PELUKIS
GAGAL
Monodrama: Sri Harjanto Sahid
SEBUAH LUKISAN ABSTRAK BERUKURAN BESAR MEMBELAH PANGGUNG DARI KANAN KE KIRI. LEBIH PAS LAGI KALAU LUKISAN ITU DIGANTUNG DARI ATAS, HAMPIR DI TENGAH-TENGAH PANGGUNG. TIDAK DITARUH DI LANTAI PANGGUNG ATAUPUN DITEMPEL DI DINDING BELAKANG. AGAK JAUH DI DEPAN LUKISAN ADA SEBUAH KURSI BUNDAR YANG BISA DIPINDAH KE SANA KEMARI UNTUK MEMBANTU PERMAINAN SANG TOKOH.
Anakku Rio memang menjengkelkan.
Susah diurus. Barangkali karena dia sangat cerdas. Bahkan mungkin jenius. Konon
tak ada orang jenius yang bebas dari berbagai kesintingan. Pikirannya sering
melompat terlampau cepat dibanding perkembangan kematangan jiwanya. Emosinya
labil seperti kapal bocor terombang-ambing di tengah lautan. Atau seperti ombak
membadai terus bergerak. Terkadang tiba-tiba diam tak bergerak. Mematung bagai gunung.
Singkat kata, sukar diduga. Baik cara berpikirnya maupun tindakannya.
Sekarang Rio kelas 7 di SMP
terfavorit. Usianya sebelas tahun. Tengah akil balig. Mulai gemar memberontak
untuk menunjukkan eksistensinya yang butuh pengakuan. Menolak didikte.
Menerjang aturan untuk menarik perhatian. Ngeyel luar biasa.
“Aku sudah gede. Bukan anak kecil
lagi, jangan diatur-atur terus dong. Bosan! Biarkan aku bebas mikir sendiri.
Aku bukan orang goblok. Bahasa Inggris dan bahasa Perancisku saja paling bagus
di rumah ini,” katanya tiap kali dinasihati kakak-kakaknya. Dan begitu ibunya
membandingkannya dengan kakak-kakaknya yang penurut langsung saja dia menyalak,
“Aku tidak ingin jadi seperti mereka Bu. Jinak dan penurut biar dianggap anak
baik. Aku mau jadi diriku sendiri. Tidak mau seperti siapapun!”
Ah, Rio memang aneh sejak bayi.
Matanya jelalatan tiap mendengar suara atau bunyi yang belum pernah dikenalnya.
Seperti mencari-cari. Ekspresi wajahnya cepat berbinar begitu ditunjukkan
benda-benda baru. Apalagi mainan baru. Selalu memerhatikan mulut orang yang
mengajaknya bicara. Lalu mencoba-coba ngoceh sendiri dengan variatif. Gampang
tertawa, gampang nangis. Cepat bosan dengan mainan lama. Butuh sekali hal-hal
baru. Diajak bercermin paling suka.
Daya tangkap otaknya tinggi. Usia
setahun perbendaharaan katanya cukup banyak. Belum dua tahun bisa membaca huruf
A sampai Z tanpa salah. Pintar nyanyi puluhan lagu, bahkan lagu cinta orang
dewasa. Cepat menghafal nama-nama presiden seluruh dunia dan kata-kata bahasa
Inggris. Kakak-kakaknyalah yang iseng-iseng mengajarkannya. Menjejalinya dengan
pelajaran baru terus-menerus karena terpukau oleh kecerdasannya. Di TK Kecil
sudah pintar membaca buku. Komik-komik Lucky Luke, Asterix dan Obelix, dongeng
H. C. Anderson cepat dilahapnya. Kelas 1 SD menyikat habis Mitologi Yunani dan
Mahabarata dalam versi sederhana. Rakus baca koran dan majalah. Suka banget
nonton film terutama horor dan drama. Tidak suka film anak-anak.
“Aku ingin jadi presiden kalau sudah
besar nanti,” katanya suatu saat. Di waktu lain dia bilang, “Aku ingin jadi
pelukis hebat kayak Leonardo da Vinci.” Nah, kalau lagi pusing dia berceloteh
sembari membanting buku, “Demi Tuhan, aku tidak mau menjadi kyai atau pendeta.
Capek banget mengkhotbahi orang terus-menerus. Lebih baik aku jadi patung saja.
Tidak perlu mikir apa-apa!”
Rio selalu juara kelas. Buku-buku
pelajaran untuk satu semester selalu sudah dihabiskan pada satu bulan pertama.
