PESONA
KEABADIAN
Monodrama: Sri Harjanto Sahid
DI PANGGUNG TERPAJANG BEBERAPA LUKISAN POTRET WAJAH YANG SEMUANYA TAMPAK BELUM SELESAI. KARAKTERNYA TIDAK JELAS TETAPI MEMANCARKAN PESONA KEABADIAN YANG PENUH MISTERI. TIAP LUKISAN TERTARUH DI ATAS KUDA-KUDA. TERTATA DALAM KOMPOSISI UNIK, GANJIL DAN HARMONIS. ADA JUGA MEJA BUNDAR DENGAN DUA KURSI.
Telepon di kamar tidurku berdering
keras. Aku tersentak bangun. Kulihat jam dinding. Pukul 03.00. Belum subuh.
Sialan! Benar-benar tak tahu adat si penelepon itu. Aku hampir meradang. Namun
kuangkat juga gagang telepon.
“Maaf, aku hanya ingin memberi
kabar. Mas Jatmiko meninggal setengah jam lalu. Terkena serangan jantung
barangkali. Sebelum mengembuskan napas terakhir dia menyebut namamu
berulangkali. Ini aku, Menik, istrinya,” terdengar suara sedu sedan di seberang
sana.
Astaga! Sahabatku semasa remaja,
setelah dua puluh lima tahun tak bertemu, tiba-tiba sebulan lalu bertamu ke
rumahku. Minta kulukis wajahnya. Kukerjakan lukisanku dengan rasa haru yang
mendalam. Seminggu lalu lukisanku yang bagai punya nyawa selesai. Langsung
kukirim lewat paket ke rumahnya di Sragen. Ah, kini Jatmiko tiada.
Aku tak bisa tidur lagi sejak gagang
telepon kutaruh lagi di tempatnya. Aku merenung sedih di teras sambil minum
kopi. Tidak mandi sampai siang. Lalu istriku menghampiriku dengan wajah sendu.
Dia bilang baru menerima telepon. Dapat kabar duka lagi. Rukmini mantan pacarku
sewaktu kuliah di ISI mati menggantung diri.
Alangkah cepatnya hidup berlalu.
Umur manusia tak bisa ditebak kapan berakhirnya. Maut bisa setiap saat menghampiri.
Setiap kematian menggenggam misterinya sendiri. Demikian pula yang terjadi
dengan guru spiritualku Pak Ahmad Jamil. Malamnya, menjelang tidur salah
seorang saudara seperguruanku datang mengetuk pintu rumahku. Memberitahu bahwa
Pak Ahmad Jamil wafat. Hanya oleh sebab tersedak saat makan ketela rebus sambil
minum wedang ronde.
Sehari tiga kematian. Semua orang
terdekatku. Untung aku sempat mengabadikan wajah ketiganya di dalam kanvasku.
Kulukis wajah mereka dengan penghayatan sempurna. Wajah mereka di kanvas
seperti punya roh. Hidup, bernapas, berdaging dan berdarah. Tatapan matanya
menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.
“Jangan-jangan mereka cepat mati
gara-gara dilukis Ayah. Bukankah ketiganya Ayah lukis dalam satu bulan terakhir
ini? Kok ketiganya bisa meninggal dunia dalam sehari? Ini sangat aneh. Pasti
bukan hal yang kebetulan!!!” kata anak pertamaku, Gogon, yang suka membaca
cerita mistik dan horor.
“Ah, ngawur kamu! Jangan ngomong
sembarangan. Nanti ayahmu bisa ketakutan. Bisa terserang trauma berat. Jangan
sembrono kalau ngebacot!!!” hardik istriku keras dan kasar. Gogon menjulurkan
lidah sembari cengengesan.
Aku terpana oleh gurauan Gogon.
Berhari-hari pikiranku terganggu oleh ucapan konyol itu. Benarkah itu? Mereka
segera mati begitu selesai kulukis wajahnya? Spesialisasiku memang melukis
potret wajah. Selama puluhan tahun menjalani profesiku entah sudah berapa ratus
orang kulukis wajahnya. Alangkah mengerikannya kalau mereka semuanya mati
begitu lukisannya selesai kukerjakan.
