(Monodrama) Sri Harjanto Sahid - PENYAKIT

PENYAKIT


Monodrama: Sri Harjanto Sahid



PANGGUNG LENGANG. SUASANA TAK MENENTU MEREBAKKAN KEBEKUAN YANG MEMBASAH. BARANG-BARANG DAN BERBAGAI PERALATAN YANG TERTATA DALAM KOMPOSISI APIK DAN DINAMIK MENGENDAPKAN KEKOSONGAN YANG FILOSOFIS, NYENYAK, PENUH NUANSA DAN MENJANJIKAN SUATU PENGEMBARAAN BATIN KE DAERAH-DAERAH TAK TERDUGA. TIBA-TIBA SESOSOK TUBUH MEMASUKI RUANG PANGGUNG DAN MEMECAH SITUASI DENGAN TINDAKAN KERAS. EKSPRESIF DAN LIAR. WAJAHNYA MEMANCARKAN KEKUMUHAN DAN KEPENGAPAN BERCAHAYA SERTA KAYA DENGAN BERBAGAI KEMUNGKINAN ANEH YANG SUKAR DIJABARKAN. SENDIRI.

 Celaka! Celaka!! Celaka!!! Sampai kapan dia akan bertahan di dalam diri saya?! Celaka, celaka, celaka!!! Menyebalkan sekali. Bah! Semua ini bagaikan kutukan yang tiada habisnya. Tak tertahankan! Saya sudah bukan saya!! Alangkah sakitnya! Bajing… Uff!!! Untunglah saya tidak jadi ngomong jorok. Berarti dosa saya tidak bertambah. Nyuwun sewu Gusti Allah. Tapi… bukan main jengkel saya terhadap diri saya sendiri. Lalu bagaimana caranya mengekspresikan kejengkelan yang paling melegakan kalau bukan dengan ngomong jorok? Bah!! Bah! Bah!!! Berwrrrrrr!!!! Bajingan. Uff! Aduh!! Keluar juga omongan jorok tanpa saya sadari. Celaka! Celaka!! Bah!!!
Oh, kesadaran saya benar-benar telah dijajah oleh kemauan bawah sadar saya. Bah!! Berani-beraninya kemauan bawah sadar saya bersikap tidak senonoh terhadap kesadaran saya. Kurang ajar! Huh! Ternyata secara rahasia kemauan bawah sadar saya sangat intens melakukan pemberontakan dahsyat terhadap kesadaran saya dan mencoba naik pangkat menjadi kemauan atas sadar. Bah! Berbahaya sekali. Apalagi kecenderungan geraknya selalu ke arah titik negatif. Ini harus dihentikan!!!! Tapi bagaimana caranya??!!!!!!

SUNYI MENYENGAT KUAT-KUAT. KEHENINGAN MEREBAK RATA KE SELURUH PENJURU RUANGAN. SESEORANG TERSEBUT NGELANGUT DENGAN KESENDIRIANNYA. LALU MENGERJAKAN AKTIVITAS TANPA SUARA. HANYA SESEKALI TERDENGAR DESAHAN, DECAKAN, DAN DEHEMAN RINGAN. SESEKALI PULA MUNCUL BUNYI-BUNYI SEPI DARI BENDA-BENDA YANG SALING BERGESEK ATAU BERADU.
Sudah lama saya digelisahkan oleh suatu penyakit yang membahayakan keselamatan diri saya. Herannya saya tak pernah berminat melenyapkannya. Kenapa? Karena sebenarnyalah saya mendapatkan keasyikan luar biasa bergumul dengan penyakit keparat itu. Bahkan semangat hidup dan daya kreativitas saya sangat tergantung padanya. Secara tak masuk akal penyakit itu menjadi sumber inspirasi dan penggugah kebahagiaan.
Sebenarnya semua orang punya bakat besar buat mengidapnya, terutama para politikus, para pedagang dan para pemain teater. Sederhana sekali nama penyakit itu, yaitu penyakit SUKA BERBOHONG. Ya, nafsu untuk terus-menerus berbohong itulah yang akhir-akhir ini menjajah sekaligus memanjakan diri saya.
