PENGARANG
Monodrama:
Sri Harjanto Sahid
PANGGUNG
MENGESANKAN TENTANG KEADAAN GUDANG TUA YANG BERSUASANA GANJIL. LUAS, BEKU,
SENYAP, DILIPUTI TEKA-TEKI SEKALIGUS DICEKAM KEMURAMAN ABADI. MEMBOSANKAN.
WAKTU SEPERTI TIDAK BERJALAN. SESOSOK TUBUH TERGELETAK DI TENGAH RUANGAN.
PIKIRAN DAN PERASAANNYA MENGEMBARA DEMIKIAN BEBAS. TIBA-TIBA, PELAN-PELAN TAPI
PASTI, SOSOK ITU BERGERAK PENUH KECURIGAAN.
Aku mendengar sesuatu. Mencurigakan.
Kini hampir setiap suara yang kudengar membuat hatiku tergetar. Dan kecemasanku
terangkat hingga ke puncak kepala. Oh, aku seperti mendapat ancaman menakutkan
dari kanan-kiri setiap saat. Apakah sebaiknya segera kutinggalkan saja gudang
tua yang pengap ini. Baunya sungguh busuk menyiksa pernapasanku.
Heh, suara-suara itu kudengar lagi.
Berderap-derap seperti suara langkah beberapa orang. Apakah mereka sengaja
mencariku? Sekarang suara langkah-langkah itu makin jelas, makin banyak, aduh
bagaimana ini, aku harus segera menyelinap keluar sebelum mereka menemukan
diriku di sini.
Heh, langkah-langkah itu menjauh, hilang pelan-pelan, hilang! Mestinya aku tak perlu terlalu bercuriga. Barangkali mereka hanya sekadar lewat dan tak ada kepentingan sama sekali dengan diriku. Betapa penakutnya aku sekarang.
Heh, langkah-langkah itu menjauh, hilang pelan-pelan, hilang! Mestinya aku tak perlu terlalu bercuriga. Barangkali mereka hanya sekadar lewat dan tak ada kepentingan sama sekali dengan diriku. Betapa penakutnya aku sekarang.
Sudah tiga hari aku bersembunyi di
sini. Aku tak tahu di mana kedua temanku yang lain. Apakah mereka sudah
tertangkap? Atau menyerahkan diri barangkali? Tapi mana mungkin? Apakah mungkin
mereka bertindak setolol itu? Bisa juga?! Jangan-jangan nyali mereka menjadi
kecut setelah menyaksikan akibat dari perbuatan kemarin. Heh, aku jadi bingung
kalau ingat peristiwa laknat itu. Jiwaku tidak menentu, kepalaku panas, dan aku
seperti dikejar-kejar bayangan kejahatanku sendiri. Ah, kenapa aku bisa
terjebak dalam urusan penuh darah ini. Aku telah melakukan pembunuhan terkutuk
yang sebenarnya tak pernah kumaui. Sekarang aku menjadi jijik setiap melihat
kedua tanganku ini. Tangan penuh darah. Keduanya sekarang mirip dengan tangan
setan yang pada suatu saat pasti akan mencekik leherku sendiri. Ahhhhhhhh…
Tiga hari lalu kejadiannya. Pada
malam jahanam itu, dua orang teman lamaku mendatangi rumahku. Mereka mengajakku
merampok seorang pedagang kaya di kotaku sendiri. Aku tidak menolak. Aneh.
Padahal selama ini aku tak pernah tertarik untuk melakukan tindak kriminal.
Profesiku hanyalah pengarang, pengarang cerita kriminal seperti Agatha
Christie. Hanya dorongan untuk mengalami suatu petualangan hebat sebagaimana
tokoh-tokoh di dalam karangankulah yang menjadi satu-satunya alasan bagiku
untuk menyetujui ajakan mereka. Sebuah alasan romantis dan menggairahkan!
Udara agak dingin. Dengan
berpura-pura bertamu kami berhasil masuk ke rumah pedagang kaya itu. Setelah
melewati basa-basi panjang, tiba-tiba kedua temanku mengeluarkan pistolnya
masing-masing dari balik jaketnya. Aku kaget, semula kukira cuma pistol mainan,
ternyata pistol betulan, bukan pistol-pistolan. Gila!
Seorang temanku membentak, “Tuan,
keluarkan seluruh perhiasan berharga yang Tuan miliki. Cepat!”
