(Cerpen-Drama) Sri Harjanto Sahid - PACAR NOMOR 21

PACAR NOMOR 21

Cerpen-Drama: Sri Harjanto Sahid

“Aku tak habis mengerti dengan sikapmu seminggu belakangan ini. Dingin dan muram. Serba canggung dan penuh teka-teki. Setiap kutanya kamu selalu menjawab bahwa tak ada masalah apa pun yang mengganjal di hatimu. Tapi kamu tak pernah membadut lagi di depanku. Menghibur istrimu ini dengan gurauan khasmu yang norak dan kampungan itu. Kamu telah menjelma menjadi makhluk aneh di rumah ini. Tidak terbuka dan sukar dibaca. Mabuk kesunyian. Membeku seperti gunung es. Aku tahu, aku harus menghargai rahasia yang kamu simpan di almari batinmu. Dalam sebuah perkawinan, tidak semua hal bisa dibuka bersama-sama. Ada kalanya, milikmu tetap milikmu sepenuhnya dan milikku tetap milikku semutlaknya. Masa silam kita punya warna sendiri-sendiri. Tak mungkin bisa dioplos menjadi satu kesatuan. Kita memang harus mempertahankan banyak perbedaan meskipun kita memandang ke arah yang sama senantiasa. Namun kalau suasananya sudah ganjil seperti ini berarti ada persoalan tidak sehat di antara kita. Ini harus dibongkar dan diselesaikan. Aku tak mau ada benalu tersembunyi di keheningan. Bicaralah sejujurnya, Mas!”
“Aku merasa sangat berat untuk mengatakannya.”
“Apakah persoalan itu menyangkut diriku? Atau berkaitan dengan dirimu seorang? Kalau cuma melibat dirimu belaka biarlah itu menjadi kekayaanmu pribadi. Aku tak usah kamu bagi. Kecuali kalau kamu ingin aku membantu memecahkannya.”
“Pada akhirnya ini mengait kita berdua.”
“Ah, kalau begitu buat apa kamu tahan sendirian. Cepat atau lambat kamu toh harus memberitahukannya padaku. Seberat apa pun tanggungannya harus kita pikul secara kompak. Oke?! Nah, sekarang tertawalah seperti badut nakal. Keluarkan jurus-jurus banyolanmu yang norak dan kampungan itu. Ayo, aku sudah kangen dengan hiburanmu yang dangkal, miskin inovasi, dan murahan itu. Menghadapi persoalan berat, wajah kita harus terang. Hati harus jernih. Kalau hati kita gelap, semua jalan yang terbentang di depan mata akan tampak gelap gulita meskipun ada lampu di mana-mana. Sebaliknya kalau hati kita terang, semua jalan di depan akan ikut terang benderang meskipun tak ada lampu, bulan dan bintang. Kita akan bertemu dengan selusin malaikat kalau hati gembira. Tapi kita hanya bisa menjumpai hantu dan setan jika hati sumpek dan semrawut. Ya, cepatlah tersenyum dan terbahak. Ayolah Mas, jangan pelit begitu! Ketampanan wajahmu meningkat seribu kali lipat kalau kamu cerah-ceria!!”
“Ah! Aku jadi ingin menangis melihat kamu.”
“Tak apa! Asal tangisanmu merupakan puncak kebahagiaan.”
“Bukan. Aku merasa bersalah.”
“Kenapa?”
“Apa kamu siap menerima?”
“Siap?”
“Ya.”
“Tentu saja. Aku siap menerima tantanganmu. Mau berapa puluh ronde?”
“Jangan bergurau. Ini serius!”
“Aku bahkan tiga-rius!”
“Sudahlah.”
“Baik, sekarang aku dengarkan. Tapi tertawalah lepas dahulu. Selepas-lepasnya supaya wajahmu jauh lebih menarik.”
“Ha ha ha ha.....!”
“Jangan canggung begitu!”
“Tidak bisa yang lain!”
“Terima kasih kalau begitu. Kini ungkapkan masalahmu.”
“Aku baru saja menerima surat dari bekas pacarku.”
“Yang mana?”
“Yang nomor 21. Persis sebelum kamu.”
“O, gadis pirang dari Belgia itu?”
“Benar.”
“Sebulan lalu aku juga dapat surat dari dia.”
“Sungguh? Apa isinya?”
“Ah, rahasia.”
“Istimewa?”
“Tidak! Biasa saja. Seperti yang lalu-lalu, dia berpesan supaya aku menjagamu baik-baik. Lagi-lagi dia bilang, kamu adalah lelaki yang sangat baik dan pantas dihormati. Aneh sekali, dia begitu baik padaku meskipun aku belum pernah bertemu dengannya. Aku merasa sangat akrab dengannya.”
“Ya, dia memang baik sekali.”
“Dan romantis pasti!”
“Kamu cemburu?”
“Buat apa? Bukankah dia cuma masa lalumu? Masa silammu adalah harta karunmu yang tak ternilai. Tak mungkin bisa dihapus. Aku harus menghargai itu. Dia toh tak pernah bertemu muka lagi denganmu sejak kamu menikah denganku. Kecuali kalau kini kamu ada kontak fisik dengannya dan membangun lagi kenangan lama dalam hubungan gelap, tentu aku tak bisa menerimanya. Kuhabisi kamu sampai lumat.”