Saya tak tahu dari mana penyakit itu berasal dan bagaimana bermulanya. Yang jelas suatu saat dahulu, tiba-tiba saja saya seperti harus menerima dan mensyukuri kedatangan penyakit aneh itu untuk mengendon di dalam jiwa. Sejak itu sungguh aneh, setiap kali saya melakukan suatu kebohongan, darah saya terasa mengalir lebih hangat dan kelenjar-kelenjar di dalam tubuh saya mengembang sehingga jiwa saya terbebas dari stres. Saya merasa hidup, benar-benar hidup, ketika sedang berbohong. Ya, akhirnya saya yakini bahwa berbohong adalah suatu kenikmatan manusiawi terbesar. Lebih nikmat daripada seks. Sungguh! Kalau tidak percaya silakan coba dipraktikkan dengan penuh perasaan dan penghayatan lantas bandingkan; Seks mengancam jantung, berbohong mengamankan jantung. Seks membuat manusia seperti binatang, berbohong membuat manusia seperti manusia. Seks menguras dompet, berbohong sebaliknya, dan seterusnya. Secara ajaib dan fantastis saya seringkali juga berhasil mengalami orgasme di dalam berbohong. Semakin besar kebohongan saya maka semakin besar dan panjang kenikmatan orgasme yang saya peroleh. Oleh sebab itu saya selalu berusaha berbohong kapanpun, di manapun dan kepada siapapun. Agar saya bisa orgasme sesering mungkin dan terbebas dari stres. Saya tidak merasa perlu mendapatkan alasan apa pun untuk melakukan kebohongan. Yang penting adalah berbohong. Titik! Sebab berbohong itu sehat dan indah!!
Bagi saya, berbohong merupakan upacara persetubuhan antara keberanian dan kepengecutan. Tidak bisa disangkal, keberanian yang tidak mengandung kepengecutan biasanya kurang taktis. Sedangkan kepengecutan yang didasari keberanian biasanya amat strategis. Hingga wajarlah, bila seorang pemberani yang tanpa otak akan mati berkali-kali, sebaliknya seorang pengecut yang menggunakan otak hanya akan mati satu kali. Itulah sebabnya, menurut saya, seni berbohong sangat dibutuhkan di segala bidang. Apalagi di zaman super kalang kabut ini, sangat tepat kiranya apabila didirikan Akademi Seni Berbohong di ibu kota yang menjadi pusat jaringan informasi dan komunikasi. Sarjana-sarjana seni berbohong yang dihasilkannya pasti mampu menjadi tiang penyangga bagi kelancaran setiap program pembangunan yang diturunkan dari atas ke bawah.
Di dalam sistem pergaulan hidup bermasyarakat, kebudayaan berbohong punya makna penting, yaitu sebagai penjaga keseimbangan kehidupan. Sebagaimana rembulan di langit yang setiap malam memamerkan ketelanjangbulatannya yang menggiurkan telah menjadi penjaga keseimbangan peredaran jagat raya. Kalau semua manusia di dunia ini hanya bisa bersikap jujur dan anti-berbohong, bayangkan, betapa hambarnya kehidupan ini. Hidup akan jadi monoton karena hanya terdapat satu kemungkinan, yaitu segalanya serbabaik. Dan karena segalanya sudah serbabaik, maka otomatis manusia kehilangan impiannya yang paling indah tentang masa depan yang berupa kehidupan Surga Abadi sesudah manusia mati. Sebab surga sejenis itu sudah dapat dijumpai di dunia fana ini. Kehidupan yang segalanya serbabaik, tata titi tentrem raharja, adalah tragedi sejati yang mahatragis. Mengerikan! Bagai suatu horor yang bersembunyi di balik kecantikan!! Kisah-kisah besar takkan pernah lahir sebab konflik tak pernah ada. Kejantanan terkubur di bawah selimut keputusasaan yang menyamar sebagai bidadari. Sudah tentu hal ini memiskinkan perasaan, penghayatan dan pengalaman manusia. Dan yang paling buruk dan paling menyedihkan sekaligus paling menakutkan dari semuanya itu adalah manusia mengalami kerugian mahabesar karena tak pernah mendapatkan referensi tentang ketidakjujuran dan keberbohongan. Harap dipahami seikhlas-ikhlasnya, bahwa referensi tentang ketidakjujuran dan keberbohongan merupakan sumber pengetahuan yang terlampau mahal nilainya dengan dimensi yang tiada terbatas. Jadi, mengingat utamanya kedudukan kebudayaan berbohong dan mengingat perlunya menggalakkan supaya berkembang pesat, maka sebaiknya segera dicanangkan Hari Berbohong Nasional dan Hari Berbohong Internasional agar kebiasaan berbohong betul-betul mendarah daging di hati masyarakat luas.
Dari pengalaman berbohong puluhan tahun lamanya, saya dapat menarik banyak kesimpulan tentang seni berbohong dan kiat terbaik agar berhasil dalam berbohong. Menurut saya seorang pembohong harus berpandangan bahwa kebenaran itu hanyalah hasil sugesti dari kecakapan berbahasa dan berargumentasi. Tegasnya, kebenaran yang akan diyakini orang lain itu dapat diciptakan melalui kecakapan berbahasa semata. Persoalannya sederhana saja, yaitu bagaimana secara licik memanipulasikan perasaan orang lain itu. Memijit urat syaraf egonya. Harus dipercayai, musuh utama manusia adalah dirinya sendiri. Bila egonya sudah terpegang maka sangat mudah untuk digiring agar menghancurkan dirinya sendiri.
