan banyak kebebasan. Sering digosipkan. Dan kalau mujur dipuji-puji tanpa alasan. Betul dianggap salah. Salah tidak boleh dianggap tidak salah. Ya, inilah risiko menjadi orang tenar. Tak boleh hidup tenang. Tak boleh meletakkan pantat di sembarang tempat. Apalagi pipis. Jadi, saya tak boleh terganggu oleh hal-hal seperti itu. Pokoknya, makin banyak difitnah justru makin baik. Sebab akan semakin terkenal. Itulah filosofi kaum selebritis. Harus penuh skandal. Miskin skandal berarti popularitas akan terus merosot. Semakin terkenal berarti job dan rejeki akan berdatangan berduyun-duyun. Nah karena itu, kalau perlu memfitnah diri sendiri. Dengan menyuruh tukang fitnah bayaran untuk melakukannya secara besar-besaran. Dan dipublikasikan secara besar-besaran pula.
Para penonton yang saya cintai sehingga merasa bersyukur bagaikan kejatuhan wahyu dari langit ketujuh. Masalah paling besar justru datang dari diri saya sendiri. Tak lain karena soal kepala saya yang baru ini. Di samping  wajahnya terlampau jelek, botak, juga hidungnya kebesaran seperti tomat polandia. Masih ditambah lagi bau napasnya amat busuk. Hal ini membuat para mahasiswi yang menjadi fans saya malas mendekat. Apalagi memberikan sekadar ciuman sebagai ungkapan rasa kagum. Mereka lebih suka mencintai saya secara platonis. Hanya membayang-bayangkan dari jauh. Tanpa menyentuh. Padahal saya sangat ingin disentuh-sentuh. Bener! Disentuh anu saya, anu saya, dan anu saya. Maksud saya pipi, perut, juga yang bukan pipi dan bukan perut.
Kepala baru ini juga amat menjengkelkan. Sering berpikir aneh-aneh. Bertolak belakang dengan kemauan dan hati nurani saya. Mending kalau idenya bagus dan mengandung selera tinggi. Lha kalau pas idenya norak, kampungan dan sok nyeni, wah ya repot tenan. Padahal otak dalam kepala ini cenderung bergaya diktator. Tak bisa ditolak. Atau paling tidak, otoriternya persis pensiunan jendral yang belum pernah perang. Jendral yang belum satu kali pun berperang biasanya sangat galak. Arogan dan sok berkuasa melebihi Tuhan. Kemauan dan iman saya selalu kalah dan tertindas. Alangkah memarahkannya. Coba bayangkan. Kalau pikiran mesumnya baru berkobar-kobar. Menyala seperti naga api perkasa menari lenso. Subuh-subuh, ketika hujan badai mengamuk dan guntur menyanyi parau mirip suara hantu-hantu raksasa dilanda asmara, kepala brengsek itu memaksa saya pergi ke peternakan hewan hanya untuk menonton sapi kawin.
                                    Pusing aduh pusing!
                                    Pusing aduh pusing!
                                    Puyeng aduh puyeng!
                                    Puyeng aduh puyeng!
Suatu sore, ketika sambil berak saya menulis sajak. Bel rumah saya berbunyi bertalu-talu. Ting tong ting tong… tak henti-henti, ting tong… Bah!! Benar-benar tamu tak pernah makan bangku sekolah. Tak tahu diri. Tak beretika! Gemblung!! Tanpa cebok saya berlari menuju pintu, setelah sebelumnya saya ngeden keras-keras. Hih!! Hiiih!! Begitu pintu saya buka, di hadapan saya berdiri seorang lelaki setengah tampan. Bertubuh persis Napoleon Bonaparte. Saya merasa tidak mengenal dia. Wajahnya benar-benar asing, meski potongan tubuhnya samar-samar ingat.
“Saya ingin tukar kepala,” kata tamu tak pernah makan bangku sekolah itu. Nadanya sok akrab. Saya maklum dengan lagak yang demikian. Biasanya kalau orang menghadapi publik figur semacam saya selalu begitu. Saya sudah hafal.
