DONGENG TENTANG
NEGARA REPUBLIK MASUK
ANGIN
Cerita panggung: Sri
Harjanto Sahid
Alkisah, pada zaman
sekarang tersebutlah sebuah negara bernama Negara Republik Masuk Angin.
Keberadaan negara ini sangat misterius, benar-benar ada tapi tak seorang pun
yang mengetahuinya. Tak heran bila tak ada yang menuliskannya dalam catatan dan
tak setitik pun gambarnya tercantum dalam peta dunia. Padahal, letaknya sangat
dekat dengan siapapun. Terutama dengan pembaca cerita fantastis ini di manapun
tinggalnya. Baiklah, supaya aman katakan saja dekat dengan Amerika Serikat.
Sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan Indonesia . Namun pengarang yang
paham tentang hak asasi pastilah haram melarang pembacanya mengembangkan
imajinasinya masing-masing. Jadi bagi pembaca yang kreatif, silakan merumuskan
prasangka sendiri.
Pemerintah negara
aneh tapi nyata ini terdiri dari orang-orang jompo. Tak ada generasi muda yang
diberi kesempatan terlibat dalam tata pemerintahan. Padahal melihat kondisi
para orang jompo tersebut, sungguh mengenaskan dan sama sekali sudah tak layak
menduduki jabatannya. Di samping tubuhnya sudah pada ringsek, tulang dan
kulitnya rusak dimakan karat, kepala botak dibakar uban dan otak membatu karena
afkir sehingga berpikir pun tersandung-sandung, masih ditambah kekayaan bakat
alam luar biasa berupa kemampuan membuat sebal orang lain. Kenapa mereka meski
sudah hampir mampus diterkam usia
tapi tetap bertahan di kursi pemerintahan, inilah keanehan yang di luar
jangkauan akal orang waras. Bila akal sidang pembaca sanggup menjangkaunya,
berkemas-kemaslah untuk pergi ke rumah sakit jiwa. Bila tak mungkin
menjangkaunya, berbahagialah!
Sebagai bangsa yang
tidak menghargai kesenian dan kebudayaan tapi memuja-muja bidang olahraga,
bangsa yang sunyi dari publikasi ini sudah setengah abad mengarungi sejarah
dengan perahu raksasanya yang terus oleng. Sejak generasi perintis kemerdekaan
digulingkan secara licik oleh tangan-tangan rahasia, rezim yang bertakhta
sekarang inilah yang dipercaya mengemudikan dan mengayuh dayung, Kalau
dihitung, sudah ada 30 tahun berlangsung hingga kini. Tak pernah tergantikan.
Hal ini memang murni kehendak rakyat. Bukan hasil manipulasi pendapat dari
rezim yang bersangkutan.
Pejabat pemerintah
Negara Republik Masuk Angin adalah makhluk-makhluk malang yang pantas dikasihani. Mereka ini bagaikan
dilahirkan dengan takdir khusus supaya dihina oleh sejarah. Dahulu, mereka
dipilih melalui sistem pemilihan umum yang ugal-ugalan dan penuh sandiwara.
Pemilihan didasarkan pada kriteria: Siapa
yang Paling Goblok! Artinya, sejumlah orang goblok dengan suatu cara tertentu dikumpulkan oleh masyarakat di
satu lokasi. Lalu disaring lagi mana yang gobloknya
keterlaluan. Nah, orang-orang yang dinyatakan ranking kegoblokannya memenuhi syarat dihadiahi hak duduk sebagai pejabat
tinggi negara. Makin goblok makin
tinggi jabatannya. Pokoknya menurut ranking. Orang cerdas dan pintar dilarang
keras masuk dalam jaringan tata pemerintahan. Kalangan ini diwajibkan berumah
di angin.
Sudah tentu
orang-orang yang terpilih waktu itu menjadi sedih dan stress bukan kepalang. Segoblok-gobloknya,
mereka tahu sedang dihina dengan cara seolah-olah dimuliakan. Dengan penuh
hormat mereka pun berupaya menolak, namun akibatnya sungguh parah. Mereka
digebuki dan disiksa sampai ludes, beramai-ramai, persis seperti kaum pesakitan
dalam penjara di sebagian negara sedang berkembang. Akhirnya, terpaksa mereka
bersedia mengemban tugas berat menjalankan roda pemerintahan. Mereka disuruh
bekerja seperti mesin. Tak boleh istirahat dan dilarang pensiun sampai mati.