Pembohong haruslah cerdik seperti ular kobra, menarik bagai burung merak, sabar laksana induk rajawali sebab kesabaran induk rajawali itulah pesona sihir yang menjadikannya mampu memperdayai mangsanya, sekaligus harus tegas seperti tentara dan tidak boleh pelupa seperti profesor. Kenapa tidak boleh pelupa? Sebab dalam berbohong dituntut suatu keharusan untuk selalu intens, total dan konstan. Prinsipnya, sekali berbohong tetap berbohong. Tidak mencla-mencle, tidak berubah-ubah isi pernyataannya tapi setia memegang perkataan-perkataannya yang telah lalu. Orang pelupa tidak berbakat jadi pembohong dan sangat berbahaya bila memaksakan diri melakukannya. Sedangkan di dalam menghadapi mangsa, sebaiknyalah ditatap dengan pandangan tanpa dosa sebagaimana tatapan mata bayi dan jangan berekspresi seram seperti kebanyakan polisi atau aparat keamanan lainnya. Selain itu, pembohong harus bermulut manis, meskipun begitu tidak perlu mendirikan pabrik gula di dalam mulutnya he he he…
Ada rumus hebat yang wajib diimani seperti agama, yaitu sebuah kebohongan yang disampaikan terus-menerus pasti lama-lama akan dipercaya. Bila sekali dibohongi sang mangsa tidak mau percaya, segera bohongilah lagi. Berulang-ulang dan terus-menerus secara gencar sampai akhirnya merasa bosan dan menyerah karena tidak ada lagi waktu untuk tidak percaya. Dan jangan tanggung-tanggung di dalam berbohong. Kebohongan yang terbaik adalah kebohongan yang sebesar-besarnya. Kebohongan besar dapat dipastikan akan lebih sukses daripada kebohongan kecil. Logikanya, kebanyakan orang biasanya sering berbohong dalam soal-soal kecil tapi sangat malu untuk menceritakan sebuah kebohongan besar. Mereka pun akhirnya terjerumus oleh pendapatnya sendiri yang mengacu kepada logika goblok tersebut, dengan memercayai, bahwa tidak mungkin ada orang begitu tak punya malu untuk berani-beraninya memutar balik kebenaran sampai sebegitu rupa. Pendeknya, makin besar kebohongan makin mungkin bisa dipercaya. Menghadapi kebohongan besar pikiran bisa terkilir dan intuisi pun macet. Beranilah berpikir kejam, bahwa kesanggupan kebanyakan orang untuk menangkap suatu pengertian adalah sangat terbatas. Akal sehat mereka sangat sedikit, tapi kekuatannya untuk lupa tiada terkira besarnya. Dan syukurilah, di dunia yang indah ini banyak sekali terdapat orang dungu yang dengan senang hati selalu menyediakan dirinya untuk dijadikan santapan lezat bagi para pembohong. Hanya pembohong yang keterlaluan malasnya sajalah yang merasa sulit mendapatkan mangsanya.
Lalu siapakah sasaran yang bisa dianggap paling empuk? Tak lain adalah orang-orang bijaksana! Sebab sebenarnya di dalam diri setiap orang bijaksana dengan mudah dapat ditemukan ketololan-ketololan!! Tapi yang paling mengasyikkan adalah membohongi istri dalam soal penyelewengan seksual. Di sini ada permainan aneh, bahwa istri kebanyakan selalu menunggu datangnya waktu di mana dia dapat membongkar kebohongan suaminya. Oleh karena itu kecenderungannya bercuriga sangat besar dan berlebih-lebihan, akibatnya bila suami bersikap jujur seringkali malahan tidak dipercaya. Jadi lebih baik dibohongi saja supaya lega hatinya. Wah, saya jadi ingat sebuah nasihat klasik yang diwariskan kakek kakeknya kakeknya kakek saya secara turun-temurun. Katanya wanita itu berjiwa samudra yang bersedia menampung sampah-sampah busuk dari manapun asalnya. Bila sudah berkeluarga, dia bisa memaafkan kesalahan apa pun yang diperbuat suaminya Dan semua kesalahan itu pun dapat dilupakannya, kecuali satu hal, yaitu kisah penyelewengannya dengan wanita lain. Oleh karena itu, bila seorang suami menyeleweng jangan sekali-sekali berlaku bodoh dengan mengatakannya secara jujur kepada istrinya. Sebab mungkin dia masih bisa memaafkan karena kemuliaan hatinya tapi tidak mungkin bisa melupakannya. Bahkan peristiwa itu diam-diam akan diingatnya seumur hidup, secara rapi diarsipkan sebagai album nostalgia paling pahit namun ingin selalu dibukanya kembali setiap saat sambil beriba-iba menikmati perasaan cintanya terhadap dirinya sendiri, sehingga hal ini menjadikan hatinya karatan sedikit demi sedikit akibat diharu biru romantisme derita tekanan batin. Kenyataan seperti ini sudah merupakan kodrat alam, yang menjadi kutukan paling mengerikan sekaligus paling mengesankan bagi semua makhluk yang bernama wanita. Pendeknya, bila suami menyeleweng dengan wanita lain maka terasa lebih manusiawi kalau istrinya dibohongi saja setuntas-tuntasnya biar ilusinya tertidur. Ini demi kebaikannya sendiri. Sekali lagi, supaya lega hatinya dan tidak menderita tekanan batin. Ah, saya nelangsa kalau mengingat ini, betapa wanita itu sengaja diciptakan khusus untuk dibohongi laki-laki.
