TUKANG MIMPI
(BERKAH BULAN PUASA)
(BERKAH BULAN PUASA)
Cerpen/Monodrama
Sri Harjanto Sahid
Bulan puasa memberikan berkah luar
biasa kepadaku. Sudah lebih sepuluh tahun aku tak pernah berpuasa. Sakit typhus
parah yang pernah kuderita dan sakit maag yang tak kunjung sembuh membuatku tak
berani menjalankan ibadah puasa. Terlambat makan sebentar saja aku sudah
gemetaran. Keringat dingin membanjir dan perut terasa panas sekali. Namun tahun
ini aku nekat berpuasa. Aku mencoba melaksanakan nasihat ibuku yang belum lama
meninggal dunia. Beliau mengatakan kalau aku mau ikhlas berpuasa pasti
penyakitku akan sembuh. Tak masuk akal memang. Bahkan menurut logika ilmu
kesehatan boleh dibilang konyol. Tapi ibuku selalu mengatakan, bahwa bulan
puasa itu penuh keajaiban dan rahmat. Nah, untuk menghormati almarhumah ibuku,
tahun ini aku nekat berpuasa. Dan benar-benar bagaikan mimpi, baru tiga hari
aku berpuasa, aku disergap keajaiban yang membuatku bercucuran air mata
kebahagiaan. Betapa tidak? Tiba-tiba saja aku kejatuhan rejeki lebih dua milyar
rupiah. Seratus buah lukisanku diborong orang yang tak pernah kukenal
sebelumnya.
Belum hilang rasa kagetku, tiga hari
sesudah itu datang lagi dua tamu yang juga belum pernah kukenal. Mereka dua
sahabat karib berusia setengah baya dari Bandung, namanya Pak Rudy Hermawan dan
Pak Budi Darmawan. Masing-masing merogoh kocek tiga ratus juta rupiah untuk
belanja lukisanku. Berbeda dengan pembeli karyaku yang pertama, Pak Soekarman
Widjaja dari Surabaya, dua orang Bandung itu mengaku bukan kolektor murni tapi
pedagang lukisan yang biasa bermain di balai lelang. Tak heran kalau dalam
proses transaksi melewati tawar-menawar yang cukup alot dan berliku. Mereka pun
berjanji akan menjadi pelangganku.
Ah, betapa anehnya hidup ini. Hanya
kurang dari seminggu nasibku seperti dijungkir-balikkan. Penderitaan akibat
sering kekurangan uang yang kualami puluhan tahun lamanya mendadak berubah
total. Aku jadi raja uang! Istriku yang sudah sebulan ngambek, pulang ke rumah
orang tuanya dengan membawa tiga anakku, langsung kujemput. Dia mau balik lagi ke
rumah setelah kurayu habis-habisan. Di rumah mertuaku aku tidak menceritakan
tentang keajaiban yang kualami. Baru setelah tiba di rumahku kembali, aku
menceritakan semuanya kepada istriku. Istriku menangis sesenggukan, mengucap
syukur berkali-kali sambil bersujud ke tanah.
Hampir empat belas tahun tak ada
kolektor yang mau membeli lukisanku. Pasar seni rupa tak mau merespons karyaku.
Konon katanya karena lukisanku terlalu menyeramkan, membuat takut siapa saja
kalau dipajang di dalam rumah, dan dianggap bisa menciptakan aura buruk di
dalam rumah. Anehnya, aku sangat sering diundang para kurator untuk ikut
berbagai event pameran berskala besar. Para kritikus dan wartawan bahkan sering
memberi perhatian besar kepada karyaku. Memuji dan menyanjung. Menganggap aku
sebagai pelukis idealis yang berani menolak didikte oleh kekuatan pasar.
Antipasar yang berselera rendah. Gagah dalam menahan lapar dan sebagainya.