Pedagang kaya itu gugup. Lalu berkata
pada istrinya, “Bu, tolong kau ambilkan perhiasan yang ada.”
Istrinya masuk ke dalam kamar, tak
lama kemudian dia keluar lagi membawa segenggam perhiasan dari emas. Disambut
temanku dengan bentakan penuh ancaman, “Kurang! Lebih banyak lagi. Tuan punya lebih
banyak lagi. Sangat banyak. Keluarkan semua!”
Tergopoh-gopoh istrinya kembali
masuk. Dan balik lagi membawa dua genggam. Ada perhiasan macam-macam
bertahtakan intan. Mata temanku menjadi hijau mendadak. Tapi ia membentak lagi,
“Sialan! Kok cuma segitu. Kampret!
Semuanya kataku!”
Nyonya rumah gelagapan, menyahut,
“Su… sudah habis Tuan!”
“Ah, tidak percaya. Balik lagi
sana!” balas temanku sambil menyeram-nyeramkan wajahnya. Aku geli melihat
ekspresi wajah temanku. Meskipun ia amat serius tapi terasa dipaksakan.
Maklumlah ia bukan perampok profesional dan tidak mengenal pendidikan seni
akting yang baik dari bangku akademi tempat ia kuliah. Barangkali ia hanya
meniru-niru akting bandit-bandit dalam film Indonesia yang seringkali terasa
norak dan naif.
Cepat sekali nyonya rumah berkelebat
masuk dan berkelebat keluar. Membawa perhiasan segenggam lagi, “Ini Tuan,
sekarang habis betul Tuan. Berani sumpah, Tuan! Kasihanilah kami, Tuan!”
“Ah, bohong! Ambil lagi cepat!”
“Habis!”
“Tidak percaya!”
“Lho,
dibilangin kok tidak percaya!”
“Kampret! Terlalu banyak cing-cong!”
“Eh,
amit-amit! Kok Tuan malahan
mencing-cong cing-congkan!”
“Jangkrik Ondol! Mau mengambil lagi
tidak?! Kalau tidak mau mengambil lagi aku perkosa kamu!!”
“Iiih, Tuan! Ampun Tuan! Oh, my God!”
Tetapi nyonya rumah tetap tidak
beranjak. Mukanya pucat pasi dan tubuhnya gemetaran meringkus kecil. Ngompol.
Lantai basah, memancarkan aroma khas. Aroma jengkol. Temanku naik pitam.
“Bandel! Kemari!”. Toh, nyonya rumah tetap membandel di tempatnya. Didekatinya
dengan ekspresi wajah kusam mengkerut serta pancaran mata aneh. Dan tanpa
diduga-duga dengan kasar dijambretnya kalung yang dipakai nyonya rumah.
Sementara temanku satunya lagi memain-mainkan pistolnya di bagian kepala sang
pedagang.
Aku terkejut ketika temanku
menjambret lagi anting-anting nyonya rumah. Nyonya itu menjerit. Telinganya
berdarah. Belum puas dengan itu, dijambretnya lagi anting-anting di telinga
lainnya. Dan kali ini jeritan nyonya rumah amat keras, histeris. Temanku yang
satunya terngungun, tangannya gemetar, dalam kegugupan tanpa sengaja pelatuk
pistol yang dimain-mainkan di kepala sang pedagang tertarik ke belakang. Maka
terdengarlah ledakan sebuah suara… ahhhhhhhh. Pedagang itu tumbang berlumuran
darah. Otaknya muncrat keluar. Nyonya rumah makin histeris, menjerit-jerit
kalap, sambil menubruk dan menggoncang-goncang mayat suaminya. Kedua temanku
kebingungan, grogi luar biasa. Kulihat sinar mata iblis di bola mata mereka.
Bersamaan mereka mengarahkan pistol ke tubuh nyonya rumah. Pistol meledak
hampir bersamaan pula. Nyonya rumah sekarat.
Tiba-tiba terdengar jeritan bayi
dari dalam kamar. Lalu jeritan itu menjadi tangisan duka cita keras dan
memanjang, amat menyayat dan menyakitkan hati. Kami terkesima. Belum selesai
kami terkesima, muncul anak laki-laki kecil sekitar delapan tahun dari balik
pintu mengayunkan sebuah pedang ke arahku. Anak itu meneriakkan seluruh dendam
kesumatnya, “Jahanam! Kalian binatang semuanya! Pergi ke neraka kalian!
