REUNI
Cerpen
Sri Harjanto Sahid
Tiga penjahat bertemu. Sudah
setengah abad tak bersua. Entah bagaimana asal muasalnya, mendadak saling
kontak, lalu merencanakan reuni. Kota Yogya dipilih. Di kota inilah dahulu
kiprah bersama dilakukan. Mempraktekkan potensi kejahatan yang dimiliki secara
maksimal.
Penjahat pertama bernama Zul. Nama
lengkapnya tak usah disebut. Rahasia. Tak boleh dibongkar. Masa lalunya
setengah abad yang lalu: ahli bela diri. Guru tenaga dalam. Tidak mungkin
dibilang tampan. Tapi pintar menekuk lutut lawan jenisnya. Terutama yang
berusia balita. Pembawaannya menggelegak. Rajin mengkonsumsi akar pasak bumi.
Meski kuat dan sakti tapi Zul paling takut pada nenek pemilik warung nasi yang
memberi utangan makan kepadanya. Kalau nenek itu menagih ke rumah kostnya,
secepat kilat Zul ngumpet di kolong ranjang . Sebenarnya Zul berhati singa
namun romantisnya luar biasa. Lawan segede gajah dengan santai dilibas begitu
saja. Tapi tiap jumpa tikus kejebak lem langsung Zul menangis meraung-raung. Mungkin
Zul punya kenangan indah dengan para tikus. Zul juga tersedu-sedu tiap melihat
orang menyantap sate kambing. Katanya, mendadak ia teringat kambing
kesayangannya semasa kecil. Kambingnya itu diberi nama Fredy Kartasasmita.
Lebih jantan dari Marlon Brando. Bisa mengembik menirukan irama salah satu lagu
kebangsaan negeri kita. Ah, kalau ngibul Zul memang mengasyikkan. Konon sejak
minggat dari Yogya, Zul membangun sarang di kota minyak Balikpapan.
Penjahat kedua bernama Tom. Nama
lengkapnya sebenarnya juga rahasia. Tapi masih bisa dibongkar. Namanya
benar-benar janggal bunyinya, Duwit Utomo Petir. Catatan tentang Tom setengah abad
lalu: wajahnya tidak boleh disebut ganteng. Misterius dan ekspresinya tidak
puitis. Hidungnya kelihatan seperti dua batang. Tubuhnya tidak seksi. Cara
berjalannya sama sekali tidak artistik. Mungkin karena buah pantatnya cuma
sebelah. Meski begitu Tom punya kehebatan tertentu. Kedipan matanya sanggup
merontokkan hati bakul-bakul lombok di pasar tradisional. Senyum kadalnya bisa
menghanguskan kebencian para musuhnya. Konon, sejak minggat dari Yogya, Tom
buka praktek jadi dukun palsu di Banten.
Penjahat ketiga, catatan mengenai
dirinya setengah abad lalu: gagah perkasa. Tampan dan kharismatik. Lagak lagunya
mirip seorang gubernur. Bahasa tubuhnya menebarkan pesona keindahan alami.
Walau cuma bersandal jepit murahan dan pakaiannya kucel tak menghalangi
kemewahan kepribadiannya terpancar. Para gadis jelita gampang terperangkap ke
dalam pelukannya. Ke mana pun pergi selalu menebarkan aura keberuntungan bagi
siapapun. Sangat inspiratif dan luwes. Bagai punya api unggun di dalam dirinya.
Tiap orang yang dekat dengannya bisa merasakan kehangatan yang tulus murni.
Tampaknya, ia ditakdirkan kalau mati bisa langsung masuk surga tanpa tiket.
Nah, biarlah penjahat ketiga itu
tanpa ragu saya akui sebagai diri saya sendiri. Biasa dipanggil Sri. Lengkapnya
Sri Harjanto Sahid. Dari dulu hingga kini memilih tetap ngendon di Yogya.
Sering tidak berpura-pura bekerja
jadi tukang tambal ban sepeda di Pojok Beteng Kulon. Kadang-kadang saja
menyamar sebagai aktor teater.
Apa spesialisasi bidang kejahatan
Zul, Tom, dan saya? Zul seorang perampok. Jagoan merampok mimpi. Kalau ada
rekannya bermimpi, segera dimasukinya mimpi itu. Saat mimpinya muluk-muluk
dengan trengginas diobrak-abriknya mimpi itu hingga hancur berkeping-keping.
Kalau mimpinya indah dan kira-kira bisa diwujudkan ke dalam kenyataan, secepat
kilat direbutnya mimpi tersebut. Sebagai ksatria sejati Zul tidak suka rekan
yang lembek dan tak mau maju. Jika ada yang begitu serta merta ditendangnya
keras-keras. Biar mampus sekalian, katanya. Rasa setia kawannya tinggi, murah
hati, dan optimistis selalu. Tak heran kalau Zul bisa jadi tokoh besar.
Lalu bagaimana dengan Tom? Singkat
saja, Tom seorang pencuri. Ahli mencuri hati siapapun. Hati bayi pun dicuri.