Begitulah caranya belajar. Jadinya dia cepat bosan duduk di kelasnya. Pihak
sekolah terpaksa pernah langsung menaikkannya dari kelas 2 ke kelas 4, lalu
dari kelas 4 langsung naik kelas 6. Tetap saja juara kelas! Cepat menguasai
bahasa Inggris dan Perancis karena diajari tetangga sebelah rumah, Pak Sofyan,
yang berprofesi sebagai guide bagi turis asing. Rio kecil sering diajak praktik
ngomong langsung dengan para turis mancanegara di lokasi wisata. Aku dan
istriku bangga sekaligus cemburu melihat kecakapannya. Kami berdua pernah ikut
kursus beberapa bulan tapi tetap goblok dan tak punya nyali praktik ngomong
bahasa Inggris. Akhirnya berhenti. Pasrah menerima kegoblokan. Rio giat
menerjemahkan buku cerita dari bahasa Inggris dan Perancis ke dalam bahasa
Indonesia. Juga buku biografi para pelukis dunia yang bertumpuk di almari
perpustakaan pribadi keluarga.
Perhatiannya yang membesar pada
dunia seni lukis itulah yang mencemaskanku. Sejak umur setahun dia memang hobi
mencorat-coret abstrak. Kalau nangis dan bingung tak punya kegiatan, langsung
diam cerah ceria kalau disodori spidol dan kertas kosong. Lantas enjoy mencorat-coret
sembari terus ngoceh. Usia balita mulai menemukan bentuk-bentuk yang unik dan
khas. Gambarnya bagus luar biasa. Membuat kagum siapa saja. Terutama para
pelukis sepergaulanku. Kemampuan kreatifnya terus berkembang sejalan dengan
bertambahnya usia. Tapi aku tak pernah sekalipun mengikutkannya lomba lukis.
Aku tak ingin kalau dia sering menang lantas nalurinya untuk jadi pelukis kian
menguat. Aku takut kalau dia jadi pelukis seperti diriku. Atau juga ibunya.
Aku dan istriku adalah pelukis.
Sarjana seni lukis malah. Kami berdua lulus summa cum claude. Menolak jadi
dosen atau pegawai negeri. Memilih menggulati profesi sebagai pelukis
profesional secara total. Dan kami gagal total alias tidak sukses. Gagal kaya.
Gagal terkenal. Bahkan gagal hidup layak. Betapa menyakitkan, kami berstempel pelukis gagal di jidat kami. Jadi
bagaimana kami bisa merestui anak kami untuk menjadi seorang pelukis? Apalagi
anak itu sangat cerdas. Bahkan mungkin jenius. Hidup sebagai orang normal,
bukan seniman, adalah jalan yang benar.
Di kelas 7 SMP semester satu Rio
juara paralel dari tujuh kelas. Guru matematika dan fisikanya sampai
kebingungan melihat kecerdasan otaknya. Dengan inisiatifnya sendiri dia mulai
rajin ikut lomba lukis. Aku tak bisa melarang. Trofi kemenangan selalu
diusungnya ke rumah hampir tiap minggu. Tentu saja ada hadiah uang juga dan
disimpannya dalam celengan besar dari gerabah. Lomba lukis sering diadakan,
biasanya pada hari Minggu, karena dukungan sponsor yang terus mengalir. Tak
jarang dalam sehari dilangsungkan di lima lokasi. Kadangkala Rio dalam sehari
berhasil memboyong lima trofi. Dia bisa melukis cepat. Karenanya, dalam sehari
bisa ikut lomba di beberapa tempat sekaligus. Entah sudah berapa puluh trofi
diraihnya. Berapa jumlah uang tabungan di celengannya? Aku dan ibunya sangat
bangga. Sekaligus amat sangat cemas!
“Kepala sekolahmu barusan memintaku
menghadap. Katanya, nilai semua mata pelajaranmu hancur di semester dua ini.
Kamu mungkin tidak akan naik kelas. Kenapa bisa begitu?” suatu siang kusergap
dia sepulang sekolah. Sepatunya belum lagi dilepas. Mungkin perutnya juga
lapar. Dia cuma senyum-senyum kecut. Kubentak, “Ayo jawab! Jangan
pringas-pringis. Goblok!!!”
Sejak balita Rio paling benci kalau
dibilang goblok.
“Ayah jangan menghinaku. Aku bukan
orang goblok. Bahasa Inggrisku saja jauh lebih baik daripada Ayah. Aku jago
bahasa Perancis dan Ayah tidak bisa satu patah kata pun. Jangan bilang aku
goblok!” balas Rio merah padam wajahnya.
“Kenapa semua nilaimu hancur?”
“Aku bosan sekolah.”
“Bosan sekolah? Mau jadi apa kau
nanti?”
Rio diam sejenak. Menunduk.
“Aku ingin jadi seperti yang
kuinginkan.”
“Iya, boleh. Tapi bersekolahlah yang
benar.”