Walau sudah sekarat bertahun-tahun sekalipun dan badan tak mampu difungsikan,
jabatan yang disandang tidak dicopot. Gajinya yang superkecil tetap terbayar
penuh meski tanpa kerja.
Rakyat yang merasa
meng-casting pemerintah, tidak boleh tidak dipuaskan. Sebagai pemilik
kedaulatan tertinggi, rakyat harus diperlakukan seperti majikan besar. Semua
kehendaknya wajib dituruti tanpa kompromi, kalau tidak akan meneror dengan
berbagai macam cara. Maka pemerintah pun selalu dicekam ketakutan dan akhirnya cuma berperan menjadi boneka rakyat
alias pemerintah-pemerintahan. Sikap rakyat juga senantiasa seenak udelnya selaku warga negara. Liar dan tak
mau diatur. Bisanya cuma menuntut seperti anak manja. Terus mengkritik tapi
antikritik yang membangun sekalipun. Kesenggol
kumisnya sedikit saja langsung ngamuk dan lalu menggelar aksi demonstrasi
besar-besaran.
Makin hari negara
makin tidak tenteram. Tak pernah benar-benar maju dan tak pernah benar-benar
mundur. Cuma berkembang melulu.
Kemakmuran bersama sekadar rimba halusinasi. Hal ini sudah pasti bukan akibat
kesalahan pemerintah tapi semata-mata karena kesalahan rakyat belaka. Dengan
makin tak berdayanya pemerintah menghadapi tekanan maka rakyat pun makin
ugal-ugalan. Tanah milik pejabat diserobot dan dibagi-bagi seperti kue ulang
tahun. Masih untung kalau dipaksa dibeli dengan harga sangat rendah di luar
batas akal sehat. Alasannya selalu monoton yakni demi pembangunan bangsa harus
ada pihak yang dikorbankan. Dalam peribahasa Jawa, populer dengan isitilah Jer Basuki Mawa Bea. Sumber-sumber
kekayaan alam milik negara seperti hasil hutan dan minyak bumi serta kandungan
laut dikuras dengan gaya
perampok profesional. Lucunya, sesudah itu rakyat dengan berang menuduh
pemerintah yang menghabiskan segalanya dan menuntut pertangungjawaban atas apa
yang tidak pernah diperbuat. Dan dalam soal penyelewengan begini, pemerintah
diwajibkan bungkam seribu bahasa. Berani berkoar sedikit langsung dijitak
beramai-ramai, terutama melalui media massa
yang menjadi corong rakyat. Sebaliknya rakyat bebas ngomong semau suka. Makin
jorok dan keji fitnahnya, makin minta ditepuki dengan kedua tangan dan kaki.
Pendeknya, atas nama kedaulatan rakyat mereka membolehkan diri mengerjakan
semua bentuk kejahatan dan pemerintah selaku wakil rakyat hanya dibolehkan
menyetujuinya saja. Sedangkan sebagai teladan, pemerintah juga diharuskan
bersih seperti kertas kosong. Diharamkan korupsi, bermanipulasi dan melanggar
undang-undang tapi rakyat berhak bertindak sebaliknya.
Cacing pun kalau
diinjak akan berontak, apalagi manusia. Sesudah batas kesabarannya habis,
pemerintah Negara Republik Masuk Angin berupaya mengambil sikap tegas. Di
tempat rahasia, para anggota kabinet bersidang secara rahasia, dipimpin Kepala
Negara. Sidang memakan waktu seminggu. Penuh kecamuk perdebatan sengit. Menguras
tenaga dan membakar pikiran.
“Bagaimanapun kita
tak boleh membiarkan diri kita terinjak terus menerus sampai umur kita habis.