Hati bencong doyan juga. Bahkan hati orang mati tak juga ditolak. Dia
benar-benar serakah, tak mengenal kata kenyang, dalam mengambil hati siapa pun
juga. Rasa humornya yang janggal menjadi senjata andalannya paling utama.
Dan saya? Penipu tiada bertara.
Penipu diri sendiri. Saya senantiasa GR dan RG alias Gede Rumangsa dan Rumangsa
Gede. Meski wajah saya amburadul tapi saya merasa yakin ganteng tanpa tanding.
Meski tubuh saya kurus kering kayak jerangkong tapi saya acuh beibeh dan tetap
merasa diri gagah perkasa dan macho melebihi Arnold Schwarzenegger. Mesi goblok
melebihi kerbau, licik kayak iblis dan bau badan persis tai kuda tapi tetap
yakin diri bahwa saya jenius melebihi Einstein dan baik hati kayak wali serta
berbau wangi persis pabrik parfum. Dan meski sejumlah rohaniawan mengutuk saya
biar kelak kejeblos neraka jahanam tapi saya yakin seratus persen bakal masuk
ke surga urutan pertama. Hebat bukan tipe kejahatan saya?
Nah, dalam reuni sekarang ini usia
kami bertiga masing-masing sudah 80 tahun. Zul dan Tom sudah tampak tua renta.
Tapi saya tampak seperti baru lulus SMA saja. Kata Tom, sekarang Zul mirip
Semar. Perutnya gendut mancung ke depan dan pantatnya gede sedahsyat Gunung
Merbabu. Kata Zul, sekarang Tom benar-benar kayak Eyang Batara Guru. Sangat
sepuh, karatan, dan jagoan memberi nasihat. Sementara saya, menurut saya
sendiri, tetap elegan dan trendy. Merupakan perpaduan Tom Cruise, Einstein, dan
Arnold Schwarzenegger.
Kalau ketiga penjahat bertemu lalu
apa yang terjadi? Ah, ternyata cuma biasa-biasa saja kok. Tidak heboh seperti
yang dibayangkan orang. Kami cuma ngobrol ngalor-ngidul. Melanjutkan kebiasaan
lama, omong besar dan omong kosong. Omong besar sampai semua hal jadi kecil.
Omong kosong sampai pikiran jadi terisi mimpi-mimpi besar. Ngomong
ngawur-ngawuran kiri kanan atas bawah depan belakang. Benar-benar tidak
bermutu. Konyol. Persis kanak-kanak abadi.
“Sungguh ajaib. Kenapa kita bertiga
tiba-tiba bisa berkumpul seperti ini? Tak pernah terbayangkan sebelumnya,” kata
Zul tiba-tiba. Waktu menunjuk pukul tiga dini hari. Kami masih bergurau di
Warung Senja sambil terkantuk-kantuk.
“Mungkin karena sebentar lagi mau
kiamat,” celetuk Tom serius.
“Lho, apa hubungannya?” sergah saya.
“Goblok benar kamu! Karena kiamat
akan datang maka naluri kita menuntun kita untuk saling mencari. Kita ini kan
tiga serangkai. Jadi kita perlu berfoto bersama dahulu sebagai kenangan
terakhir sebelum hari kiamat benar-benar datang,” demikian argumentasi Tom.
“Wah, tepat. Sekarang kita pulang
dulu saja. Istirahat tidur sebentar. Agar pagi-pagi bisa sarapan bersama, lalu
foto bersama sebelum saya dan Tom pulang ke Balikpapan dan Banten. Besok
masing-masing bawa tustel ya?” kata Zul sembari ngacir pura-pura lupa bayar
makan dan minuman.
Kami pun segera bubar. Zul dan Tom
pergi ke hotelnya sendiri-sendiri. Keduanya tinggal di hotel bintang lima
paling megah dan mewah. Tidur di kamar indah ditemani selimut yang bisa terkentut-kentut.Sedang
saya terseok-seok berjalan menuju gardu ronda di kampung saya, Ngelak
Sorosutan. Mendengkur di situ dengan damai. Pagi-pagi kami ngumpul sarapan di
warung paling murah. Di depan eks kampus Asdrafi Sompilan Ngasem tempat kami
kuliah bersama semasa muda dulu. Selesai sarapan, Tom mengingatkan untuk foto
bersama. Tapi rupanya kami semua lupa membawa tustel.
“Yah mungkin ini sudah takdir. Kita
tak dapat foto bersama. Siapa tahu karena kita tak jadi foto bersama maka
kiamat tak jadi datang, iya to?” kata saya ngakak. Zul dan Tom ikut
terkakak-kakak.
Kami pun berpisah. Zul ngelencer ke
bandara untuk pulang ke Balikpapan dengan pesawat pribadinya. Tom balik ke Banten
dengan mobil BMW terbarunya. Sementara saya berjalan terseok-seok menuju Pojok
Beteng Kulon. Buka praktek tambal ban sepeda!!
Yogyakarta,
2 Desember 2009
No comments:
Post a Comment