“Semua pelajaran terlalu gampang,
Ayah. Aku benar-benar tidak tahan. Bosan luar biasa. Para guru juga tidak
kreatif dalam mengajar. Mekanis kayak mesin. Aku merasa tidak mendapat
tantangan apa pun. Aku ingin tidak naik kelas dulu tahun ini. Aku ingin
melakukan hal-hal yang membuat diriku lebih terisi.”
Malamnya kuminta istriku
mendekatinya. Mereka ngobrol di ruang keluarga yang sempit. Aku nguping dari
kamar tidur. Rio mendominasi ibunya. Ibunya kelipuk.
“Hidup itu bukan cuma sekolah, Bu.
Banyak orang yang hebat sekolahnya tapi sekarat hidupnya. Begitu pula
sebaliknya,” dengan santun Rio malahan menasihati ibunya.
Dua minggu sesudah itu wali kelas
Rio menelepon. Menanyakan apakah Rio sakit. Sebab sudah dua minggu tak masuk
sekolah. Aku kaget bukan main. Sebab Rio berangkat ke sekolah tiap pagi.
Kujawab saja, Rio memang terserang radang tenggorokan dan demam. Seraya mohon
maaf alpa memberitahukan ke sekolah karena aku dan istriku sibuk pameran
lukisan di luar negeri. Terpaksa kubohongi wali kelas yang baik itu. Kalau
tidak, Rio pasti dikeluarkan dari sekolahnya.
“Pintar banget kamu bersandiwara. Ke
mana saja kamu dua minggu bolos sekolah?”
“Aku belajar di warnet, Ayah.”
“Kamu pasti kecanduan main game
online!”
“Tidak. Aku melihat dunia lewat
internet. Kalau aku main game bukan sekadar main belaka. Tapi mencari inspirasi
buat melukis. Ide-ide lukisanku banyak kudapat dari sana. Makanya aku sering
juara.”
“Ngibul kamu! Dasar badung!!”
“Cobalah Ayah belajar komputer dan
internet. Pasti asyik. Jangan gaptek terus-menerus. Ini zaman supercanggih.
Jangan cuma hidup di zaman dinosaurus. Berulang kali aku ingin mengajari Ayah
menggunakan komputer dan internet. Tapi selalu nolak dengan berbagai dalih tak
masuk akal. Padahal Ayah cuma anti-kemajuan. Belajarlah teknologi supaya Ayah
bisa memahami siapa anakmu ini.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.
Mulai hari ini kularang kamu pergi ke warnet selama tiga bulan. Ini hukuman
bagimu. Kalau kamu melanggar akan kuhajar habis kamu. Lihat ini, sudah
kusiapkan cambuk buatmu. Awas!!”
Sejak itu Rio jadi pendiam. Tak mau
bicara padaku sama sekali. Bicara pada ibunya sesekali saja seperlunya. Cuma
sepatah dua patah kata. Kalau di rumah lebih banyak ngendon di kamar. Membaca
atau membuat sketsa. Kalau ke luar rumah sering kumata-matai. Ternyata nonton
pameran seni rupa. Tak kunyana, dia akrab banget dengan Joko Pekik, Heri Kris,
Lucia Hartini, Dyan Anggraini, Heri Dono, Oei Hong Djien. Bersendau gurau dan
ketawa-ketiwi. Bahkan enak banget ngobrol dengan kolektor seperti Deddy Kusuma,
Tedjo Prasetyo dan Djais Hadyana Dargawijaya. Aku sendiri terus terang sangat
minder berhadapan dengan mereka. Grogi luar biasa. Lebih-lebih dengan para
pelukis sukses itu, aku sungguh muak, karena dibakar rasa kecemburuan sosial.
Dua hari sebelum kenaikan kelas,
dengan seragam sekolah kusut dan tas di punggung, Rio pulang ke rumah dengan
wajah cerah ceria. Matanya berbinar-binar bahagia. Dia menenteng dua buah
lukisan kanvas. Juga tas plastik besar penuh puluhan tube cat akrilik. Aku
langsung menghardiknya dengan sorot mata kejam.
“Wali kelasmu barusan bilang kamu
membolos lagi sepuluh hari. Kamu melanggar laranganku main ke warnet ya?”
“Tidak Ayah, aku tak pernah ke
warnet. Aku melukis di rumah Pak Joko Pekik dan Pak Heri Kris. Ini lukisanku.
Lihatlah, bagus sekali. Kemajuanku sangat pesat.”
Kuraih dua lukisannya dengan kasar.
Kubanting ke lantai. Kuinjak-injak! Kurebut juga tas plastik penuh tube cat
akriliknya. Kubanting lebih keras sehingga tube cat berhamburan. Aku menggeram
sambil menginjak-injaknya. Lantai dan kakiku jadi kotor oleh cat yang muncrat
dari tube yang pecah. Kuraih cambuk kulecutkan
tiga kali ke kakinya. Lalu kujambak Rio dan kutempeleng wajahnya tiga
kali juga.