“Anda siapa, sih?” tanya saya heran.
“Ah, masak lupa? Saya Azwar! Pejabat kepala rumah pegadaian yang terkenal sangat lembut hati itu!!!”
“Oooo, Pak Azwar! Saya selalu mengingat Anda sebagai orang yang sama sekali tidak memenuhi syarat untuk disebut ngganteng. Mari masuk dulu Pak. Mau minum apa? Kopi atau susu? Teh?”
 “Tidak usah. Makan saja. Ada nasi goreng? Atau pecel lele?”
“Rumah saya bukan warung. Jangan bergurau Pak. Dari dulu Anda suka bergurau untuk menutupi ketidakbahagiaan Anda. Saya dengar desas-desus Anda hidup penuh derita hati. Anda sedih melulu karena kejujuran Anda membuat Anda tetap miskin. Anda terpaksa baik hati karena ingin berbuat jahat tidak mampu. Betul begitu Pak?”
“Ah, siapa bilang saya tidak bahagia? Ketidakbahagiaan itu hanya menjadi hak milik orang-orang kaya. Saya ini orang miskin. Orang miskin itu hanya punya hak hidup bahagia saja. Sebab kalau tidak bahagia, kemiskinan akan menghimpit dengan berat berkali-kali lipat. Jadi, orang sukses boleh tidak bahagia. Orang gagal harus bahagia. Saya hanya mau bersedih kalau besok sudah menjadi kaya raya. Bagi orang kaya kesedihan itu merupakan kekayaan batin. Rahmat! Bagi orang miskin kiamat!! Makanya jadi orang miskin itu jangan banyak mengeluh. Percuma! Boleh mengeluh kalau sudah kaya raya. Orang miskin itu lebih baik banyak tertawa saja dan marah-marah. Prinsip orang terhormat seperti saya ini adalah: ketika miskin jangan pernah meminta dan ketika kaya memberilah sebanyak-banyaknya!”
Dengan penuh gaya dia melepas kacamata hitamnya yang kegedean. Menanggalkan kumis palsunya yang ketebalan. Menaruh gigi palsunya yang jumlahnya kebanyakan. Saya jadi bisa melihat jelas raut wajahnya. Ternyata mata kiri dan bibir bawah terdapat bekas luka menganga. Yang membuat komposisi wajahnya tidak proporsional. Kehilangan daya artistik alamiahnya. Tapi sekilas rasanya saya seperti pernah mengenali wajah itu. Di mana ya?
“Saya maklum kalau Anda lupa kepada kepala Anda sendiri yang asli. Yang saya pakai ini kan kepala Anda yang Anda gadaikan dulu. Heran melihatnya? Pasti! Tambah eksotis kan? Yah, sekarang jadi amburadul begini akibat digerogoti tikus. Saya tak sengaja menemukannya di kolong meja kerja saya. Satu minggu setelah Anda datang ke kantor saya dahulu itu. Lalu kepala merana ini saya pakai. Yah, daripada saya tanpa kepala. Kan lucu banget?! Direktur kok tak berkepala. Lagipula setiap kali saya pergi dan pulang kerja naik vespa bobrok dengan tubuh tanpa kepala membuat jalanan macet. Orang-orang terpesona melihatnya. Banyak pengendara lain tiba-tiba kehilangan konsentrasi. Terjadilah tabrakan di mana-mana. Saya yang disalahkan. Pada awalnya saya bisa menggunakan mata hati untuk menyusuri jalan yang benar. Lama-lama mata hati tak bisa dipercaya. Sering menyesatkan saya. Mata daging lebih dibutuhkan. Lima belas anak saya juga sering menangis bersamaan setiap melihat saya membaca koran tanpa kepala. Bukannya kasihan. Tapi tak tahan menahan perasaan lucu. Sampai air mata mereka mengucur deras. Mereka menangis terbahak-bahak. Istri saya lebih-lebih. Dia tak tega setiap malam harus bertempur di