“Dia memang luar biasa.”
“Ya, jiwanya besar. Meski sudah lebih sepuluh tahun putus cinta tapi dia tetap rutin berkirim surat. Terbuka pula kepadaku. Terkadang aku merasa seperti saudara. Kamu dulu memang kurang ajar. Mengkhianati dia seenaknya. Memutuskan hubungan secara sepihak dan menikahiku tanpa memberitahu aku mengenai keberadaan dia. Kalau dulu aku tahu, pasti aku tak mau menikah denganmu. Curang!”
“Dia juga pacaran dengan lelaki lain di negerinya sana. Teman baikku yang memberi tahu. Jadi sama-sama saling berkhianat. Tapi dengan begitu justru cinta kami makin berkobar-kobar. Aneh memang. Terkadang pengkhianatan yang disadari makin memperkuat perasaan cinta.”
“Apa sih isi suratnya padamu?”
“Mengerikan!!”
“Ada berita apa?”
“Dia terkena AIDS.”
“Apa?”
“Sudah parah keadaannya. Tidak lama lagi akan berakhir hidupnya. Dia memang terlambat mengetahui bercokolnya penyakit tak tersembuhkan itu. Terlambat memeriksakan diri ke dokter ahli. Kini hari-harinya mulai terbakar sedikit demi sedikit.”
“Kasihan!”
“Ya.”
“Tapi kenapa kamu tadi bilang padaku merasa bersalah?”
“Ahh!!! Aku berdosa besar.”
“Berdosa? Kepada siapa?”
“Kepadamu.”
“Kepadaku?”
“Ya.”
“Mengapa?”
“Kamu ingat ketika dua tahun lalu aku pergi ke Bali sendirian selama satu minggu?”
“Kamu kan ada urusan bisnis di sana?!”
“Tidak. Aku bohong padamu.”
“Lantas?”
“Sebenarnya aku membuat kencan dengan bekas pacarku itu di sana.”
“Wanita pirang dari Belgia itu?”
“Ya.”
“Tidak apa-apa. Aku sangat percaya kepada kesetiaanmu padaku. Kamu pasti tidak melakukan perbuatan terlarang. Hanya saja, hatiku memang sedikit tidak enak jadinya. Seharusnya kamu memberitahukan hal itu jauh-jauh hari lalu. Tapi tak apa. Aku ikhlas, setulus-tulusnya. Nah, sekarang tersenyumlah semanis-manisnya. Tak ada gunanya terus-terusan gundah. Anggaplah masalah itu sudah berakhir dengan baik. Mengenai keadaan sahabat kita di negerinya yang jauh itu, kita hanya bisa mendoakannya saja. Semoga dia dapat melewatkan sisa waktunya yang mengerikan dengan tabah. Marilah segera kita kirim surat untuk memberikan dorongan moral dan semangat kepadanya. Sekarang lahirkan kembali dirimu sebagai sosok yang baru. Kita memang harus melahirkan kembali diri kita sendiri terus menerus, setiap jam, setiap menit dan setiap detik. Agar sukma kita selalu segar dan sehat.”
“Astaga!!! Kamu begitu memesona, istriku. Aku seolah-olah seperti melihat Tuhan di dalam dirimu. Kamu memang sangat luar biasa. Indah dan luhur. Aku memang bisa menjaga kesetiaanku padamu sejak menikah. Bahkan sejak aku mulai jatuh cinta padamu aku telah berubah total. Dari lelaki hina-dina, tukang mempermainkan wanita, menjelma menjadi lelaki jinak yang mengerti indahnya arti kesetiaan Tapi, maafkanlah aku. Ketika berada di Bali aku tak bisa menahan diri. Aku hanyut oleh derasnya arus kenangan masa silam yang begitu menggetarkan dan melelapkan. Aku terlena dan berbuat hal yang seharusnya tidak aku perbuat dengan wanita Belgia itu. Berulang-ulang dan tak jemu-jemu selama seminggu. Kami tak kuasa menolak kembalinya emosi cinta yang menyerang tanpa kami sadari. Percayalah, semuanya terjadi bukan karena keisengan dan kejalangan nafsu birahi belaka. Tapi karena didorong oleh keagungan perasaan hati yang bergelora. Agung, indah dan mulia. Namun bagaimanapun, pengkhianatan tetaplah pengkhianatan apa pun alasannya. Inilah satu-satunya pengkhianatanku kepadamu. Gila! Benar-benar gila!! Satu-satunya tapi membawa akibat begini besar. Dalam surat pemberitahuannya padaku, dia menyarankan agar aku segera memeriksakan kesehatanku. Aku telah melakukannya di rumah sakit pada bagian khusus pengecekan HIV/AIDS. Ternyata aku dinyatakan positif sebagai pengidap virus jahanam itu. Ya Tuhan! Aku pasti juga telah menularkannya padamu Padahal kamu kini tengah mengandung tiga bulan. Calon anak pertama kita! Anak yang kedatangannya kita tunggu setelah melewati kesunyian maha-dahsyat selama sepuluh tahun!!!!”

Yogyakarta, awal Februari 1997

No comments:

Post a Comment