Pergi!!”. Aku menjadi lebih terkesima. Dalam keadaan setengah sadar, secepat
kilat kucabut pisauku, kuhindari terjangan anak itu dan kutendang tangannya
hingga pedangnya terjatuh, secara refleks kubenamkan pisauku ke ulu hatinya.
Anak itu menggelepar-gelepar seperti ayam disembelih. Ohhhh, aku merasa seperti
sedang membunuh anakku sendiri. Sungguh biadab. Aku betul-betul bukan manusia
lagi.
Anak itu menggelepar terus. Mataku
terpaku karenanya. Aku terduduk dan tak memedulikan tarikan kuat kedua tangan
temanku untuk segera meninggalkan ruangan. Aku menyaksikan tangan anak itu
menyampar lampu minyak antik di atas meja. Dengan cepat apinya menyambar gorden
dan kain-kain lainnya. Ruangan segera dikuasai api. Kedua temanku cepat berlari
meninggalkan diriku seorang diri. Aku baru beranjak setelah samar-samar
kudengar suara orang banyak dari jauh. Aku lari terpisah dari kedua temanku.
Beruntung tak ada orang mengejarku, tapi sempat kudengar teriakan orang banyak
yang barangkali saja mengejar kedua temanku. Suara mereka bersahutan,
hiruk-pikuk tumpang-tindih menggebu-gebu dan amat ganas: “Itu mereka ke sana!
Kejar cepat! Jangan sampai lolos! Tutup setiap mulut jalan! Jaga setiap
perempatan jalan! Ayo berpencar, goblok,
aduh kakiku menginjak tahi kerbau, sialan! Mana baterainya, mana?! Senterin dong, senterin!! He, Arif Budiman ke
kiri! Umar Kayam ke kanan! Cak Nun menerobos tengah saja lebih enak!! Ayo, ayo,
sikat mampus kalau ketemu!! Hajar dan bunuh di tempat!! Bajingan! Asu! Lonte! Kadal! Tekek elek! Jangan diampuni!! Ayo, ayo, ayo…” Aku ngeri mendengar
kegemuruhan itu, tapi aku tak memedulikan nasib kedua temanku. Aku berlari
kuat-kuat, berlari, aku kacau dan terus saja berlari. Aku sesak sukmaku
meronta. Aku merasa udara membeku dan waktu menyala membakar pikiranku. Aku
melihat bulan di langit mengucurkan darah berusaha membebaskan diri dari
gigitan taring naga raksasa yang sedang mengamuk. Aku menyaksikan awan-awan dan
mega-mega berarak menggelombang dahsyat menghantarkan berjuta-juga kutukan
kepadaku. Aku merasakan semesta menggeletar menolak diriku. Aku bingung. Aku
ingin keluar dari diriku sendiri. Tapi aku terus sempoyongan berlari. Berlari
berlari berlari, rongga dadaku panas, berlari berlari berlari, mulutku
berbusa-busa dan memuntahkan cairan hitam, berlari berlari berlari uhhuk-uhhukg-uhhukg
berlari berlari berlari… Setelah agak jauh aku berjalan biasa saja, seolah-olah
tak terjadi apa-apa dengan diriku.
Aku berjalan santai menembus malam.
Gerimis turun perlahan. Angin bertiup menuju arah tenggara menerpa wajahku,
semilir. Tapi hatiku diamuk kegelisahan luar biasa. Suara tangisan bayi itu
mengiang-ngiang terus di telingaku. Mendengar tangisan bayi itu aku seperti
mendengar tangisan Tuhan. Entah bagaimana nasibnya. Barangkali mati terbakar
dan Tuhan pasti turut terbakar menyertai dirinya.
Sekarang aku tinggal menghayati
semua hasil petualanganku. Sungguh tidak enak hidup sebagaimana yang dialami
tokoh-tokoh fiktif dalam buku-buku cerita yang kukarang. Jadi kusadari kini,
betapa selama ini aku telah bersikap kejam kepada tokoh-tokoh dalam ceritaku.
Aku telah memaksa mereka mengarungi samudra kehidupan yang penuh kutukan.
Sewajarnyalah bila aku meminta maaf kepada mereka. Mereka adalah korban-korban
bagi pemenuhan nafsu artistikku selama ini.
Sragen,
Mei 1989
No comments:
Post a Comment