Waduh, maaf pembicaraan saya terlalu melantur. Baiklah sekarang saya kembalikan lagi cerita saya kepada persoalan pribadi saya sendiri. Saya katakan tadi, penyakit suka berbohong saya sudah mendarah daging dan menjadi kebutuhan pokok. Hidup tanpa berbohong sama jeleknya dengan hidup tanpa makan dan minum. Hal itu kini merupakan problem serius. Harus segera diatasi dan diselesaikan melalui proses penyembuhan. Kalau tidak, lama-lama nyawa saya mungkin bisa melayang.
Begini permasalahannya. Akhir-akhir ini saya sering berbohong secara ngawur dan tanpa memandang risiko yang membahayakan keselamatan jiwa. Saya tidak tahu, apakah ini karena saya sudah jenuh berbohong atau karena saya secara tak sadar sudah rindu untuk berbuat jujur. Barangkali diam-diam saya sedang ingin kembali kepada fitrat kemanusiaan saya. Hati kecil saya pun tidak menyangkal pendapat bahwa manusia itu pada dasarnya baik tapi menjadi jahat akibat kekotoran lingkungan. Tuhan tak pernah menakdirkan manusia menjadi jahat. Manusia dijahatkan oleh sesamanya. Jadi kalau sekarang saya menjadi pembohong besar dan jika ini dianggap sebagai kejahatan, maka bukan saya sendirilah yang seharusnya bertanggung jawab dan menanggung dosanya atas semua ini. Seluruh lapisan masyarakat yang membentuk diri sayalah yang lebih pantas dihukum, sebab merekalah yang menjahatkan saya. Setiap orang memiliki dosa karena diberi oleh dunia. Semakin usang dan lapuk dunia akan semakin banyak dan bermutu benih kejahatan yang ditebarkannya ke dalam hati sanubari umat manusia.
Sekali lagi, saya kini cenderung berbohong secara ngawur, meski dilengkapi dengan teknik seni berbohong yang prima dan supercanggih. Motivasinya hanya sekadar memuas-muaskan diri belaka. Brengseknya, setiap ketemu orang tak peduli kawan atau lawan tiba-tiba birahi saya langsung menyala berkobar-kobar mencuat begitu saja tanpa ancang-ancang dan secepat meteor melesat naik ke ubun-ubun sampai kepala rasanya mau pecah. Nafsu binatang ini merongrong saya agar selekas-lekasnya membohongi orang yang saya hadapi. Anehnya, semakin besar ketegangan yang muncul akibat kebohongan saya, akan semakin besar kegairahan hidup saya. Serasa bermandi cahaya kebahagiaan rembulan, bila orang yang saya bohongi sampai bisa berkelojotan histeris seperti kesurupan atau bahkan pingsan mendadak karena saking percayanya. Lebih-lebih bila lahir akibat yang memicu mencuatnya konflik-konflik baru yang menggelora. Lama-lama saya punya tambahan hobi baru, yaitu mencari ketegangan-ketegangan sebesar mungkin untuk saya koleksi dan untuk menghimpit diri saya sendiri. Agar diri saya terteror habis-habisan. Saya bagai tidak bisa hidup tenteram tanpa teror ketegangan besar. Memadatnya situasi kritis membuat saya dapat bermimpi menjadi manusia, bahkan tatkala sedang terjaga sekalipun. Kalau mungkin, sebenarnya saya ingin menernakkan ketegangan di dalam diri saya agar beranak-pinak.
