PAK
POLISI
Monodrama: Sri Harjanto Sahid
PANGGUNG
TERISI OLEH SEPERANGKAT BARANG-BARANG YANG TERTATA SANGAT HARMONIS.
MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN YANG SIAP DIPAKAI UNTUK PERTUNJUKAN MONODRAMA
DENGAN LAKON PAK POLISI. ADA MEJA,
KURSI DAN PERLENGKAPAN LAINNYA YANG TERGARAP SEDEMIKIAN RUPA. SUASANA
MEMANCARKAN KESEMARAKAN BERSAHAJA.
Para penonton yang terhormat,
seharusnya yang akan tampil dalam pementasan monodrama ini adalah seorang aktor
yang sudah cukup anda kenal, yaitu saudara Yoyok Aryo (atau silakan menyebut nama seorang aktor teater atau tokoh masyarakat
di kota tempat pertunjukan ini berlangsung yang sekiranya sangat dikenal
penonton). Sedangkan lakon yang akan dimainkan berjudul “Pak Polisi” buah
karya Sri Harjanto Sahid. Namun sampai pada jam pertunjukan sekarang ini yang
semestinya harus sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu, saudara Yoyok Aryo
belum juga hadir sehingga tentu saja acara ini menjadi berantakan.
Harus diketahui bahwa hal ini
terjadi bukan karena kesalahan pihak panitia penyelenggara maupun manajer
pertunjukan, tapi semata-mata akibat keteledoran aktor hebat tersebut yang
ternyata tidak bertanggung jawab terhadap profesinya. Anda semua dapat
melihatnya sendiri, bahwa seluruh crew
pertunjukan ini sudah siap dengan tugasnya masing-masing. Penata lampu sudah
siaga di tempatnya, para pemusik sudah memegang alat-alat musiknya sejak satu
jam lewat. Dan set dekorasi seperti yang anda semua lihat di sini, sudah
dibereskan dengan sempurna oleh penata artistik. Tinggal aktornya saja yang
belum ada.
Panitia penyelenggara tidak mendapat
keterangan apa-apa dari aktor yang bersangkutan, kenapa dia tidak datang malam
ini. Barangkali dia masih ketiduran di rumah, atau siapa tahu mendapat
kecelakaan di jalan. Semoga saja dia tidak sedang membelot, sengaja mengingkari
kewajibannya tampil di sini dan lari ke panggung lain karena mendapatkan jumlah
honor yang lebih banyak. Berani sumpah, panitia penyelenggara di sini sudah
membayar uang muka kepadanya dalam jumlah yang layak.
Bagaimanapun, apa pun yang terjadi
pertunjukan harus tetap berlangsung, the
show must go on. Manajer pertunjukan ini tidak tega membiarkan anda
semuanya pulang sebelum menonton apa pun. Karena itulah saya diminta tampil di
sini untuk menggantikan aktor hebat yang tidak datang tersebut. Saya diminta
ngomong apa saja dan berbuat apa saja semau saya. Yang penting para penonton
bisa menonton sesuatu, termasuk sesuatu yang barangkali akan sangat menyebalkan
dan bahkan memuakkan.
Saya sendiri sekarang bingung
setelah berada di atas pentas ini. Tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya
sama sekali tidak siap dengan rencana apa pun sebelumnya. Saya tadi berkunjung
kemari sebenarnya tidak sengaja. Hanya mampir ketika kebetulan lewat. Oleh
sebab itu saya tidak membeli tiket tapi masuk lewat pintu belakang. Di saat
saya asyik dengan kesibukan saya di kamar kecil, tiba-tiba manajer pertunjukan
ini menggedor-gedor pintu dan terisak-isak meminta tolong kepada saya supaya
mengatasi masalah ini. Saya pun dipaksa tampil di hadapan anda semuanya.