Pendeknya, aku dianggap sebagai
seniman kontroversial. Besar nama tapi kecil rejeki. Memang, aku sama sekali
tak bisa menghidupi keluargaku dari lukisanku. Padahal kuyakini bahwa melukis
adalah sebuah jalan hidup bukan sekadar profesi, apalagi cuma hobi. Segenap
jiwa ragaku kuserahkan pada kesenilukisanku. Terpaksa kunafkahi keluargaku
dengan bekerja serabutan. Kadang-kadang menulis puisi dan cerpen di koran. Atau
main film sebagai figuran, mengajar seni di beberapa sekolah, dan jadi tukang
cat di rumah yang baru dibangun.
Rata-rata teman seangkatanku sudah
makmur hidupnya. Lukisan mereka laris seperti pisang goreng. Rumah mereka mewah
dan kendaraannya juga mewah. Hanya aku seorang yang tertinggal di belakang.
Cuma besar nama tapi kecil rejeki. Tinggal di rumah kontrakan. Ke mana-mana
berjalan kaki. Aku tahu, sering sekali secara diam-diam aku dijadikan bahan
ejekan di belakang punggungku. Yah, aku maklum saja. Pernah aku bersepuluh
bersama teman-temanku berpameran di galeri ternama di Jakarta. Sembilan orang
temanku karyanya ludes terjual habis. Dan karyaku tetap utuh tak tersentuh
pembeli secuil pun. Tentu saja aku jadi bahan tertawaan mereka. Anehnya, di
berbagai majalah para kritikus memuja-muja karyaku.
“Cobalah menggambar bunga-bunga,
atau pemandangan yang indah. Petani yang lagi kerja di sawah. Bisa juga foto
diri para pejabat. Pasti laris!” demikian mertuaku menasihatiku berkali-kali.
Lalu para iparku bergantian pula memberi usulan. Aku tahu, mereka sering
menemukan kepuasan luar biasa setiap membicarakan kegagalanku. Entah bermaksud
menghina, atau sekadar bergurau, bahkan ada yang nekat berceloteh, “Kalau mau
kaya-raya lukislah para artis terkenal tanpa busana. Di dunia ini tidak ada
orang yang tidak suka melihat lukisan perempuan cantik telanjang. Dijamin
sukses. Laris manis!”
Kurang ajar. Benar-benar kurang
ajar!!!
Yah, apa boleh buat. Jangankan keluarga
istriku, bahkan dari pihak keluargaku sendiri pun tak ada yang menghargai
pilihanku menjadi seniman. Dulu ayah dan ibuku menginginkan aku masuk AKABRI.
Aku malahan memilih sekolah seni. Dan meski aku berhasil jadi sarjana seni tapi
cuma dianggap tai kucing oleh saudara-saudaraku. Aku dijuluki sebagai tukang
mimpi. Tidak berpijak di bumi. Besar nama tapi goblok mencari nafkah. Dan saat
aku kekurangan uang dan mencoba meminjam pastilah cibiran mereka menjadi lebih
dramatis.
Nah!!! Kini siapa yang akan mencibir
padaku? Siapa yang akan mengejekku? Menghinaku? Menertawakanku sebagai orang
yang tolol dalam mencari rejeki? Sekarang aku seorang milyarder. Hanya kurang
dari seminggu aku meraup rejeki lebih dua setengah milyar rupiah. Gaji bulanan
presiden negeri ini pun tidak sebesar itu. Puasa memberiku berkah!
Alhamdulillah!!!
“Kita tak boleh takabur Mas. Saat
kita dapat berkah, kita harus ingat sesama umat yang berkekurangan. Kita tak
boleh serakah dalam menikmati rejeki,” kata istriku lembut dengan mata
berkaca-kaca.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Berikan zakat 2,5 persen kepada
kaum dhuafa yang membutuhkannya. Secepatnya dan jangan menunda-nunda. Kalau
perlu sebelum kita sendiri membelanjakannya sepeser pun,” dengan hati-hati
istriku mengingatkanku.
“Ah ya, benar. Bukan cuma 2,5
persen. Aku akan menzakatkannya sepuluh kali lipat. Boleh kan? Ini sebagai rasa
syukur yang tak terkira,” kataku sambil memeluk istriku. Pelukanku dibalas
dengan pelukan yang lebih indah. Istriku menangis bahagia.