Kita musti melawan kebiadaban dengan
kebiadaban yang jauh lebih besar. Segala cara yang baik telah kita tempuh dan
tak ada hasilnya sama sekali. Tampaknya hanya ada satu bahasa yang mungkin
terpahami, yaitu bahasa mereka sendiri yang bernama penghancuran. Namun benar
sekali, penghancuran yang akan kita lakukan terhadap mereka haruslah kita
kerjakan dengan cara lembut sehingga mereka tak akan mengetahui bahwa mereka
sedang kita biadabi,” suara bariton Kepala Negara yang menutup persidangan
membatukan keheningan. Pidatonya lumayan tidak bodoh. Barangkali keprihatinan
yang tandas menyebabkannya rajin berpikir sehingga jaringan otaknya berubah
tidak bebal. Seluruh peserta berdebar-debar menunggu kalimat berikutnya.
“Keedanan rakyat memang harus kita
hentikan. Keliaran mereka sudah saatnya dijinakkan. Yang lebih penting lagi,
kesewenang-wenangan mereka kepada kita selama ini harus kita beri perhitungan
secara adil dan seimbang. Dan caranya tak lain adalah melaksanakan secepat-cepatnya
atas apa yang sudah kita sepakati bersama. Keputusan yang terambil sedemikian
bijaksana. Sejarah tidak akan pernah menyesalinya!!!” dengan sangat dramatik
Kepala Negara menggebrak meja keras-keras dengan dua tangan berbarengan.
Sedu-sedannya yang menyayat menggema lirih.
Sehari sesudah
peristiwa sidang kabinet mahapenting itu, kalangan pejabat tinggi pemerintah
dilibas kesibukan yang menggunung. Semuanya bergerak secara rahasia. Rakyat tak
boleh tahu. Bila rakyat sampai tahu, semua rencana bisa lumat. Nyawa sukar
dijamin keselamatannya. Oleh sebab itu semua yang terlibat dalam kerja diangkat
sumpah. Bila berkhianat diancam hukuman menyeramkan: dikitik-dikitik tanpa henti sampai mati kaku. Begitulah bagian dari
persiapan pemerintah untuk melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap
rakyatnya sendiri. Demi membebaskan diri dari penjajahan yang kejam dan brutal
dari bangsanya sendiri. Serta demi balas dendam yang mengerikan.
Dalam kediam-diaman
yang menggemuruh, suatu jenis virus mahadahsyat diproduksi melalui proses
pembuatan yang canggih, dalam jumlah raksasa. Virus itu berdaya guna tak
terbayangkan. Siapa yang terkena dan terjangkiti, langsung berubah total
pikiran dan kelakuannya. Yakni menjadi jinak, penurut, baik hati, tak punya
amarah atau kecurigaan atau kebencian dan segala hal jelek lainnya. Si korban
akan menjadi makhluk yang serba nerimo dan
senantiasa mensyukuri keadaannya apa pun keadaan itu. Macam perasaan yang
dikenal hanya bahagia dan sejenisnya. Kesedihan dan kesepian serta yang
sejurusan tak dapat tempat. Bila dirugikan akan tetap merasa beruntung. Digembosi menyangka dipompa. Digusur
mengira sebaliknya. Dibreidel malah
geli. Dijitak sampai benjol-benjol malahan mengucapkan beribu-ribu terima kasih
karena menganggap telah diberi hadiah ungkapan kasih sayang paling mesra.
Apalagi bila disate. Yang hebat, meski begitu gairah hidup makin menyala
berkobar-kobar. Daya kreativitas tambah meledak-ledak terutama di bidang
kesenian dan hiburan-hiburan yang dangkal. Dan yang terpenting, siapa yang
sudah terkena tak bakal bisa disembuhkan hingga ajal menjemput. Namun walau tak
dapat diobati, serangannya dapat dicegah atau ditangkal.
Demikianlah, virus
aneh itu sesudah berhasil diproduksi kemudian disebarkan dengan berbagai-bagai
cara. Misalnya, dipadukan dengan makanan dan minuman yang dikemas dalam bungkus
amat menawan serta makanan pokok seperti beras dan gandum yang diedarkan di
pasaran. Lalu lewat berbagai perusahaan air minum yang menyalurkan air ke
rumah-rumah penduduk. Dan puncaknya, disemprotkan ke udara dengan menggunakan
ribuan helikopter. Dalam waktu sama diproduksi pula obat penangkalnya, yang
digunakan untuk mengamankan kalangan sendiri. Bahkan untuk dikonsumsi sendiri
pula, diproduksi jenis obat tertentu, yang dapat membuat peminumnya berubah
menjadi sangat ganas dan jahat serta lupa terhadap asas ketuhanan. Maksudnya
agar ketika pemerintah melakukan pembalasan dendam terhadap rakyat, dapat
melunaskannya dengan cara sekejam-kejamnya tanpa rasa belas kasihan.