ranjang melawan tubuh tanpa kepala. Gairahnya sering lenyap mendadak begitu puncak kenikmatan bertempur hampir terdaki. Lama-lama dia geram dan murka. Lalu berolah tubuh seperti monster gila. Sabet sana sabet sini, goyang sana goyang sini. Kepret sana kepret sini. Gedebak gedebuk gedebak… krompyang… kakinya tidak sengaja menendang gelas dan piring di atas meja dekat ranjang tapi dia acuh tak acuh saja. Asyik dengan jurus tekukurnya. Gedebak gedebuk gedebak gedebuk!! Beringas dan buas. Namun sungguh sangat mekanik. Hafalan. Kayak mesin. Tanpa perasaan apa pun. Ah, saya jadi rikuh sendiri. Saya juga tak bisa menyelesaikan pekerjaan kantor hanya berdasarkan naluri. Saya butuh kepala untuk berpikir. Sayangnya, kepala Anda ini tidak cerdas. Setelah saya selidiki dan saya bongkar-bongkar di bengkel, ternyata otaknya memang kecil. Batok kepalanya saja yang besar. Matematikanya lemah. Cenderung berpikir yang bukan-bukan seperti kebanyakan seniman. Dulu saya sangat jujur. Setelah memakai kepala Anda, saya baru berani korupsi sedikit-sedikit. Waduh, waduh, waduh, ternyata korupsi itu sangat indah meskipun cuma sedikit. Heran sekali saya. Bagaimana kalau banyak ya? Saya juga sadar, kalau berbohong itu ternyata juga menyehatkan. Yang saya tidak suka hanya satu. Gagasannya lebih banyak mesumnya! Seks! Seks! Seks! Porno melulu!!!”
“Wah, itu fitnah! Anda jangan menuduh yang bukan-bukan. Justru kepala Anda yang saya pakai inilah yang sering berpikir mesum. Kepengin kawin terus menerus. Padahal saya kan belum dapat pekerjaan. Saya ini kan hanya seorang sarjana ekonomi yang baru sembilan tahun menganggur. Saya masih cuma mengandalkan wesel kiriman dari orang tua. Bagaimana saya nanti harus menghidupi anak-istri? Coba bagaimana andaikata keinginannya saya turuti?! Kepala ini juga bajindul tenan. Ketika hati saya sedang bahagia, dia malah menangis sedih. Di saat hati saya ingin memuji-muji orang malah mulutnya mengkritik pedas dan memaki-maki. Di waktu saya ingin istirahat tidur, matanya malah melotot terus. Asyik membolak-balik majalah Play Boy semalam suntuk. Kepala ini sering saya jitaki sendiri kalau saya marah. Saya bentur-benturkan ke tembok sampai benjut-benjut. Tapi dia membalas dendam dengan menggigiti seluruh tubuh saya. Terutama di bagian terlarang dia paling suka. Saya ingin benar meracuninya. Tapi saya takut. Jangan-jangan yang mati nanti malah tubuh saya dan bukan dia. Bah!! Hidup jadi kocak saking tidak lucunya. Belum lagi kegemarannya makan sambal terasi. Atau cabe mentah. Berlebihan dan tak dapat dicegah. Masak makan tahu satu cabenya delapan puluh dua. Padahal saya kan sakit maag. Kalau saya mencret-mencret malahan dia ketawa ngakak-ngakak. Dasar egois! Anarkis! Dan penyiksa!!!”
Kemudian kami berdebat kusir lebih keras. Sampai hampir berantem. Saya sudah mengeluarkan jurus kera melahirkan. Dia mengeluarkan jurus tokek kejepit dua tokek. Untung Pak RT cepat datang melerai. Di depan Pak RT kami lantas bisa bermusyawarah dengan hati dingin. Bahkan kami bisa bertukar pengalaman. Tentang berbagai kejanggalan selama kami memakai kepala yang bukan kepala asli.