Wah, celaka saya. Mau apa saya di
sini. Sebab pikiran saya sendiri masih bingung karena terteror oleh pengalaman aneh
yang saya alami barusan menjelang fajar pagi tadi. Kisah nyata yang saya alami
ini penuh misteri dan sukar dipercaya akal sehat. Akan tetapi kebenarannya
tidak mungkin bisa saya sangkal. Anda semua pasti mengira saya sudah gila
karena meyakini pengalaman mistis ini sebagai sesuatu yang benar-benar telah
terjadi. Namun begitulah kenyataannya. Saya sampai sekarang masih dibuat pusing
tujuh keliling.
Sebagaimana lakon “Pak Polisi” yang
akan dimainkan oleh saudara Yoyok Aryo, maka kejadian aneh yang saya alami itu
juga melibatkan tokoh polisi. Ini sungguh mengherankan dan segalanya terjadi
secara kebetulan belaka. Sama sekali tidak ada kaitannya antara pengalaman saya
itu dengan lakon “Pak Polisi” yang seharusnya malam ini akan dimainkan oleh
saudara Yoyok Aryo di hadapan Anda semuanya.
Pengalaman ajaib itu terjadi tepat
pukul dua belas malam ketika sepeda motor yang saya naiki menggelinding
pelan-pelan dari arah Stadion Kridosono hendak menuju ke Bunderan Universitas
Gajah Mada. Setengah percaya dan tidak, sesampai di samping Bentara Budaya saya
melihat patung polisi yang berdiri tegak di depan kantor KOREM bergerak-gerak
seperti mau hidup. Belum habis rasa heran saya, tiba-tiba patung polisi yang
menghidup itu melompat ke tengah perempatan jalan men-stop laju kendaraan saya. Saya tergeragap pucat pasi.
“Lho, apa salah saya Pak?”
“Anda memang tidak melanggar
peraturan lalu lintas.”
“Lalu kenapa saya di-stop?”
“Ya, karena Anda bersalah kepada
saya!”
“Aduh, kesalahan apa itu?”
“Karena Anda secara kebetulan telah
melihat saya memanusia. Ini berarti merusak rahasia pribadi saya. Eksistensi
saya terancam oleh kesaksian Anda. Jika Anda memberitahukan hal ini kepada
orang lain, apalagi kepada wartawan, maka penderitaan saya pasti akan lebih
meningkat berlipat-lipat lantaran setiap orang yang lewat di sini bakal
memelototi saya. Mereka juga akan mengintip saya setiap waktu, ingin
membuktikan sendiri, dan ini jelas membuat saya makin terpenjara dalam
keserbaterbatasan. Saya bisa tak punya lagi kesempatan memanusia. Privasi saya
terjajah!”
“Oh, maafkan saya Pak.”
“Ya, sudahlah. Baiknya kita
bersahabat saja asal Anda bersedia bungkam mulut menjaga rahasia saya ini.”
“Saya berjanji, Pak.”
“Nah, sekarang saya mau ikut Anda
saja. Boncengkan saya, bawalah saya keliling kota atau ke mana saja asal jangan
ke tempat-tempat mesum. Saya paling takut pada dosa. Uh, saya bosan sekali di
sini!”
“Tapi saya mau ke Rumah Sakit
Sarjito, Pak. Menemani adik saya menjaga kakak saya yang dirawat di sana.
Bagaimana kalau besok saja, Pak?”
“Baiklah, kalau Anda menolak.
Sekarang tolong Anda serahkan SIM dan STNK Anda kepada saya!”