Dalam waktu relatif
singkat Negara Republik Masuk Angin bagai dijungkirbalikkan. Rakyat yang
tadinya serbabrutal berubah total menjadi serbasantun. Sebaliknya pemerintah
yang dulu serba-tertekan dan minderan berubah total menjadi serba-menekan,
congkak dan angkara murka. Aksi dimulai dengan tingkah para begundal pemerintah
memaksa supaya diberi potongan tarif 50% kalau nonton bioskop atau naik
angkutan umum yang diusahakan oleh rakyat. Bahkan terhadap pelacur jalanan pun
meminta hal yang sama. Karena rakyat pasif saja lantas penindasan makin hari
makin ditingkatkan mutunya. Di berbagai tempat dengan mudah dapat dijumpai
oknum-oknum pemerintah tanpa alasan meludahi dan mengencingi muka rakyatnya.
Namun rakyat yang bersangkutan tak mau membalas sedikit pun. Hanya
senyum-senyum seperti orang bego.
Gadis-gadis dan perjaka-perjaka juga diperkosa tak henti-henti di bawah
pengesahan Undang-Undang Negara. Namun yang dijadikan korban perkosaan malahan
berbahagia sekali dan cuma tertawa
kemalu-maluan dan meskipun begitu juga tidak berani membalas atau sekadar
memberikan respons kecil tapi hanya berani menerima anugerah itu apa adanya.
Terlebih bila pemerkosa berkenan di hatinya. Lalu ribuan rakyat ditangkapi
tanpa kesalahan apa pun dan sambil iseng-iseng saja satu persatu dianiaya,
ditembaki dan dibunuh dengan cara-cara supersadis. Mayatnya dibiarkan
tergeletak bertumpuk-tumpuk seperti dendeng di jalan-jalan raya. Anehnya para
korban sebelum mati tak berusaha membela diri sedikit pun. Mereka menurut saja
dan menghadapi semuanya dengan pikiran positif karena menduga sedang diproses
untuk ditransmigrasikan menuju ke surga. Makanya setiap deraan dengan spontan
disambut ungkapan puji syukur. Keluarga yang menyaksikan malahan bertepuk-tangan
cukup meriah dengan wajah berseri-seri. Ada
pula yang mengiringi kepergian arwah dengan parade pembacaan puisi disertai
petikan gitar.
“Waduh! Misi balas dendam kita gagal
total!!” teriak Kepala Negara yang suaranya berubah mirip burung gagak.
“Gagal bagaimana
maksud Bapak?” tanya Menteri Sekretaris Negara yang kemayu dan klemak-klemek tapi ternyata laki-laki
sejati.
“Tidak gagal
bagaimana kalau rakyat yang kita hajar sampai kita kehabisan tenaga dan ide,
tapi ternyata mereka tidak merasa sakit sedikit pun?! Mereka malah cengengas-cengenges dan bahagia terus
begitu. Jauh lebih berbahagia daripada kita. Bahkan setiap kita menyakiti malah
kita sendiri yang jadi sakit hati, lantaran apa yang kita harapkan tak pernah
terwujud!!!” sergap si burung gagak lagi.
“Ah! Yang penting
kita bisa senang dengan apa yang kita perbuat. Mau apalagi?”
“Tapi bagaimana
kita bisa senang kalau melihat manusia-manusia jelek yang maunya kita sakiti
malah reaksinya sebaliknya?! Ah, diancuk!!
Sepertinya kita malah memberikan kebahagiaan lebih besar pada mereka. Sekali
lagi, ahh diancuk!! Kita benar-benar
mirip perampok yang kerampokan oleh orang yang dirampok!!!!”
Situasi edan-edanan yang terus bergolak makin
lama membuat kegagahan Negara Republik Masuk Angin menjadi ambruk. Segala
sektor mengalami kelumpuhan total. Pemerintah yang ditelerkan oleh nafsu
durjana tanpa disadari telah menyiapkan kuburan besar bagi seluruh bangsanya di
masa depan.