Iseng-iseng kucari informasi tentang
orang-orang yang telah kulukis wajahnya pada tahun ini. Ada sebelas nama dalam
catatanku. Alamat dan nomor teleponnya masih kusimpan. Kuhubungi satu per satu.
Dan... astaga, mereka semuanya telah meninggal dunia pada tahun ini juga.
Sebabnya bermacam-macam. Ada yang tertembak polisi akibat salah sasaran. Ada
yang tenggelam di sungai. Ada yang kebentur pintu kepalanya saat mabuk. Ada
yang terpeleset jatuh di kamar mandi. Bahkan ada yang modar di atas paha
seorang pelacur di kompleks lokalisasi.
Aku hampir linglung digodam
kenyataan aneh itu. Dalam kebingungan yang penuh debaran kulacak juga
keberadaan orang-orang yang pernah minta kulukis wajahnya dalam setahun sebelum
tahun ini. Ternyata dari sembilan yang berhasil kulacak ada tujuh yang sudah
almarhum. Dua orang masih segar bugar. Setahun di belakangnya lagi ada tujuh
belas orang yang kuketahui keberadaannya dan semuanya sudah tenang di dalam
tanah pekuburan.
Aku dihajar kefrustrasian dahsyat.
Setiap hari jidatku seperti dipukul palu godam tanda tanya dan misteri yang
tidak terjawab dan sukar dirumuskan. Kutinggalkan kanvas, palet, kuas dan cat.
Tiap kali aku melihat alat-alat kerjaku itu aku seperti melihat
senjata-senjata untuk membunuh orang!
Aku jijik dan ngeri bukan main. Akhirnya tenggelam dalam minuman keras. Mabuk
dari waktu ke waktu dan dari hari ke bulan. Empat tahun lebih aku berhenti
total melukis. Ekonomi keluargaku hancur. Istriku meradang setiap hari. Matanya
mencorong setiap menatap wajahku. Anak-anakku macet sekolahnya.
“Sudah cukup kegilaanmu itu Mas.
Jangan kau teruskan lagi. Aku sudah tak tahan. Kesabaranku habis. Minggu ini
aku akan minta cerai kalau keedananmu masih kaupelihara. Keyakinanmu itu sesat.
Dosa besar! Kematian orang-orang yang kaulukis wajahnya itu tak ada hubungannya
dengan dirimu. Itu sudah takdir mereka. Hanya Tuhan yang bisa mengambil nyawa
seseorang. Bukan kau! Kau pasti masuk neraka kalau merasa bisa mencabut nyawa
orang lain dengan torehan kuasmu. Ayo, insyaflah Mas. Kembalilah ke ajaran agama
kita yang indah!” suatu sore istriku menceramahiku sambil berkacak pinggang. Di
puncak kemarahannya tanpa sadar istriku terkentut-kentut. Aku jadi tertawa
cekakakan. Anak-anakku ikutan tertawa.
Dengan sabar keluargaku membimbingku
kembali ke jalan agama yang menakjubkan. Mengajakku rutin bersembahyang
bersama. Mencari cahaya terang di rumah-rumah ibadah. Menjenguk Tuhan di ruang
kalbu diri sendiri, bersujud dan memohon ampun. Maka gairah hidupku pun kembali
menyala. Kegelisahan kreativitasku sebagai pelukis mulai membunga.
“Aku ingin kaulukis wajahku Mas,”
pinta istriku suatu senja.
“Gila kamu!!!” teriakku kaget.
“Kenapa? Kau takut aku akan mati
begitu selesai kaulukis? Tinggalkan takhayulmu yang sesat itu. Kau sudah jadi
manusia baru sekarang. Masa lalu itu sudah terhapus. Ayo kita buktikan.” dengan
ketenangan luar biasa istriku membujukku. Dalih-dalih yang dikemukakannya
menjernihkan akal sehatku. Aku pun merasa tertantang. Siap menantang diriku
sendiri. Meneguhkan imanku.
Dengan gairah sunyi menggeletar
kulukis wajah istriku. Dalam sehari kadang-kadang istriku duduk tekun
berjam-jam menjadi modelku langsung. Anak-anakku juga mendukung semangatku
untuk aktif melukis kembali. Mereka asyik menungguiku menggambar wajah ibunya.