Dia bilang sering bermimpi hal-hal menakutkan. Misalnya diburu-buru kuntilanak pemakan kelamin manusia. Saya bilang, saya sering bermimpi hal-hal menyenangkan. Misalnya ada hujan duit seratus ribuan di rumah saya. Padahal di rumah para tetangga hanya hujan air biasa. Dia bilang, tiba-tiba tak suka makan petai dan jengkol mentah yang dulu jadi santapan utama. Saya justru sebaliknya. Dia tiba-tiba suka nonton teater dan pembacaan puisi, yang dulu dianggapnya sebagai kerjaan orang tolol. Saya tiba-tiba dijangkiti penyakit aneh. Yaitu suka nonton sapi kawin, kambing kawin, ayam kawin, bahkan semut kawin dan bakteri kawin, …apalagi manusia kawin di televisi.
Pak Azwar mendadak meradang ketika pembicaraan sampai pada soal kawin-kawinan. Dia tersinggung oleh informasi yang saya berikan. Dia mencak-mencak. Bagai gajah kebakaran buntut.
“Wah, kalau ngomong soal otak mesum, kepala Anda yang saya pakai ini jauh lebih dahsyat. Tak punya tata krama. Bebal. Setiap bangun pagi saya selalu langsung jatuh cinta kepada istri orang lain. Bahkan kepada gajah betina kebakaran buntut saja saya oke-oke saja. Asalkan saya tahu gajah itu punya suami. Terhadap perawan saya alergi. Janda membuat saya ingin muntah-muntah. Pokoknya harus istri orang. Harus! Tidak bisa tidak!! Istri saya selalu tampak tidak bermutu dibanding istri orang lain. Meskipun istri orang lain itu penampilannya ganjil.”
“Ganjil? Maksud Anda?”
“Matanya kayak telur mata sapi. Hidungnya mancung ke dalam. Dada terbalik. Pantat terbalik. Kaki kanan semua! Berpakaian hanya sebelah doang!!”
“Saya akui. Selera seksual saya memang keblinger. Semua seniman tidak sukses biasanya memang begitu. Ayo, apalagi Pak Azwar?”
“Kepala asli saya yang Anda pakai itu pikirannya memang selalu ngeres. Imajinasinya liar seperti kerbau ngamuk. Tapi itu hanya sebatas pikiran belaka. Sebatas imajinasi doang. Jadi tidak melanggar hukum tata negara. Sekarang ini saja saya jadi penyeleweng ulung. Sesudah saya kenakan kepala Anda ini. Padahal dulu saya terkenal luas sangat setia kepada istri kecuali kalau terpaksa.”
“Maksud Anda terpaksa itu apa?”
“Ya, kalau keadaan darurat dan mendesak.”
“Maksudnya darurat itu apa?”
“Darurat itu kalau dompet pas tebal-tebalnya. Dan saya bingung mau membuang isinya ke mana.”
“Kalau mendesak? Apa maksudnya?”
“Alah, kayak gitu saja kok tanya. Pokoknya suatu situasi yang tak tertahankan. Jadi kalau darurat dan mendesak, bolehlah sekali saja tidak setia. Yang penting jangan ketahuan istri. Ini prinsip!”
“Kalau ketahuan?”
“Ya jangan ngaku! Guoblok!!! Pokoknya jangan ngaku meski didesak-desak. Jangan mau kalau disuruh main sumpah-sumpahan segala. Apalagi sumpah pocong. Biarkan saja istri penasaran. Biarkan dia diselimuti teka-teki abadi. Makin penasaran cintanya akan makin besar. Makin kuat dan berkembang. Pelayanannya pasti juga makin baik. Dengan begitu malah gampang ditipu lagi. Wanita memang disediakan alam untuk ditipu laki-laki. Ini kodrat! Kodrat matamu, kata kaum feminis. Biarin, kata saya. Wahai wanita! Bersatulah! Menangislah sepuas kalian sampai kiamat!!!”
Cut! Cut! Cut!! Sebentar Pak Azwar. Kalau tidak ngaku tapi ketahuan? Bagaimana hayo?!”