Tanpa disangka,
musuh besar yang di masa lalu gelombang serangannya selalu dapat dihadang oleh
kekuatan rakyat tiba-tiba mengirimkan sinyal tanda bahaya. Musuh abadi ini tak
lain Negara Republik Keluar Angin yang merupakan tetangga satu-satunya.
Keberadaan negara ini juga sangat misterius, benar-benar ada tapi tak seorang
pun yang mengetahuinya. Tak heran bila tak ada yang menuliskannya dalam catatan
dan tak setitik pun gambarnya tercantum dalam peta dunia. Padahal, letaknya
sangat dekat dengan siapapun. Terutama dengan pembaca cerita fantastis ini di
manapun tinggalnya.
Sebenarnya, dua
negara bermarga “Angin” itu bermuara pada satu rumpun. Nenek moyangnya sama.
Ciri khas yang dimiliki adalah kesukaan berolahraga lari-lari atau dalam bahasa Jawanya disebut melayu. Jadi dulunya mereka bersatu padu. Perpecahan yang pantas disesalkan
terjadi akibat adanya perbedaan paham dalam bidang olahraga lari-lari tersebut. Di satu pihak ada
yang suka berlari-lari mundur ke depan dan pihak lain lagi suka berlari-lari
maju ke belakang. Masing-masing menuntut pihak lawan mengubah kebiasaan yang
dianggap salah dan sesat, dan meminta berjalan di rel yang benar yakni
melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh golongannya. Bentrokan dahsyat pun
terjadi dalam perang saudara yang berkecamuk selama beratus-ratus abad. Karena
tidak ada yang kalah dan menang akhirnya dengan penuh kesadaran mereka saling
memisahkan diri. Pihak yang suka berlari-lari maju ke belakang membentuk Negara
Republik Masuk Angin dan pihak yang suka berlari-lari mundur ke depan
mendirikan Negara Republik Keluar Angin.
Selaku musuh besar
yang memendam kebencian membara maka sudah sewajarnya kalau setiap saat
mengintip keadaan negara lawan. Nah, tragedi yang menimpa Negara Republik Masuk
Angin tak lepas pula dari perhatian Negara Republik Keluar Angin. Tanpa
basa-basi mereka segera melakukan serangan yang didahului dengan upacara
mengeluarkan angin sebesar-besarnya sampai membentuk sebuah gulungan topan yang
baunya bukan main hebatnya hingga malaikat-malaikat yang terkena pun langsung
pingsan di tempat. Tak lupa sebelumnya
mereka membawa pula obat-obat penangkal dari pengaruh virus aneh yang sedang
mewabah di negara lawan. Tentu saja serangan itu tak mendapat perlawanan.
Rakyat Negara Republik Masuk Angin malah menyambut dengan ramah tamah. Pengaruh
virus aneh membuat mereka tak lagi mengenal perasaan benci dan permusuhan. Maka
dengan cepat berbagai wilayah dapat dikuasai. Akhirnya tinggal wilayah ibu kota negara yang menjadi
pusat pemerintahan yang menunggu penaklukkannya.
“Waduh, bagaimana ini?! Musuh telah
menduduki seluruh wilayah. Tinggal kita di sini saja yang belum mendapat
giliran. Tapi mereka sudah mengirimkan surat
ancaman lima
ratus halaman folio dengan ketikan spasi rangkap. Intinya, kalau kita tidak mau
menyerah, mereka akan menghancurleburkan kita sampai menjadi debu. Sebaliknya,
kalau kita bersedia menyerah secara baik-baik, mereka dengan rendah hati akan
menghancurleburkan kita sampai menjadi udara. Kurang ajar sekali! Mereka juga
mengancam akan menyiksa kita dengan berbagai variasi yang unik dan indah serta
kaya dengan ide-ide baru. Di antaranya akan mencabuti kuku, gigi dan seluruh
bulu tubuh kita satu per satu, termasuk bulu mata, bulu hidung dan bulu paling
sunyi di celana,” seperti aktor kampiun rontok kumisnya sebelah Kepala Negara
memimpin sidang kabinet yang diselenggarakan secara darurat.