“Goblok kamu! Goblok kamu!!”
teriakku histeris.
Rio menangis sesenggukan. Suaranya
ditahan. Harga dirinya melarangnya menangis dengan mengeluarkan suara. Matanya
pun tetap kering. Sungguh memilukan. Pelan sekali dia merogohkan tangannya ke
dalam tas sekolah. Sesuatu di genggamannya dibanting ke lantai. Segepok uang
lembaran seratus ribuan berserakan di lantai. Entah berapa juta jumlahnya. Lalu
cepat masuk ke dalam kamarnya dan keluar lagi membopong celengan besar dari
gerabah. Dibantingnya ke lantai sekuat tenaganya. Uang kertas tak terkira
banyaknya berhamburan. Berpadu dengan cat yang sebelumnya sudah mengotori
lantai. Astaga!!!
“Itu semua penghasilanku dari menang
lomba lukis. Ditambah hasil penjualan lukisanku yang dibeli Pak Joko Pekik, Pak Heri Kris dan Pak Oei Hong Djien. Beberapa kolektor juga membeli lukisanku selama
aku melukis di rumah para pelukis terkenal itu. Aku ngerti, kalau mau dapat
madu dekatilah sarang lebah. Karena itulah aku mendekati mereka. Ayah tidak
mengerti kiat itu kan?” kata Rio pongah sembari menegakkan kepala. Air matanya
tumpah tak tertahankan lagi. Dia terus ngoceh meluapkan amarahnya, “Ayah telah
gagal menjaga harga diriku. Berapa kali uang sekolahku terlambat Ayah bayarkan
untuk berbulan-bulan? Sepatuku bodol tak diganti. Bajuku robek dan lusuh.
Kacamataku retak-retak. Aku malu sering ditegur guru di sekolah. Aku sangat
sedih diejek teman-temanku.”
Aku terhenyak. Linglung.
“Ayah tidak suka aku jadi pelukis.
Sebab Ayah dan Ibu gagal sebagai pelukis. Miskin dan tidak terkenal tapi tetap
sombong. Ayah takut aku akan gagal total juga kalau jadi pelukis. Tapi aku
tidak ingin jadi seperti Ayah. Atau seperti siapapun. Aku ingin jadi diriku
sendiri. Seperti yang kuinginkan!!”
Rio melesat ke kamarnya.
Tersedu-sedu sampai menggigil. Membanting pintu dan menguncinya. Hingga tengah
malam dia tak keluar kamar. Tidak makan tidak minum. Ya, Tuhan! Ampunilah aku.
Aku tadi sebenarnya tidak benar-benar marah kepadanya. Aku cuma bersandiwara. Sekadar pura-pura ngamuk untuk menggertaknya saja. Ekspresi wajah dan tubuhku memang sengaja kugarang-garangkan. Tapi hatiku sebenarnya dingin dan tawar belaka. Karena itu cambukanku dan pukulan tanganku tadi
sudah kuukur dan kuatur. Tak akan bakal menyakiti tubuhnya. Aku terlalu
menyayangi dirinya. Rupanya caraku sangat salah. Aku melukai jiwanya.
Sesudah capek menunggu Rio keluar
kamar, dan dia tetap ogah keluar, aku pun masuk ke kamar tidurku. Segera saja
tertidur pulas. Istriku dan anak-anakku yang lain pun lelap sekali. Pagi-pagi
kami bangun. Astaga! Mata kami semua terbelalak. Seluruk tembok rumah kami yang
selama ini sangat bersih kini penuh gambar warna-warni dengan cat akrilik.
Hampir tak ada dinding yang kosong. Bahkan tembok luar rumah pun penuh gambar.
Tak ada yang indah sama sekali. Yang lebih gila: lantai, kursi, almari, meja,
dan televisi tak luput dari coretan kemarahan.
Kudobrak pintu kamar Rio. Kosong.
Kupanggil-panggil di luar rumah tak ada jawaban. Kucari ke beberapa warnet, ke
rumah para pelukis tempat biasa dia
main, dan tentu saja ke sekolahnya juga tidak ketemu. Lebih sepuluh hari kami
sekeluarga kebingungan mencarinya ke mana-mana. Bahkan ke lingkungan anak
jalanan. Ke kolong-kolong jembatan dan gerbong-gerbong kereta api tempat para
gelandangan tidur. Tetap tidak ketemu. Akhirnya kudatangi kantor polisi dan
melaporkan. Anakku hilang!!!
Yogyakarta,
6-7 Agustus 2013
No comments:
Post a Comment