SANG
KOLEKTOR
Monodrama: Sri Harjanto Sahid
PANGGUNG KOSONG MELOMPONG. TAK ADA BARANG APA PUN SEBAGAI SET DEKORASI. HANYA ADA PERMAINAN CAHAYA LAMPU YANG BERPERAN MEMBANGUN SUASANA DAN SITUASI DRAMATIK. MEMPERTAJAM DAN MENGURAI PENCERITAAN. DI DALAM KELENGANGAN PENUH MAKNA ITULAH SANG TOKOH MENYAMPAIKAN DAN MENGEKSPRESIKAN PENGALAMANNYA.
Gonggongan anjing herder
menyambutku. Keras sekali suaranya. Lalu anjing gemuk keparat itu menerjang ke
arahku. Aku gemetaran. Untung aku belum masuk ke dalam pagar. Si keparat itu
hanya bisa melonjak-lonjakkan kakinya ke pagar besi pembatas. Meski begitu
jantungku sudah berdegup kencang. Siulan beruntun membuatnya lari balik ke
dalam rumah. Seorang lelaki tua perlente berkacamata tebal merantainya dan
mengikatnya ke sebuah tiang. Dengan muka masam berjalan ke pintu pagar,
membukanya, memberi isyarat padaku agar masuk ke rumah.
“Kau terlambat setengah jam. Aku
sudah hampir minggat mencari angin segar di luar rumah,” katanya ketus.
“Maaf, jalanan macet Pak. Bus yang
saya tumpangi jadi tersendat-sendat,” jawabku agak malu diri.
“Kalau tahu jalanan sering macet
mestinya kau berangkat lebih awal. Aku ini sibuk sekali. Waktuku sudah
terjadwal sangat ketat. Oke, kusediakan waktu lima menit untukmu,” suaranya
lebih tinggi dan lebih ketus lagi.
Kuletakkan tiga lukisan kanvas cukup
besar dan kusandarkan di dinding. Lebih 65 kilometer tiga lukisan terbaikku
kubawa naik bus umum dari rumahku. Istriku yang tengah sakit dan empat anakku
kutinggalkan kelaparan di rumah. Bekal uangku hanya cukup untuk sekali jalan menuju
rumah kolektor gaek yang terkenal brengsek ini. Sekarang kuhadapi dia dengan
hati berdebar-debar. Kugelar satu per satu lukisanku agar bisa nyaman dilihat.
Sesaat mata kolektor itu mencorong.
“Sialan! Kenapa lukisan-lukisan
jelek kayak gini kau tunjukkan padaku? Kaukira aku ini dungu apa? Nggak ngerti
masalah artistik? Lukisanmu ini digantung di pintu WC saja tidak layak. Berani
benar kau menyodorkannya padaku. Sudah idenya tidak karuan ditambah teknik
penggarapannya kedodoran. Katanya kau pernah dapat 4 kali penghargaan kompetisi
tingkat nasional? Jangan-jangan jurinya buta semua tuh?!” komentarnya sarkastis
lalu ketawa cekakakan.
Wajahku merah padam. Urat-urat
leherku tegang. Rasanya ingin kutampar mulut lelaki tua itu. Seandainya cuma
bergurau kiranya tak pantas dia mengucapkan kalimat seperti itu. Tapi aku harus
bisa menahan diri. Istriku dan anak-anakku kelaparan di rumah. Jadi baiknya
kubiarkan saja diriku dilecehkan dan dihina. Aku membutuhkan uangnya untuk
kurogoh.
Lagipula teman-temanku sudah
memberitahu tentang karakter kolektor besar ini. Dia eksentrik dan agak sinting
dalam tanda kutip. Arogan dan congkak. Suka menjatuhkan mental sebelum menerkam
dan mencincang-cincang korbannya. Sekaligus dia familier dan humoris. Terkadang
dermawan juga. Kepribadiannya merupakan gabungan antara setan dan malaikat.
Cuma setannya lebih sering menonjol. Jadi kesabaran tanpa batas dan kepintaran
bertarik ulur dalam negosiasi merupakan senjata ampuh untuk menghadapi manusia
satu ini.
“Berapa mau kaujual?” katanya.
“Tidak mahal Pak. Tiga puluh juta
rupiah saja,” jawabku.
“Tiga puluh juta untuk ketiganya?”
“Bukan Pak. Untuk tiap karya.”
“Gila kau! Karya kacangan begini
kaukasih harga begitu tinggi. Sungguh tak masuk akal. Sekarang pasar seni rupa
sedang vakum. Ngerti bisnis tidak sih kau ini? Harga nasi goreng paling enak di
restoran mewah saja sepiring cuma Rp 25.000,00. Uang Rp 30.000.000,00 itu bisa
dapat 1200 piring nasi goreng paling enak di kota ini. Bisa untuk pesta pora
orang satu RW. Nah, kalau aku beli tiga lukisanmu berarti Rp 90.000.000,00
dapat 3600 piring nasi goreng, bisa buat mengenyangkan orang sekelurahan. Dan
kalau kumakan sendirian berapa tahun baru habis? Atau kalau kubelikan buku
tulis dapat berapa truk? Dan kalau buku tulis itu kusumbangkan ke sekolah anak
yatim piatu berapa banyak pahala dari Tuhan yang bisa kuperoleh? Pahala itu
pasti bisa jadi tiket untuk masuk ke surga,” cerocosnya ugal-ugalan sambil
terus cekakakan. Mendadak ketawanya berhenti. Matanya menatap mataku. Tajam
menusuk. Hatiku tercekat. Serangnya lagi, “Seandainya aku berak keluar uang
pasti kubeli lukisanmu kontan tanpa kutawar sepeser pun. Sayangnya, aku tak
punya keajaiban seperti itu!”