“Kita tak mungkin
melawan. Kita semua sudah terlalu tua, tubuh kita sudah bobrok begini.
Jangankan untuk berperang melawan musuh, sedangkan untuk berperang melawan diri
sendiri saja tidak mungkin menang. Tapi kita juga jangan menyerah. Itu pengecut
namanya. Dalam kehidupan maha-agung ini tak ada yang lebih jelek dari
pengecut!” kata Menhankam (Menteri Pertahanan Tanpa Keamanan) yang kalau
berperang senantiasa maju dengan gagah berani di garis pertempuran paling
belakang.
“Bagaimana kalau
kita bunuh diri secara massal saja? Dengan minum air keras, makan bom, menikam
perut dengan tusuk sate sebanyak-banyaknya, atau menggorok leher dengan silet.
Saya rasa inilah jalan di mana kita tidak melawan tapi juga tidak menyerah,”
usul Menristek (Menteri Riskan Teknologi) yang terkenal cerdas.
“Ah, itu cara
klise!” teriak Mendakgri (Menteri Dalang Keonaran Negeri).
“Kurang kreatif!”
teriak Mendikbud (Menteri Pendidikan Anti Kebudayaan).
“Tidak orisinal!”
teriak Menkokesra (Menteri Korupsi Kesejahteraan Rakyat).
“Terlalu
tradisional!” teriak Menparpastel (Menteri Pariwisata Pasti Gatel)
“Tidak kultural-edukatif!!”
umpat Menpen (Menteri Penjilat) sengit.
“Kalau begitu,
begini, kita bikin saja diri kita
terjangkiti virus sebagaimana yang telah kita gunakan memperdayai rakyat. Meski
diserang musuh habis-habisan, nanti kita tetap hanya berbahagia terus dan tak
merasakan penderitaan. Dicincang-cincang, digelitik-gelitik sampai kehabisan
air mata karena kebanyakan tertawa, atau diwajibkan menginap di dalam perut
kuda nil sekalipun, kita tak akan merasa kurang suatu apa. Dengan begitu musuh
yang maunya menyakiti kita malah akan menjadi sakit hati sendiri. Mereka kita
hina dengan cara ini, sebagaimana rakyat kita tanpa menyadari secara sunyi dan
brilian telah menghina kita. Perasaan terhina yang akan mereka alami nanti,
sama artinya dengan kekalahan dan kita yang tak merasa kurang suatu apa berarti
diam-diam tampil sebagai pemenang. Tanpa melawan adalah senjata paling ampuh
dalam melakukan perlawanan. Oke, bagaimana?!” usul Menristek lagi sembari
memelotot-melototkan matanya pertanda kesaktiannya terkeluarkan.
“Wah!! Itu ide yang
berselimut sihir. Tidak sia-sia jidat Anda makin hari makin bertambah lebar!!!”
sambut Kepala Negara sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan. Suara gagaknya
menggeledek kembali, “Semua harus menyetujui usul Menristek kita yang jenius
ini. Dulu kita kira bocah ini cuma tahu soal teknologi melulu dan buta total
soal politik sehingga kiprahnya yang sembunyi-sembunyi di bidang penuh borok
ini tidak pernah kita perhitungkan. Sekarang terbukti bahwa makhluk
mencemburukan ini ternyata menyimpan potensi yang menggetarkan dalam mengemas
strategi politik. Ayo, siapa yang tidak setuju silakan mengacungkan hidung
tinggi-tinggi, biar gampang saya gebuk sampai kelenger!!!!”
Di Negara Republik
Masuk Angin, kalau Kepala Negara sudah memutuskan sesuatu, meski ngawur, maka berdosa besar bila dibantah
bawahannya. Yang berani membantah langsung diberi stempel subversif di tengah
jidatnya dan berlaku untuk tujuh turunan. Dewan Penasihat Negara, Dewan
Pertimbangan Agung, Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
sekalipun tak mampu berkutik, sebab kedudukan mereka itu sebenarnya hanyalah
merupakan aksesoris tidak penting bagi Kepala Negara. Maka begitulah, keputusan
langsung dilaksanakan saat itu juga. Sebelumnya, semua obat penangkal dari
pengaruh virus aneh yang telah diproduksi dibakar di depan forum.