Daripada SIM dan STNK milik saya
ditahan, lebih baik saya turuti saja kemauannya. Saya ajak Pak Polisi itu makan
gudeg di Malioboro dan nonton para pemuda gondrong ngamen. Sewaktu saya ajak
nonton jathilan dia tertawa cekakakan terus menerus. Entah apa yang
ditertawakan. Saya sama sekali tidak tahu bagian mana yang membuatnya merasa
lucu. Dia juga selalu terpesona pada setiap apa yang dilihatnya. Semuanya
terasa seperti memberi pengalaman baru dan memberikan impian indah tentang lagu
kehidupan. Maklumlah, selama ini setiap kali memanusia dia katanya tak pernah
berani meninggalkan tempatnya di depan kantor KOREM itu. Paling hanya sekadar
duduk-duduk di sekitar situ atau mencari rokok ke tempat terdekat lalu segera
balik lagi, sebab takut dipergoki orang lewat atau regu polisi bermobil yang
melakukan patroli.
Pengalaman baru itu membuatnya ingin
hidup memanusia seterusnya dan tak ingin kembali menjadi patung. Namun
disadarinya bahwa keinginannya itu tak mungkin terlaksana. Hal ini membuatnya
menangis sesenggukan dan mengumpat-ngumpat seniman yang telah membikinnya. Saya terharu sekali
melihatnya. Saya mencoba menghibur dengan mengajaknya ke Alun-alun Utara
menyaksikan para wadam yang lagi mejeng.
Sialnya niat baik saya malahan membuatnya marah bukan main. Wajahnya mengejang
seperti mau membatu. Suaranya mengering dan parau. Badannya mendingin dan
memberat. Dia merasa telah saya hina. Dia sakit hati. Saya tak bisa
menenangkannya meski saya sudah meminta maaf bertubi-tubi. Untung-untungan
segera saya larikan dia ke rumah saya dan saya pijiti serta saya keroki tubuhnya. Dia pun akhirnya segar
dan normal kembali.
“Saya menyesal Pak.”
“Sudahlah. Agaknya saya memang
ditakdirkan untuk menderita selamanya. Saya tak punya kemampuan berpikir normal
dan mengendalikan perasaan. Barangkali ini karena pakaian seragam yang saya
kenakan dan ditambah sugesti masyarakat luas yang menganggap jenis-jenis
semacam saya ini seolah-olah hantu galak dan menakutkan. Padahal saya ini kan
sekadar robot mainan belaka.”
“Makna eksistensi Bapak sangat
mulia. Bapak menjalankan tugas tanpa pamrih. Mestinya Bapak mendapat bintang
penghargaan dari presiden.”
“Maunya sih begitu. Saya tak sudi
bersikap terlampau naif yang bisa berbangga-bangga diri lantaran diberi gelar
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Saya lebih suka dihargai dengan cara diberi duit
banyak daripada diberi gelar segala macam. Duit kan bisa buat beli rokok dan
segala macam, sedang gelar bisa buat beli apa coba? Saya sebenarnya juga sangat
ingin berpamrih. Pamrih itu kekayaan batin yang paling mahal nilainya dan tak
bisa diganti dengan apa pun selain pembayaran yang sesuai. Tapi hak saya untuk
punya pamrih telah dirampas. Saya dipaksa bekerja sepanjang waktu tanpa digaji.
Pangkat saya dimacetkan tak bisa naik. Tetap sersan satu meski saya
berpuluh-puluh tahun bekerja keras tanpa istirahat sedetik pun. Saya harus
kedinginan ketika hujan deras tumpah dari langit dan tak ada yang berbaik hati
memayungi saya, begitu pula ketika panas terik menyengat. Dan yang lebih
menjengkelkan, saya harus berdiri terus dengan kedua tangan ditelikung ke
belakang dalam posisi sikap istirahat di
tempat tanpa boleh bergeming sedikit pun. Saya lelah dan seluruh persendian
terasa nyeri, tapi tak ada yang memedulikan. Saya sering ingin sekali tempo
memijitkan badan.
“Tugas memang memerlukan
pengorbanan, Pak.”
“Tapi saya ini melulu berkorban.
Saya sebenarnya ingin berontak. Saya merasa disiksa tiada tara tanpa rasa
perikemanusiaan yang adil dan beradab. Saya ingin menangis keras-keras dengan
suara menggeledek supaya seluruh warga kota terbangun dari tidurnya tengah
malam sehingga bisa mendengarkan penderitaan batin saya. Saya ingin
meraung-raung seperti ledakan amarah singa raksasa sehingga bulan di langit
menjadi gemetar lalu jatuh ke bumi dan ngompol saking ketakutannya. Tapi suara saya sudah
terpasung dan tidak bisa keluar dari mulut saya seenaknya sendiri. Akibatnya
saya hanya bisa menangis dalam hati.”
“Wah, jangan mengambil risiko
membahayakan, Pak.”
“Memang, pemberontakan brutal
semacam itu tidak mungkin saya lakukan. Saya takut dituduh subversif. Dan asal
para petugas yang lain tidak berubah menjadi sangat pemalas saja saya tak
terlalu sakit hati. O ya, sering-seringlah Anda menengok saya agar saya tidak
kesepian. Saya biasa memanusia pada pukul dua belas malam tepat, tiap tanggal
satu.”
“Kenapa kok mesti tanggal satu, Pak?”
“Sebab pada saat itulah hati saya
sedang dongkol-dongkolnya. Saya cemburu pada para petugas lain yang kerjanya
jauh lebih ringan dari saya tapi mendapat gaji besar, sedangkan saya tidak sama
sekali. Saya merasa diperas habis-habisan. Nah, pada saat kejengkelan saya
memuncak maka secara otomatis saya memanusia. Anehnya pemanusiaan saya itu kok selalu tepat jam dua belas malam,
tidak kurang tidak lebih. Saya sendiri heran terhadap misteri ini.”
Kami pun selanjutnya mengobrol
panjang lebar. Dari soal politik, filsafat, agama dan budaya dia menguasainya
dengan baik. Hanya mengenai seks dia sangat buta. Dia tak tahu apa itu nafsu
birahi. Dia impoten total. Rupanya si pematung yang membikinnya dahulu lupa memberinya alat kelamin. Saya sungguh
memprihatinkan kecacatannya ini, sebab barang yang satu itu merupakan senjata
ampuh yang paling diandalkan dan dibanggakan oleh para makhluk yang bernama
laki-laki. Tanpa itu laki-laki bagaikan kehilangan makna. Namun di tengah
keprihatinan saya yang terus menyesak, mendadak saya lihat dia bereaksi sangat
mengagetkan ketika terdengar suara azan subuh dari masjid. Wajahnya pucat pasi,
bibirnya gemetaran, matanya memancarkan kegelisahan luar biasa, dan
gerak-geriknya lambat seperti robot, sempoyongan kehilangan keseimbangan.
“Aduh! Kasihanilah saya! Cepat
antarkan saya ke tempat semula di depan kantor KOREM. Ayolah!! Tubuh saya akan
membatu begitu suara azan subuh selesai!! Saya tak mau membatu di sini atau di
jalan!!! Saya harus kembali ke tempat tugas!!!”
Kami pun bergegas keluar rumah.
Secepatnya sepeda motor saya kebut ke arah kantor KOREM. Pak Polisi itu menggelendot
di boncengan seperti tak punya tenaga. Tubuhnya mulai kaku dan membatu sedikit
demi sedikit. Napasnya dingin tersengal-sengal makin pendek-pendek dan makin
jarang. Saya cemas membayangkan betapa gegernya masyarakat Yogya seandainya
besok pagi patung Pak Polisi tidak berada di tempatnya. Dan kecemasan saya
memuncak ketika kurang seratus meter dari tempat tujuan sepeda motor saya
mogok. Pak Polisi mulai meneteskan air matanya. Sedih. Saya umpati sepeda motor
saya. Saya tendang sepeda motor butut itu hingga jatuh terkapar di aspal
jalanan. Saya gendong Pak Polisi yang sudah tak mampu menggerakkan badannya.