Apa tidak gila coba? Suatu saat di kampung saya ada rumah terbakar, lalu saya mendatangi Pak Lurah dan dengan penuh penyesalan saya mengakui bahwa sayalah yang membakar habis rumah itu. Tentu orang sekampung jadi marah besar dan hampir menghabisi saya. Untunglah biang keladi yang sebenarnya segera ditemukan tepat pada saat posisi saya sudah kritis. Lalu saat lain lagi di kampung tetangga ada peristiwa perkosaan supersadis. Seorang nenek-nenek berumur hampir delapan puluh tahun diperkosa habis-habisan sampai menemui ajalnya. Kembali tiba-tiba saya mengakui bahwa sayalah yang melakukannya. Kehebohan pun terjadi dan saya dihajar babak belur beramai-ramai tapi saya tetap terus kokoh mengakui bahwa saya pelakunya. Sebelum saya ludes, sungguh sial bukan kepalang, muncul seorang saksi yang menyatakan bahwa dia memergoki peristiwa itu dan lalu pelaku aslinya pun segera ditangkap. Yang paling edan saat terjadi pembantaian di kampung lain lagi, si korban dipotong-potong mayatnya menjadi dua puluh bagian. Dan saya pun segera tampil sebagai pahlawan yaitu dengan lagak perlente mengakui sebagai pelakunya. Sebelum saya dicincang massa, keburu datang polisi menangkap saya. Di kantor polisi saya diinterogasi dan dapat dibayangkan kepedihan-kepedihan dan siksaan-siksaan badan yang harus saya tanggung, tapi saya dengan gagah dan jantan tetap konsisten dengan pengakuan itu. Namun nasib baik belum bosan untuk berpihak kepada saya. Pembunuh aslinya datang menyerahkan diri ke kantor polisi karena tak tahan diburu-buru oleh perasaan berdosa yang terus menghantui dan menyiksanya. Tentu polisi jadi bingung, saking bingungnya lalu secara serempak semuanya mencukur kumisnya masing-masing. Saya juga ikut-ikutan bingung, tidak paham apa hubungan pengakuan saya dan penyerahan diri si pembunuh asli itu dengan soal pencukuran kumis. Toh akhirnya diputuskan bahwa saya telah berbohong dan dianggap tidak waras maka saya pun dibebaskan.
Hal-hal semacam itu tadi saya lakukan terus-menerus dan anehnya nasib baik selalu menolong saya. Akhirnya saya pun terkenal sebagai pembohong besar. Surat kabar dan majalah banyak yang mengekspos keanehan saya. Pemancar televisi pun tak ketinggalan menayangkan keanehan saya itu dalam mata acara Aneh Tapi Nyata. Akibatnya di mana-mana orang tidak mau percaya lagi kepada saya, apa pun yang saya katakan. Bahkan ketika saya sedang berkata jujur dan tulus sekalipun, dan sambil menangis terisak-isak minta supaya dipercaya, toh tetap saja tidak dipercaya secuil pun. Kejam sekali. Spirit saya diusir. Badan saya diizinkan hidup tapi jiwa saya dibunuh pelan-pelan. Saya pun menjadi stres berkepanjangan.
Syukurlah, saya segera mendapatkan akal baru. Yaitu karena tak ada lagi sasaran yang mau saya bohongi, saya pun memilih diri saya sendiri untuk selalu saya bohongi sendiri. Ternyata rasanya lebih enjoy, sukma bisa ditelerkan. Misalnya, di saat saya sedang tidak punya uang, saya justru merasa sedang kaya raya, lantas saya masuk ke restoran besar dan makan juga besar. Sewaktu harus membayar tentu saja timbul konflik sengit. Ya, akhirnya terpaksa jaket, baju, celana, sepatu dan gigi palsu saya tanggalkan buat membayar. Saya pun keluar dari restoran jahanam itu dan lari terbirit-birit pulang ke rumah dalam keadaan bagaikan bayi raksasa yang baru saja dilahirkan dari rahim ibunya. Lain lagi, ketika tak ada gadis yang mau menjalin hubungan cinta dengan saya lantaran wajah saya yang jelek, maka saya lantas beranggapan bahwa mereka semua itu minder terhadap ketampanan dan kehebatan saya lainnya sehingga tak berani mendekat. Saya juga rajin menulis surat bertumpuk-tumpuk dan mengirimkannya kepada diri saya sendiri melalui pos, kemudian saya yakini seolah-olah semua surat itu datang dari para pengagum saya.