“Wah, itu kejatuhan tai burung gagak namanya. Bisa pedih berkepanjangan. Dalam soal begini ini, istri itu bisa memaafkan. Tapi tak bisa melupakan. Ya sama saja. Aneh bin ajaib! Mustahil bin hiltamus! Jadi lebih baik melakukannya seribu kali tapi tidak ketahuan daripada satu kali tapi langsung ketahuan.”
“Kalau menurut saya tidak begitu. Daripada cuma seribu kali dan tidak pernah ketahuan, lebih baik seratus ribu kali dan tidak pernah ketahuan.”
“Wah! Wah! Benar juga ya?! Makin sering makin sehat. Makin sehat berarti makin kuat. Makin kuat berarti makin perkasa. Makin perkasa berarti makin berkuasa. Makin berkuasa berarti makin kaya raya. Makin kaya raya berarti makin sering. Oleee… ole ole oleeeeee…!!”
“Ole ole gundulmu!!”
Pak RT sudah tak sabar mengikuti dialog dan polah tingkah kami. Tiba-tiba dia bangkit melerai. Dengan suara sember dia berkata, berkacak pinggang, sambil menatap langit-langit rumah. Persis gaya seorang deklamator sedang kedodoran.
“Sudahlah, sudah! Ini sudah malam. Istri saya sudah kelamaan menunggu di rumah. Saya harus melaksanakan kewajiban saya sebagai suami. Ayolah! Supaya semuanya kembali normal segera tukar kepala saja. Biar saya bantu. Butuh gergaji? Cutter? Clurit? Atau dibetot saja?”
Disaksikan dan dibantu Pak RT proses pertukaran kepala terjadi. Sesudah dua kepala kami berhasil ditebas dengan pedang samurai warisan tentara Jepang dari Perang Dunia II, saya meminta Pak Azwar memasangkan kepala saya dengan hati-hati. Agar tidak salah pasang dengan posisi tidak tertib. Dan ketika giliran saya gantian memasangkan kepalanya, timbul ide kurang ajar. Sebenarnya sekadar iseng belaka. Bukan bermaksud membalas dendam. Kepalanya saya pasang terbalik secara permanen. Tidak mungkin bisa diputar balik. Tidak mungkin bisa dicopot lagi lalu dibetulkan letaknya. Kalau dicopot sedetik saja pasti dia benar-benar modar. Atau paling tidak pingsan seribu tahun.
Pak RT hanya tersenyum-senyum melihatnya. Tapi Pak Azwar sang pejabat kepala rumah pegadaian itu merasa tak ada keanehan terjadi pada dirinya. Dia merasa wajar-wajar saja. Tak ada sesuatu pun yang dirasakannya tidak normal. Dengan tenang dan gagah dia berjalan pulang. Kakinya melangkah ke depan tapi kepalanya menatap ke belakang.
Nah, para penonton yang semuanya telah jatuh cinta habis-habisan kepada saya baik perempuan maupun laki-laki. Kalau suatu saat Anda bertemu dengan Pak Azwar di jalan. Tolong, jangan bilang kalau kepalanya itu sengaja saya pasang terbalik. Biar dia merasa tidak dikhianati. Tolong jangan bilang juga, kalau otaknya dulu pernah saya cuci dengan sampo tanpa kondisioner dicampur air mani kuda sumba. Supaya pikirannya tidak ruwet seperti guru besar filsafat. Maksud saya biar jadi licik seperti negarawan. Dan lebih suka menjilat seperti para dosen kalau bertemu rektor. Sayangnya, saya tidak sampai bersih mencucinya. Sehingga tetap saja kusut dan kumal. Serta lupa saya taburi merica agar bisa berpikir kritis. Otaknya yang lembek itu juga sudah saya kurangi separuh. Saya goreng untuk sarapan pagi saya. Jadi ya harap maklum kalau gagasan inovatifnya terkebiri. Awas, jangan bilang-bilang lho ya?! Dan yang penting, jangan bilang kalau kepalanya itu pernah saya gadaikan di tempat lain selama seperempat jam.

LAMPU PADAM LAYAR TUTUP


Yogyakarta, 10 Mei 1993

No comments:

Post a Comment