Besoknya segera saja kami sibuk
berkeliling. Membagi zakat dan sumbangan ke berbagai panti yatim piatu, panti
jompo, rumah-rumah ibadah dan fakir miskin. Kami bagikan juga lembaran uang
lima puluh ribuan kepada anak-anak jalanan dan para pengemis yang mendadak kami
jumpai. Dengan membagi-bagi rejeki seperti ini, kami sama sekali tidak merasa
kehilangan uang, justru kami merasa lebih kaya-raya lagi dibanding sebelum
membagi-bagikan uang.
Rasa syukurku terasa lebih berlimpah
ruah manakala istriku tetap biasa-biasa saja sikapnya. Tetap sederhana dan
tidak berubah. Hanya menu makanan keluarga sedikit ditingkatkan. Anak-anak
dibelikan beberapa baju baru, yang tidak mahal harganya. Dia pun begitu pula.
Sedangkan aku dibelikan dua buah sarung dan beberapa celana dalam. Aku dan istriku
juga bersepakat untuk menjaga mulut. Agar tak seorang pun tetangga, teman-teman
dan sanak keluarga kami ada yang tahu, bahwa di dalam rumah tangga kami telah
terjadi keajaiban.
Bulan puasa telah berlalu separuh
jalan. Cahaya kebahagiaan menyelimuti ruang keluarga kami. Kristal-kristal
semangat bertaburan di udara. Setelah menikmati buka puasa yang lezat, kami
sekeluarga bersantai ria. Bercengkerama sambil nonton siaran televisi. Anakku
yang terkecil kudekap sembari kuelus-elus rambutnya.
Mendadak konsentrasiku terpaku ke
layar televisi. Dalam tayangan Breaking News, kulihat seorang lelaki tua dengan
tangan diborgol digiring beberapa aparat kepolisian dan petugas Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyiar menyebutkan bahwa lelaki tua itu seorang
konglomerat yang memimpin perusahaan besar di Surabaya. Ditangkap KPK karena
telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dia bersekongkol dengan sebuah
bank dan menggelapkan uang negara sebesar 2,5 trilyun rupiah. Aku sangat kenal
lelaki tua itu. Wajahnya tak akan pernah bisa kulupakan. Dialah orang yang
telah membeli seratus lukisanku seharga lebih dua milyar rupiah. Namanya
Soekarman Widjaja.
Sontak aku berdiri. Berjalan limbung
menuju ke kamar tidur. Tubuhku gemetar. Sesak sekali napasku.
“Ada apa Mas? Kepalamu pusing?”
istriku bertanya.
“Ya, sedikit. Aku mau tidur dulu.
Aku ingin sendirian saja di kamar. Kau tidurlah nanti bersama anak-anak di
kamar mereka,” jawabku sembari menutup pintu.
Aku menangis sedih di kamar.
Menangis tanpa suara agar tak diketahui istri dan anak-anakku. Sampai pagi tak
bisa tidur. Gundah dan gelisah tanpa henti. Pagi-pagi aku bangun. Tergesa-gesa
mencari kios koran terdekat. Aku ingin memastikan berita di televisi semalam.
Kubeli sebuah koran nasional dan langsung kubaca. Di halaman pertama bagian
paling atas terpampang foto Pak Soekarman Widjaja dengan tangan diborgol
digiring polisi dan petugas KPK. Belum lagi kubaca beritanya, iseng-iseng
kuarahkan mataku lebih ke bawah. Kulihat foto dua lelaki setengah baya.
Beritanya menjelaskan kedua lelaki itu penjahat kriminal, bandar besar narkoba,
ditangkap karena kasus perampokan disertai pembunuhan atas sebuah keluarga
hartawan. Kemungkinan ada motif dendam pribadi. Korban yang terbunuh berjumlah
5 orang. Kucermati dua foto itu dan mataku tiba-tiba berkunang-kunang. Aku
sungguh mengenal dua wajah itu. Mereka adalah Pak Rudy Hermawan dan Pak Budi
Darmawan.
Ya Allah!!!!!
Yogyakarta,
23-24 Juli 2013
No comments:
Post a Comment