Lama-lama kegemaran saya membohongi diri sendiri ini pun menjurus ke arah bahaya besar. Coba bayangkan, saya pernah naik sepeda motor kencang sekali. Jauh di depan saya ada truk melaju dari arah berlawanan. Saya bohongi diri saya bahwa di depan sana itu tidak ada truk. Lalu untuk membuktikannya saya arahkan sepeda motor saya dengan kecepatan lebih kencang lagi menyongsong truk itu. Handel gas saya putar penuh. Sepeda motor melejit kencang sekali. Wah, sangat mengerikan. Dunia bagaikan hendak berubah menjadi suatu kegelapan total. Tapi untunglah di saat yang sudah kritis tiba-tiba kesadaran saya muncul kembali. Dengan cepat saya belokkan lagi sepeda motor saya untuk menghindari kecelakaan. Saya pun selamat. Pernah pula, saya berada di tingkat dua puluh lima dari sebuah hotel. Saya katakan pada diri saya, bahwa saya tidak sedang berada di tempat yang tinggi tapi di tempat yang sangat rendah. Saya pun berusaha melompat ke bawah karena benar-benar yakin dengan pendapat itu. Mujur, orang-orang yang kebetulan berada di samping kiri-kanan saya cepat-cepat memegangi tubuh saya. Kekonyolan lain lagi, saat saya sedang asyik ngomong-ngomong dengan seorang alim ulama, tiba-tiba saya merasa sedang menghadapi seekor kera yang menjijikkan, lalu saya ludahilah mukanya tepat mengenai bola matanya. Ludah saya itu kental sekali, putih mengkilat, dan baunya waduh minta ampun. Selanjutnya sambil menjerit histeris saya tinju mulutnya sampai giginya rontok dua biji. Tentu saja dia marah-marah. Saya sendiri juga sangat kaget begitu tiba-tiba menyadari apa yang saya lakukan barusan. Lalu buru-buru minta maaf dan minta supaya alim ulama itu membalas meludahi muka saya tepat pada bola mata saya dengan ludahnya yang kental pula serta putih mengkilat. Berikutnya dengan penuh hormat saya persilakan menjerit histeris sembari meninju mulut saya agar gigi saya juga rontok dua biji. Alhamdulillah, dia tidak mau membalas!!
Ah, saya benar-benar cemas atas apa yang terjadi pada diri saya. Banyak sekali dukun, tabib, paranormal dan dokter ahli penyakit jiwa saya datangi untuk minta penyembuhan. Tapi tak ada hasilnya sama sekali. Bahkan saking jengkelnya, saya kunjungi pula dokter gigi dan dokter penyakit kelamin, dan tentu saja mereka mendadak kebingungan sendiri. Dokter penyakit kelamin itu bahkan lalu menjadi berang. Dia membentak saya, “Anda mau menghina saya ya?! Masak, dokter kelamin disuruh mengobati penyakit suka bohong. Kalau penyakit suka bokong bisa-bisa saja. Lho, kalau suka bohong dibawa kemari itu tak masuk akal. Yang suka berbohong itu kan bukan kelamin Anda. Saya ini ahli kelamin! Ahli kelamin terpercaya!! Saya tahu persis, kelamin yang ada di seluruh dunia ini tidak ada yang suka berbohong. Mereka sangat bisa dipercaya. Jujur dan bijaksana. Mereka selalu bereaksi secara tepat dan terukur. Kalau ada kelamin yang suka berbohong itu namanya kelamin sinting! Kelamin dogol! Kelamin pengkhianat bangsa kelamin!! Bangsat!! Anda bisa saya tuntut di muka pengadilan agama karena penghinaan ini. Cepat keluar dari ruang praktik saya! Dasar muka Anda kayak kelamin! Atau mungkin kelamin Anda yang tidak bermuka?! Cepat keluar!! Jangan minta pesangon! Dasar agak waras!!!”
Sementara dokter gigi yang pernah saya kunjungi, yang kebetulan juga ada di situ karena ingin memeriksakan kelaminnya yang sudah pingsan sepuluh tahun, ikut menimpali, “Rasain Lu! Rasain sekarang! Kena batunya Lu! Tahu kagak Lu?! Bukan hanya kelamin aja yang kagak suka bohong. Gigi juga kagak suka bohong. Tahu?! Kecuali giginya orang yang kagak punya kelamin!! Dasar ngaco Lu!!!”
Cukup lama nasib saya terombang-ambing tak menentu. Beberapa kali saya berniat bunuh diri karena tak tahan digodam kefrustasian yang meremukkan rasa percaya diri. Tapi setiap ingat bahwa saya pasti masuk neraka maka niat saya itu menjadi kendur. Ketakutan menabrak saya dari delapan penjuru kegelapan dalam bentuk yang sukar dijabarkan. Syukurlah, jalan terang tiba-tiba terbentang di depan mata. Tanpa terduga saya berhasil mendapatkan informasi penting, bahwa di negara Tanpa Nama dan di kota Tanpa Nama ada tabib Tanpa Nama yang memiliki ilmu Tanpa Nama dan mempunyai kemampuan luar biasa dalam menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk penyakit Tanpa Nama. Konon kabarnya dia tidak pernah gagal dalam mengobati pasiennya.
Segera saya datangi tabib Tanpa Nama itu. Ternyata dia seorang wanita. Orangnya sangat simpatik, ramah dan penuh sopan santun. Usianya sekitar sembilan puluh tahun. Sudah kempot semuanya. Pipinya kempot. Dadanya kempot. Bokongnya apalagi. Dibolak-balik pasti sama saja. Dan mungkin pikirannya juga kempot. Namun bekas-bekas kecantikannya masih dapat dibaca dengan jelas. Begitu proses penyembuhan akan dimulai, dia mengatakan supaya saya mau bertelanjang bulat di hadapannya. Saya ragu-ragu, jangan-jangan dia itu tabib cabul yang mau mengerjain kehormatan saya. Wah, gawat. Lagipula saya kan malu bertelanjang bulat di depan hidung orang lain. Maklumlah, rambut saya kan banyak dan lebat sekali di sekitar dada dan ketiak. Sedang di tempat lain yang lebih sunyi rasanya sungguh tidak sopan kalau harus saya ungkapkan dalam kesempatan seperti ini.