Membuatkan kopi. Menyediakan makanan kecil buat camilan. Dan berkelakar menabur
kegembiraan. Sementara imajinasiku menggelegak. Intuisiku menghangat. Hati
berdebar-debar aneh. Sesekali rasa takut yang misterius menyergapku diam-diam.
Lukisan selesai dalam tiga belas
hari. Di kanvas tampak wajah istriku tersenyum menebarkan cahaya maha cahaya.
Seperti punya nyawa, bernapas, berdaging dan berdarah. Matanya mencorong penuh
wibawa. Dia menjelma menjadi sebuah pesona keabadian. Disaksikan istri dan
anak-anakku kububuhkan tanda tanganku pada kanvas di bagian pojok kanan bawah.
Sedetik tanda tanganku usai kubuat mendadak istriku melenguh. Seperti
kesakitan, mendekap dada. Lalu jatuh bersimpuh.
“Kenapa kau?” aku tersentak kaget.
“Aduh, tolong baringkan aku di
tempat tidur,” suara istriku terdengar kepayahan.
Dengan sangat cemas kubopong istriku
ke kamar. Kubaringkan tubuhnya. Napasnya tampak tersengal-sengal. Wajahnya
pucat pasi. Kuraba-raba badannya, seperti tak bertenaga. Lemas dan agak dingin.
Aku mulai gemetar ketakutan. Mataku membasah. Anak-anakku ikut panik. Mereka
berusaha memijit-mijit kaki dan tangan ibunya. Mereka menangis sambil
memanggil-manggil ibunya. Kuminumkan air putih. Tak ditelannya. Tumpah
berlelehan di seputar leher. Tiba-tiba tubuhnya mengejang dan menggigil. Lalu
tersentak hebat dan mendadak diam kaku. Napasnya seperti berhenti.
“Ya Tuhan! Aku sudah merasa akan
terjadi hal seperti ini. Akhirnya kubunuh juga istriku!!!” aku melenguh dengan
tubuh gemetar. Aku menangis mengguguk dan menggigil.
Beberapa menit berselang, bagai ada
keajaiban, tubuh istriku melompat bangun. Sudah tentu aku dan anak-anakku
terpukau keheranan. Lantas dia ketawa-ketiwi cekikikan. Tangan dan kakinya
menari-nari menggoda. Matanya bergerak nakal memancarkan kekurangajaran yang
menyebalkan.
“Hi hi hi... aku cuma main-main kok.
Dasar goblok semua. Gampang banget kutipu,” ketawa-ketiwi istriku kian
menjadi-jadi. Air matanya sampai berlelehan saking bahagianya sukses menipuku.
Koarnya lagi, “Aku berhasil dengan gemilang menipumu. Itu karena takhayulmu
masih kaupelihara. Kau belum ikhlas membuangnya Mas!!!”
Meski merasa lega tapi aku hampir
naik pitam.
“Lawakanmu benar-benar tidak
bermutu. Norak! Kampungan! Tidak intelek!! Aku tadi hampir semaput karena
sedih, tahu?!! Dasar idiot!!!” teriakku emosional.
“Walaaah, gitu aja marah. Kayak
nggak kenal siapa aku aja. Sejak dulu aku kan paling hobi melawak dengan mutu
rendah!!! Hi hi...” jawab istriku tetap cengengesan. Pantatnya megal-megol
kayak bebek lagi bertelur.
Tiba-tiba telepon genggam di saku celanaku
berbunyi. Ada panggilan rupanya. Aku keluar kamar karena di dalam kamar istri
dan anak-anakku masih ribut sendiri. Kuangkat telepon genggamku dan kupencet
tombol jawabnya. Kudengar suara si penelepon di sana sangat emosional.
Tergesa-gesa dan tak memberi kesempatan padaku untuk menyela. Aku terpana
mendengar semua perkataannya. Bulu kudukku merinding. Badai kegelapan
menghantam benakku. Sempoyongan aku masuk ke dalam kamar. Istri dan anak-anakku
masih tertawa-tawa.
“Baru saja ayahmu memberi kabar.
Katanya, saudara kembarmu tewas tergilas kereta api ekspress di Cirebon.
Tubuhnya hancur berceceran tak dapat dikumpulkan lagi,” aku meratap lalu jatuh
tak ingat apa-apa.
Yogya,
29 Juli 2013
No comments:
Post a Comment