Saya terengah-engah menanggung beban berat dan langkah saya terseret-seret
setapak demi setapak hingga akhirnya sampai di tujuan. Tubuh Pak Polisi saya
letakkan dan saya tata di tempatnya sebagaimana posisinya semula. Bersamaan
dengan habisnya suara azan subuh semuanya terselesaikan dengan baik. Saya
menarik napas lega sembari meninggalkan tempat itu, tapi baru empat langkah
entah kenapa kepala saya seperti ditarik untuk menoleh ke arah patung Pak
Polisi. Astaga, ternyata patung Pak Polisi tak lagi mengenakan topi dan sepatu!
Rupanya topi dan sepatunya tertinggal di rumah saya!!!!
Nah, kalau sekarang Anda semua
melihat patung Pak Polisi yang berdiri di depan Kantor KOREM itu mengenakan
topi dan sepatu, maka itu sungguh di luar kekuasaan saya. Barangkali saja, dan
ini hanya dugaan belaka, pagi-pagi sekali ketika sedang berolahraga lari-lari
Bapak Komandan KOREM memergoki patung itu tidak mengenakan topi dan sepatu.
Lalu segera mencari dan meminta seniman yang dahulu membikinnya untuk memasangkan lagi topi dan sepatu baru. Peristiwa
ini sengaja dirahasiakan demi kestabilan keamanan dan agar masyarakat tidak
resah. Sebab kalau peristiwa ini dibongkar pasti terjadi kehebohan besar.
Masyarakat luas dikhawatirkan akan menanggapinya dengan sikap yang tidak-tidak.
Mungkin patung itu akan dikeramatkan dan ditakuti seperti hantu yang lebih
menakutkan daripada polisi asli. Bisa pula akan ada banyak orang mencari berkah
di sana, secara kolosal bertirakat di sekitar patung itu, dengan harapan supaya
diberi nomor SDSB yang jitu.
Aduh, maaf, manajer pertunjukan ini
memanggil-manggil saya. Terpaksa Anda semua harus saya tinggal sebentar.
(KELUAR DARI PANGGUNG TERGESA-GESA. SEBENTAR KEMUDIAN MASUK LAGI DENGAN
EKSPRESI WAJAH YANG MENGANDUNG SURPRISE
BESAR). Para penonton yang terhormat, bersyukurlah! Saudara Yoyok Aryo telah
datang malam ini. Dia meminta kepada saya supaya menyampaikan permintaan maaf
yang sebesar-besarnya karena datang terlambat. Rupaya dia tadi memang
benar-benar tertidur di rumah dan begitu terbangun segera berlari-lari cepat
kemari. Sekarang dia sudah siap dengan make
up dan kostumnya. Tapi karena tergesa-gesa celananya lupa terbawa. Jadi
harap dimaklumi kalau dia nanti hanya mengenakan sarung. Dan saya sendiri mohon
maaf karena tidak bisa melanjutkan obrolan saya dengan anda semuanya tentang
pengalaman saya yang sangat aneh dan misterius itu. Kalau ada yang merasa
penasaran boleh kita lanjutkan nanti di belakang panggung sesudah saya turun
dari sini.
Nah, para penonton yang terhormat.
Sekarang marilah kita saksikan penampilan aktor kesayangan kita Yoyok Aryo,
yang akan memainkan lakon “Pak Polisi”. Sebelumnya marilah kita sambut aktor kesayangan
kita ini dengan tepuk tangan yang gegap gempita. Terima kasih!! Selamat
menyaksikan!!!!!!
Yogyakarta,
1991-1993
Bila mementaskan naskah ini
seyogyanya memberitahukan kepada penulisnya, Sri Harjanto Sahid. Alamat:
Akademi Seni Drama & Film Indonesia Jalan Sompilan Ngasem 12 Yogyakarta.
Terima kasih.
No comments:
Post a Comment