Tatkala musuh
datang, semua pejabat tinggi pemerintah yang sudah berubah menjadi baik hati
menyambutnya dengan pesta-pora gegap-gempita. Sepanjang jalan dipenuhi makanan
dan minuman serbalezat. Musik dan nyanyian berisi puji-pujian mengalun merdu
dimainkan oleh orang-orang gaek dengan
segenap perasaan. Wanita-wanita kempot yang sudah tak punya bokong mencoba
menari-nari binal dalam gaya
erotik. Tapi sunguh di luar dugaan, musuh tak terpengaruh, sebab kejadian
semacam ini rupanya sudah diperhitungkan sebelumnya. Dengan beringas mereka
langsung mengeluarkan senjata-senjata beratnya. Semua orang dihabisi. Begitu saja.
Tanpa belas kasihan. Seluruh penjuru kota
segera dilapisi keheningan berkilat-kilat. Lebih lagi ketika para agresor menghilang
kembali bagai siluman disapu angin. Mereka mengharamkan ibu kota yang sudah dipenuhi kabut kemaksiatan.
Rakyat jajahan yang
semuanya terkena virus aneh tak tersembuhkan, dengan mudah dapat diatur dan dicetak
jadi warga negara yang baik hanya melalui penataran sistem empat puluh lima jam. Pikiran mereka
yang selalu positif, baik budi, tak pernah membantah dan selalu menurut seperti
kerbau dicucuk hidungnya, dimanfaatkan penguasa semaksimal mungkin untuk menggemuruhkan
gerak roda pembangunan lewat jalan tol. Tak heran bila cita-cita adil dan
makmur dalam waktu singkat dapat dicapai. Dan sebagai tanda ketaklukan pihak terjajah
kepada pihak penjajahnya, maka rakyat diwajibkan melakukan tradisi sehari-hari
yang berasal dari Negara Republik Keluar Angin. Kewajiban itu adalah keluar
angin alias kentut setiap satu menit satu kali. Tentu saja hal ini benar-benar
merepotkan rakyat yang dengan sungguh-sungguh semuanya berusaha mematuhinya, sebab
mereka jelas-jelas tidak punya bakat sebagai tukang kentut. Malahan kalau
memaksakan diri memproduksi kentut tanpa motivasi dari dalam, seringkali bukan
angin durhaka yang keluar tapi kotoran laknat. Akibatnya, di setiap sudut dan
sisi sepanjang waktu tercium bau semerbak yang sangat dahsyat. Anehnya, bau
khas ini justru merupakan kebanggaan tersendiri bagi penguasa. Bahkan, melalui
kongres kebudayaan yang menelan biaya lebih besar daripada biaya untuk
membangun kembali tujuh puluh lima
kabupaten yang sedang terlanda bencana alam, bau khas tersebut dikukuhkan
sebagai lambang status semangat kepribadian nasional.
Cerita fantastis
ini sebenarnya bagus sekali kalau sudah berakhir sampai di sini. Sayang,
persoalan baru yang tidak mungkin tidak diceritakan mendadak muncul. Di hadapan
seluruh jajaran militernya yang terkenal suka main hantam dulu urusan
belakangan, penguasa tertinggi dengan histeris merobek-robek kebekuan malam.
Rembulan di langit pun terbelah.
“Benar-benar
bajingan!! Tak ada gunanya lagi bersabar!! Dengan berbagai macam akal sudah
kita ajarkan cara berolahraga yang baik. Yakni, berlari-lari mundur ke depan.
Tapi secara otomatis mereka selalu melakukannya terbalik, berlari-lari maju ke
belakang. Dalam segala hal mereka mau menuruti perintah kita. Hanya dalam satu
hal paling esensial ini mereka tidak sanggup mengikutinya. Mereka benar-benar
tak bisa diubah untuk menentang nalurinya sendiri yang sudah terbina selama
beratus-ratus abad. Oleh karena itu tidak ada lagi hal yang pantas diharapkan.
Besok berbarengan dengan matahari terbit, keluarkan senjata-senjata berat paling
mutakhir!! Ratakan mereka semua dengan tanah!!! Jangan ada satu pun yang
tersisa!!!!!”
***
Yogyakarta, 01-12 Desember 1994
No comments:
Post a Comment