Demi kebaikan, dengan malu-malu kucing terpaksa saya pun melepaskan baju dan celana saya hingga lapisan terakhir. Tabib itu serentak memelototkan matanya lebar-lebar, seolah-olah kedua bola matanya mau copot alias keluar dari sangkarnya, kemudian dia tertawa cekikikan dan meminta saya mengenakan pakaian kembali. Katanya, yang dimaksud dengan bertelanjang bulat itu adalah agar saya mau menceritakan seluruh seluk-beluk permasalahan saya secara apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur dan terhormat. Dari yang paling menyenangkan sampai yang paling memalukan dan dari yang paling mistis sampai yang paling religius serta dari yang paling eksistensial sampai yang paling absurd. Saya pun jadi paham dan segera mengiyakan permintaannya.
Dengan rinci saya beberkan keadaan saya. Mulai dari silsilah keluarga yang nama bapak saya pun belum terketahui, pengalaman seksual yang bertumpuk-tumpuk, sampai kepada seluk-beluk sejarah penyakit brengsek itu. Rasanya tak ada secuil pun yang terlewatkan. Bahkan kebiasaan saya ngompol di atas panggung pun saya ceritakan dengan bangga. Segala kecemasan saya tuangkan setuntas-tuntasnya. Dan dengan memelas minta kepada tabib itu agar menyembuhkan saya dengan cara apa pun. Disuruh menelan seribu kadal hidup sekalipun akan saya lakukan. Atau kalau perlu supaya dia meracuni saya saja agar penderitaan saya segera berakhir.
Tabib itu pun dengan cermat memberikan hipotesis-hipotesisnya. Semua permasalahan diurai, dikupas dan dibahas dengan kecerdasan dan kepintaran yang luar biasa mengagumkan. Semuanya serbalogis dan memenuhi tuntutan akal sehat. Saya benar-benar puas berhadapan dengannya. Wawasannya yang hebat, kebijaksanaannya yang bagai ibu dari semesta raya, dan rasa simpati kemanusiaannya yang sangat menggetarkan hati bagi orang bebal sekalipun, sunguh-sungguh telah memukau saya. Dia tampak penuh isi karena sedemikian ikhlas mengosongkan diri. Kesediaannya berebah di lapisan terbawah membuat pencapaian meditasinya melambung ke lapisan kesenyapan tertinggi. Dia menjadi naik ke atas karena selalu menempuh jalan yang menurun ke bawah. Memantul ke angkasa dengan menjatuhkan diri di pusat samudra. Menolak kehormatan agar memperoleh kewibawaan. Berada di depan padahal sengaja ngendon di belakang. Kata-katanya menjadi berat justru disebabkan semua makna diucapkan secara ringan. Dia pun bersembunyi dengan berpijak di tengah lingkaran tanah lapang terang-benderang sehingga mengakibatkan kekurangannya menjelma sebagai suatu kelebihan. Dan yang paling mengesankan, dia mencemerlangkan kebahagiannya dengan cara membangunkan kebahagiaan orang lain. Dialah terang tanpa cahaya. Dialah tulis tanpa papan dan papan tanpa tulis. Ya, inilah tabib paling bijak yang pernah saya jumpai di dunia. Oleh sebab itu tatkala dia memberikan resep-resepnya, saya pun menghaturkan terima kasih bertubi-tubi dan berjanji akan membalas utang budi yang tak terkira nilainya ini. Apalagi sewaktu mau saya bayar dia menolak, maka saya benar-benar terharu dan terpesona oleh kemuliaan hatinya.
Keluar dari ruang praktiknya hati saya dipenuhi berbagai harapan baru yang menjanjikan hari depan gemilang. Saya pun berhenti sejenak di ruang tunggu dan menarik nafas lega selega-leganya. Syukur alhamdulillah saya ucapkan atas karunia besar ini. Saya benar-benar mengalami kepuasan luar biasa setelah sekian lama tidak mengalaminya lagi. Ya, saya sangat puas sampai mengalami letusan orgasme yang sangat dahsyat karena telah berhasil membohongi tabib Tanpa Nama itu. Bahwa semua permasalahan yang telah saya utarakan kepadanya barusan adalah kebohongan sebohong-bohongnya belaka. Dia telah mampu saya kecoh sebagaimana para dukun, dokter jiwa, tabib dan paranormal yang sudah saya kunjungi sebelumnya selama ini. Saya pun tersenyum-senyum kecil dan tertawa-tawa tertahan penuh perasaan bahagia atas kesuksesan saya ini. Betapa tidak, surga yang hilang saya temukan kembali di telapak tangan saya dan lalu saya genggam erat-erat!
Tiba-tiba saya tersentak ketika tabib Tanpa Nama itu memanggil asistennya. Lalu berbicara dengan suara agak keras sambil tertawa-tawa mengakak. Suaranya mirip burung hantu sedang disembelih. Katanya, “Kurang ajar betul pasien kita tadi. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk berbohong. Dia pikir saya tidak tahu bahwa hal-hal yang diutarakannya tadi kebohongan belaka. Goblok betul dia. Dasar pembohong kelas teri kampungan tak tahu diri. Berani-beraninya mencoba membohongi pembohong kelas superkakap. Dia tidak tahu, bahwa dalam praktik kita selama lebih dari ¾ abad ini kita hanya menjual kebohongan-kebohongan belaka kepada semua pasien kita. Termasuk apa yang saya katakan padanya tadi juga bohong semua sebohong-bohongnya. Kasihan kerbau dungu itu. Saya tadi sampai menolak bayarannya karena tidak tega melihat kekonyolan ekspresi wajahnya yang tolol seperti makhluk kehilangan akal sehat. Betul-betul patut dikasihani makhluk satu itu. Atau barangkali dia itu ke sini cuma mau menyindir praktik busuk kita ini ha ha ha…!”
Asisten tabib Tanpa Nama yang juga Tanpa Nama itu menanggapi lebih tajam. Lidahnya bagai pedang Malaikat Jibril yang baru diasah. Katanya sambil menangis keras-keras, “Sial! Sial! Sial! Dasar sial!! Satu tahun lebih buka praktik cuma dapat pasien satu. Dapat satu saja kayak kampret. Jiwanya kayak kampret. Kelaminnya kayak kampret. Baunya pun kayak kampret. Manusia tengik itu tadi pasti bapaknya kampret. Ibunya kampret. Embah buyutnya juga kampret. Tuhannya barangkali juga kampret. Dasar kampret!!! Sial! Sial! Sial! Dasar siaaaaaaaaal!!!!!”
Bangsat! Kali ini saya benar-benar kena batunya. Dengan perasaan kecut saya beranjak dari ruang tunggu tempat praktik tabib sinting itu. Hati saya kacau dan gundah gulana serta terhina. Rasa puas saya hilang mendadak dan orgasme saya batalkan. Saya tiba-tiba takut menghadapi hari depan. Cepat atau lambat saya pasti mati celaka akibat penyakit brengsek saya yang mahamisterius ini.
Ke mana lagi saya harus mengatasi permasalahan pelik ini?! Tolonglah saya para penonton. Tolonglah, tunjukkan saya jalan kepada kebaikan dan kemuliaan budi. Saya betul-betul tersiksa dan tidak kuat lagi menanggung semua beban berat ini. Sungguh malang benar nasib saya. Dengan amat sangat saya memohon kepada Anda sekalian, dengan mempertaruhkan seluruh kehormatan dan harga diri saya. Saya mohon agar Anda sekalian bersedia memercayai saya, sehingga dengan begitu Anda sekalian akan dapat membantu saya mengatasi masalah yang menakutkan ini. Hanya pada Anda sekalian saya masih punya harapan untuk memercayai pengakuan dosa ini. Saya yakin Anda sekalian masih memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi sehingga tidak mungkin mencurigai saya dan membiarkan saya menderita setandas-tandasnya. Percayailah saya, jangan terpengaruh pikiran busuk orang-orang lain yang sudah tidak mau memercayai saya sama sekali. Saya tahu, mereka semua itu tidak jahat tapi hanya agak gila! Sudah impoten perasaannya!! Bagaimanapun saya ini juga manusia seperti Anda sekalian, yang sekecil apa pun pasti tetap mempunyai kejujuran sebagai mutiara hidup. Percayailah saya supaya saya tertolong, supaya saya bahagia dan merasa hidup kembali. Sebab semua hal yang telah saya ceritakan kepada Anda sekalian ini tadi adalah kebohongan belaka sebohong-bohongnya. Bila Anda sekalian memercayainya, saya akan memperoleh orgasme. Tolonglah saya supaya saya orgasme. Tolong…!!!

SELANJUTNYA TANPA DISANGKA-SANGKA SESEORANG INI BERLARI MELEJIT KE ARAH PARA PENONTON. LALU MENANYAI PARA PENONTON SATU PERSATU DENGAN EKSPRESI TIDAK BERKETENTUAN. HANYA SATU MACAM PERTANYAANNYA YANG DIULANG-ULANG DAN DILONTARKAN BERKALI-KALI, YAITU:

                                    Anda mau menolong saya?!




Yogyakarta, 30 Juli 1993

No comments:

Post a Comment