Kesabaranku hampir menguap. Kutarik
dan kuembuskan napas panjang tiga kali untuk meredakan ketegangan jiwaku. Aku
menunduk menatap lantai. Kuketuk-ketukkan jari tanganku ke kursi. Kulayangkan
pandanganku ke luar pintu. Anjing herder yang terantai di tiang menatap mataku.
Meringis dan menggeram.
“Boleh kutawar?”
“Silakan Pak.”
“Aku mau kalau satu lukisan satu
juta rupiah. Kalau disuruh beli ketiganya ya dua setengah juta rupiah saja.
Bagaimana? Boleh? Daripada pulang dengan tangan kosong kan lebih baik bawa
oleh-oleh buat keluarga di rumah.”
Aku tersenyum getir.
“Uang dua setengah juta itu bisa
buat beli beras dua setengah kuintal. Bisa buat makan sekeluarga lebih setengah
tahun. Berapa sih biaya untuk beli bahan tiga lukisanmu itu? Kan tidak seberapa
banyak. Dan cuma berapa jam waktu yang kau butuhkan untuk membuatnya?”
Hatiku tersayat. Perih rasanya.
“Tiga lukisan saya ini adalah karya
pemenang kompetisi seni lukis nasional, Pak. Tiga tahun berturut-turut saya
memenanginya. Sebenarnya saya ingin menyimpannya sebagai koleksi pribadi. Untuk
memotivasi anak-anak saya di kelak hari. Tapi sekarang saya lagi butuh uang.
Untuk biaya operasi tumor otak istri saya. Juga untuk melunasi uang sekolah
anak-anak saya. Terpaksa saya jual. Saya sengaja memilih Bapak untuk
mengoleksinya supaya karya bersejarah ini tidak jatuh ke tangan yang salah,” kataku
mencoba bersabar meski terbata-bata. Lanjutku lagi, “Sejujurnya saya katakan,
dulu pernah tiap karya mau dibeli orang Rp 50.000.000,00. Tapi tidak saya
berikan.”
“Kalau begitu, kenapa sekarang tidak
kau tawarkan saja kepada orang yang dulu pernah mau membelinya itu?” tanyanya
sinis.
“Sudah saya coba. Dia gantian
menolak untuk beli. Dia masih sakit hati karena dulu saya tolak. Bahkan menawar
pun tak mau,” jawabku malu.
Sang kolektor besar jadi tertawa
terbahak-bahak sembari memegangi perutnya. Terbungkuk-bungkuk sampai air
matanya keluar. Ingusnya juga keluar. Lalu menudingkan telunjuknya ke wajahku.
“Itulah gobloknya pelukis. Sok jual
mahal. Kalau kelaparan baru merengek-rengek ke kolektor. Aku juga heran,
sekarang ini hidup makin berat. Tapi para perupa malahan lembek daya juangnya dalam
mengolah mutu. Karya bagus susah dicari. Jelek-jelek semuanya. Aku sudah
kehilangan kepercayaan pada perupa zaman sekarang. Terutama perupa mudanya.
Semua karya mereka sudah kuturunkan dari dinding museum pribadiku. Kutumpuk
saja di gudang kayak barang rongsokan. Yang kupajang kini cuma karya para
maestro tempo doeloe. Merekalah seniman sejati. Berkarya bukan demi uang. Tapi
untuk keagungan hati nuraninya sendiri dan untuk kebesaran bangsanya. Merekalah
putra sejati dari Dewa Kesenian dan Dewi Keindahan!” ekspresi wajahnya
berubah-ubah. Emosinya menyala-nyala. Matanya mencorong dan lidahnya menjadi
belati. Kemudian ditariknya tanganku dan diseret sambil nyerocos, “Ayo,
kaulihat karya mereka di dalam museumku. Bulu kudukmu pasti akan tegak berdiri
semuanya. Bahkan bulu-bulu jembutmu juga. Mungkin kau akan terberak-berak menyaksikan kehebatan mereka!”
Dari ruang tamu aku dibawa ke bagian
belakang rumah menuju ruang museum pribadinya yang megah dan luas. Aku langsung
terpana menyaksikan lukisan-lukisan besar yang terpajang. Aku benar-benar
terpukau tapi tidak sampai terberak-berak. Bulu-bulu jembutku juga tidak ada yang mendadak berdiri tegak. Jantungku berdetak cepat sewaktu
mataku tertumbuk pada puluhan lukisan Affandi, Hendra Gunawan, S. Sudjojono dan
Kartono Yudhokusumo. Aku meringis pedih. Mataku pedas.
