PRESIDEN
Cerita panggung: Sri
Harjanto Sahid
“Apa? Presiden sakit? Apanya yang sakit? Sukar bernafas
dan sering muntah-muntah? Sudah berapa lama? Tiga hari diopname di rumah
sakit?! Kenapa aku baru diberi tahu sekarang?! Padahal ini kan sesuatu yang
penting sekali!! Sudahlah, aku akan langsung pergi sekarang juga untuk
menengok. Ya, terima kasih!” dengan sangat gugup Jenderal Harsono, seorang
panglima dari salah satu angkatan bersenjata, berbicara melalui telepon dengan
seseorang di seberang. Lalu tergesa-gesa masuk kembali ke ruang rapat yang
sejenak ditinggalkannya. Kepada para bawahannya yang mengikuti rapat yang belum
selesai dipimpinnya, langsung diinstrusikan bahwa rapat dibubarkan. Alasannya
tak perlu dijelaskan. Pokoknya rapat bubar. Titik.
“Pasti keracunan makanan! Seharusnya menu untuk Presiden
diawasi dan dikontrol lebih ketat supaya hal semacam ini tidak terjadi. Waduh,
ini berbahaya sekali! Bagaimana kalau sampai terjadi hal yang tidak pernah kita
bayangkan?! Celakalah nasib kita di masa datang!!” kecemasan yang lebih
meledak-ledak ditunjukkan oleh Prof. Dr. H. Winanto ketika menjawab kabar
melalui telepon yang disampaikan oleh Jenderal Harsono. Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang biasanya penyabar dan bijaksana ini langsung kalang
kabut. Wajahnya merah padam tak berketentuan ekspresinya. Nafasnya menjadi
memburu tak beraturan. Dengan sigap lantas diputarnya nomor telepon untuk
menghubungi Brigjen Martono yang menjabat sebagai gubernur di ibu kota negara
“Hallo!” suara Prof. Dr. H. Winanto terdengar keras dan
gemetar.
“Ya!” jawab Brigjen Martono agak kaget.
“Sudah dengar kabar?”
“Tentang apa?”
“Presiden sakit!”
“Hah?!”
“Sekarang diopname di rumah sakit. Sudah tiga hari.
Kasihan sekali. Seandainya penyakitnya dapat dipindahkan ke dalam diriku maka
dengan senang hati aku akan menanggungnya. Ayolah cepat ditengok!”
“Baik! Baik! Aku segera berengkat.”
Sementara itu di kantor pusat Universitas Gajah Gama,
Prof. Dr. Ir. Parmanto MSc sedang menikmati kopi hangat dan pisang goreng kesukaannya.
Sudah sepuluh buah pisang goreng dilahapnya tapi perutnya terasa belum kenyang.
Ketika telepon berdering dibiarkannya saja.Mulutnya terus saja sibuk menghayati
rasa pisang goreng. Namun setelah telepon berdering berkali-kali akhirnya
dengan malas diangkatnya gagang telepon sembari bersungut-sungut.
“Benarkah? Padahal belum seminggu lalu aku
mengunjunginya. Badannya sehat-sehat saja. Cerah dan riang gembira! Apa?
Kondisinya kritis?! Astaga!! Bencana macam apa ini? Aku tak bisa membayangkan
bila Presiden sampai meninggal dunia. Akan hancur pulalah impian indah yang
sudah kita rancang puluhan tahun. Semua bisa kacau balau! Sejarah akan rusak!!
Siapa lagi nanti yang akan mendukung dinasti kita dalam segala kejayaannya? Oh,
kenapa bukan cobaan yang lain saja yang ditimpakan kepada kita?! Rasanya aku
ingin mati lebih dahulu sebelum Presiden. Tak bisa kubayangkan beban kepedihan
yang akan kita tanggung nantinya,” demikian berondongan ungkapan Prof. Dr. Ir.
Parmanto MSc dengan emosi makin lama makin memuncak.Suara tangisnya akhirnya
tak dapat dibendung. Sementara Brigjen Martono yang meneleponnya berusaha
menenangkannya dari seberang.
“Sabarlah.Tenangkan dirimu. Masih banyak kemungkinan
baik yang bakal terjadi. Yang penting ikhtiar harus dimaksimalkan. Sampai ke
ujung dunia sekalipun usaha harus dilakukan. Sekarang lebih baik segera
ditengok di rumah sakit. Siapa tahu dokter-dokter ahli di sana kurang bisa
mengatasi masalah. Sehingga dengan cepat bisa kau beri tenaga bantuan yang
lebih potensial dari universitasmu. Aku juga akan berikhtiar dalam bentuk
apapun, termasuk mencari dukun-dukun sakti untuk dimintai tolong guna
menyembuhkan Presiden yang sangat kita hormati dan cintai. Baiklah, cepat atur
emosimu supaya penyakit jantungmu tidak kumat. Segeralah ke rumah sakit. Aku
akan menelepon dulu ke pondok pesantren di Pekalongan menghubungi KH
Abdurrahman Darmanto untuk memberitahukan hal ini. Biar dia memimpin para
santrinya untuk memanjatkan doa gaib memohonkan penyembuhan bagi Presiden.”
Sudah lebih dua minggu Jenderal Harsono, Prof. Dr. Ir.
Parmanto MSc, Brigjen Martono, Prof. Dr. H. Winanto dan KH Abdurrahman Darmanto
beserta para istrinya menunggui Presiden yang dirawat di rumah sakit. Mereka
tak pernah mau pulang ke rumah dan ke kantor sedetikpun untuk menunjukkan
kesetiaanya kepada Presiden. Segala persoalan pribadi seperti mandi,
makan-minum, tidur dan sebagainya dilakukan di rumah sakit belaka. Padahal
mereka hanya bisa bercemas-cemas dalam sport jantung yang penuh ketegangan
menunggu perkembangan di ruang tunggu. Sebab Presiden tak bisa ditengok sama
sekali akibat kekritisan keadaanya dan dirawat di kamar khusus yang hanya boleh
dimasuki oleh dokter-dokter ahli yang mengurusinya.Wajah kelima tokoh
masyarakat yang semuanya berusia senja itu tampak lelah dan pucat. Daya tahan
tubuhnya juga mengendor dimakan ketegangan emosi. Para relasi mereka yang
datang berduyun-duyun mengalir tanpa henti untuk ikut serta menunjukkan rasa
simpatinya kepada Presiden yang sakit, menyebabkan kelelahan tersendiri pula.
Waktu seolah terasa merambat pelan-pelan sembari
menebarkan teror psikologis yang kejam. Penantian terasa begitu menekan dan
mengharu biru. Tapi akhirnya seluruh penantian toh harus selesai. Dokter ahli
yang merawat Presiden memberitahukan bahwa Presiden sudah boleh ditengok karena
kondisinya suadah memungkinkan. Dengan sangat bergairah kelima tokoh masyarakat
itu menghambur menuju kamar tempat Presiden dirawat. Mereka saling berlomba
dalam ketidaksabaran untuk melunaskan perasaan rindunya.
Presiden tampak terbaring dengan posisi cukup rileks.
Tubuhnya sangat kurus, wajahnya pucat-pias dan pelupuk matanya mencekung dalam.
Tidurnya lelap dengan tarikan nafas sangat lembut. Boks tempat tidur Presiden,
yang masih bayi berusia kurang lebih lima bulan, tertata rapi dan bersih
sekali. Cuma bau ompolnya yang masih basah sedikit merebak. Ya, Presiden memang
hanya ditempatkan di dalam boks kecil sebab dia memang hanya seorang bayi
belaka. Bayi manis, mungil tapi berwibawa ini memang bernama Presiden.
Sedang Jenderal Harsono, Prof. Dr. Ir. Parmanto MSc,
Brigjen Martono, Prof. Dr. H. Winanto dan KH Abdurrahman Darmanto adalah
saudara satu kandung yang merupakan keturunan dari trah Raden Mas Haryo
Pinandito. Sebenarnya masih ada satu lagi saudara mereka, yaitu Prof. Dr.
Juminten SH yang merupakan ibunya
Presiden. Tapi saudara wanita satu-satunya ini meninggal dunia ketika melahirkan
anak satu-satunya yaitu Si Presiden. Tubuhnya tidak kuat untuk melahirkan
karena melahirkan anak pertama dalam usia cukup senja yaitu 52 tahun, disamping
disebabkan pula oleh gangguan fisik lainnya. Suaminya, yaitu ayah Si Presiden,
menyusul wafat seminggu kemudian karena duka citanya yang dalam akibat
ditinggal istri tercinta.
Kelima tokoh masyarakat itu sedemikian mensyukuri
kelahiran keponakan satu-satunya. Sebab mereka berlima ternyata mandul sehingga
gagal melahirkan keturunan. Kenyataan pahit ini menyebabkan mereka seumur-umur
merasa ditimpuki perasaan bersalah terhadap leluhurnya, sebab gagal melanjutkan
kelestarian dinasti keluarga. Oleh karena itu kelahiran keponakan satu-satunya
yang di luar dugaan ini dianggap wahyu yang luar biasa, yang sengaja diutus
oleh alam semesta raya, untuk meneruskan kejayaan trah Raden Mas Haryo
Pinandito. Dari proses kejadiannya saja sungguh ajaib. Bagaimana mungkin
seorang wanita berusia 52 tahun tiba-tiba mengalami kehamilan pertama kali,
lalu melahirkan? Namun begitulah kenyataannya, justru ketika mereka sudah
berada di ambang pintu ketiadaan harapan.
Romantisme yang berlebihan dan berbagai harapan indah
yang ditumpukan kepada keponakan satu-satunya mendorong mereka untuk memberinya
nama yang penuh makna: Presiden. Mereka memang benar-benar mengharap bahwa
suatu saat nanti Si Presiden yang kini masih bayi akan benar-benar bisa menjadi
presiden alias kepala negara. Mereka sangat yakin bahwa harapannya itu bukanlah
sekadar impian kosong, tapi merupakn sesuatu yang akan dapat diwujudkan dalam
realita, sebab mereka meneguhi kepercayaan mistik bahwa mereka adalah keturunan
orang-orang hebat yang dilahirkan khusus untuk menjadi orang besar bagi
zamannya.
Apa tidak hebat coba, bila suatu saat nanti ada kepala
negara yang namanya Presiden? Dunia pernah mencatat dengan tinta emas adanya
kepala negara yang dipanggil sebagai Presiden Anwar Sadat, Presiden John. F.
Kennedy, Presiden Boris Yeltsyn, Presiden Saddam Hussein, Presiden Soekarno,
Presiden Barack Obama dan lainnya. Dan segala macam presiden itu pastilah akan
sangat kalah gebyarnya dengan kepala negara yang dipanggil dengan sebutan
Presiden Presiden alias Presiden Kuadrat!!!
Yogya, 20 Januari 1994
No comments:
Post a Comment