“Bapak yakin karya-karya itu asli?”
“Maksudmu, kau menuduh koleksiku
palsu?”
“Maaf, saya cuma bertanya baik-baik
Pak. Jangan marah.”
“Sialan kau! Kampret!!! Jangan main
fitnah dan berpikir jorok. Semua koleksiku pasti asli. Ada sertifikatnya.
Semuanya kubeli dari sumber terpercaya. Banyak yang kudapat dari Balai Lelang
di dalam negeri maupun luar negeri. Tercantum di dalam katalog. Beberapa di
antaranya dijadikan cover katalog. Mau tahu harganya? Satu lukisan di sini
pasti bisa buat membeli kepalamu. Bahkan pasti bisa buat membayar rumahmu
seisinya termasuk kepala istrimu dan anak-anakmu!!” lidah belatinya merobek
jantung harga diriku.
Kolektor gaek itu kian meradang.
Kontrol kesadarannya menipis. Daya intelektualitasnya ambyar. Budi pekertinya
luka parah. Setan di dalam dirinya mendominasi mengalahkan malaikat yang
menjaga sukmanya. Aku pun gemetar menahan deritaku.
“Jangan menghina keluarga saya,
Pak,” kataku.
“Kau yang mulai menghinaku.
Kulaporkan ke polisi kalau fitnah kejimu itu kau teruskan ke mana-mana. Kau
telah mencemarkan kehormatanku,” semprotnya sengak sekali.
“Saya tadi hanya bertanya. Biasa
saja.”
“Kalimatmu bertanya. Nadamu
menuduh!”
“Baiklah kalau begitu. Saya akan
berterus terang saja. Usahakan Bapak jangan pingsan. Semua lukisan Hendra Gunawan
yang terpajang di sini ini adalah buatan saya. Lukisan Affandi semuanya buatan
teman saya Edhi Badrun. Sebagian besar karya S. Sudjojono yang Bapak
sembah-sembah di sini ini sesungguhnya buatan Joko Gemblung, teman saja juga.
Dulu kami tinggal di satu rumah kontrakan dan memproduksinya beramai-ramai
karena ada pesanan partai besar. Sedang yang Bapak yakini sebagai karya Kartono
Yudhokusumo terus terang saya tidak tahu asal-usulnya. Tapi mata telanjang saya
bisa melihat catnya masih baru.”
“Jangan ngebacot tanpa dasar kau!”
“Saya punya dasar dan bukti. Silakan
lukisan bertanda tangan Hendra Gunawan itu diteliti. Di balik kanvas pojok
kanan atas, jarak dari atas 15 cm dan dari samping kanannya 10 cm ada sebuah
bercak merah. Sedang di lipatan kanvas sebelah dalam yang menempel pada spanram
di setiap sudut ada inisial nama saya SHS,” dengusku penuh nafsu untuk
menghancurkan. Lanjutku, “Pada yang bertanda tangan Affandi juga ada tanda
seperti itu, inisialnya EB dengan warna hijau. Dan yang S. Sudjojono sama saja,
inisialnya JG dengan warna oker. Ayo, silakan diperiksa Pak!”
Bagai orang sinting Sang Kolektor
menurunkan sebuah lukisan dan menelitinya. Dia terbelalak seolah tak percaya
pada penglihatannya. Satu per satu lukisan ditelitinya. Akhirnya dia duduk
lemas menyelonjorkan kakinya di lantai. Menangis tersedu seperti anak kecil.
Aku berdiri di hadapannya dengan sorot mata kejam.
“Kau akan kulaporkan polisi sebagai
penjahat kriminal tukang memalsu lukisan. Kau perusak peradaban bangsa. Kau
pasti dihukum berat!”
“Saya dan dua teman saya tidak
memalsu. Lukisan-lukisan itu objeknya karangan kami sendiri. Cuma gaya, corak,
teknik dan karakternya menggunakan ciri khasnya Hendra Gunawan, S. Sudjojono
dan Affandi. Tanda tangan yang tercantum di situ bukan kami yang membuatnya.
Entah siapa yang membubuhkan. Kami dulu membuatnya cuma sebagai karya
souveniran. Keuntungan finansial kami tidak seberapa. Hanya cukup buat makan
seminggu untuk setiap karya. Sudahlah, saya capek. Sudah lebih tiga jam saya di
sini. Saya pamit pulang. Terima kasih,” kuakhiri ucapanku dengan senyum
kemenangan.
Kuambil tiga lukisanku. Kutenteng
dengan santai. Aku berjalan melewati anjing herder keparat yang terantai.
Kupelototi matanya, kumaki, dan meludah ke tanah. Kubuka pintu pagar sembari
menahan lapar dan haus. Aku tak tahu mau ke mana. Dompetku kosong blong. Anjing
herder gemuk itu menggonggong ganas. Suaranya keras seperti setan. Keparat!!!
Yogya,
5 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment