(Cerpen-Monodrama) Sri Harjanto Sahid - MINGGAT

MINGGAT

Cerpen-Monodrama: Sri Harjanto Sahid

Setelah minggat selama lebih lima tahun mendadak dia pulang. Nyelonong masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu dan mengucap salam. Udara siang bolong terasa panas. Seminggu tak turun hujan.
Kutatap wajahnya. Cantik dan menawan. Kutelusuri seluruh tubuhnya. Betapa indah dan menggairahkan. Dibalut pakaian ketat nan seksi. Tapi entah kenapa aku tak berminat memeluknya. Meski kangen luar biasa. Ada jarak yang aneh terasa membentang. Dia istriku, yang minggat lebih lima tahun lalu.
“Aku pulang Mas,” katanya pelan.
“Ya,” jawabku lebih pelan dan kaku.
Sejenak waktu seperti berhenti. Mulut kami terasa terkunci. Udara siang menyengat lebih panas. Detak jarum jam tak juga mencairkan kebekuan.
“Untuk apa kau pulang?” tiba-tiba mulutku terbuka. Kutatap matanya yang jernih.
Suara jarum jam dinding terasa berdetak lebih keras lagi. Kuarahkan mataku keluar rumah melalui jendela yang terbuka. Ada seekor anjing hitam lewat. Sesaat berhenti di depan rumahku. Menggonggong beberapa kali lalu berjingkat pergi.
“Aku kangen padamu. Juga dengan suasana rumah ini. Kalau kauterima, aku ingin tinggal di sini lagi bersamamu.”
Aku mendesah. Dingin. Sinis, dan mungkin marah samar-samar. Istriku menunduk. Pasrah, mungkin menyesal samar-samar.
“Enak saja ucapanmu. Setelah minggat lebih lima tahun tanpa pamit lalu mendadak pulang tanpa pemberitahuan. Sekarang mau tinggal lagi di sini. Kaukira kau ini istri macam apa? Dan aku ini suami macam apa sehingga bisa kau perlakukan seenak udelmu sendiri? Di mana rasa hormatmu terhadap dirimu sendiri? Di mana harga diri dan rasa malumu? Di mana tata kramamu sebagai seorang istri?”
Kusemprot dia dengan berondongan kalimat yang pedas dan menyakitkan. Amarahku mulai tak terkendali. Dia hanya tertunduk sedih tak berusaha menjawab. Justru kediamannya mendorong kemurkaanku kian meninggi. Kutikam hatinya dengan bidikan kata-kata lebih kasar dan menghina. Kucabik-cabik nurani kemanusiaannya dengan teguran-teguran yang sebenarnya tak pantas diucapkan. Tapi dia tetap tertunduk saja sedemikian rupa. Membiarkanku kelelahan dengan emosiku sendiri. Sesudah dikiranya energiku habis, dia mengangkat wajahnya menatapku dengan lebih sedih.
“Kau masih seperti dulu Mas. Penuh emosi, egois, dan tak pernah berusaha memahami orang lain. Maaf, aku memang punya kesalahan besar. Tapi aku punya alasan kenapa aku pergi meninggalkanmu selama ini. Tanpa pernah memberitahu di mana keberadaanku kepadamu.”
“Kau tak tahan hidup miskin bersamaku bukan? Sejak dulu kautahu, aku ini cuma pelukis kacangan yang tak pernah laku. Penyair kaliber teri yang puisinya selalu ditolak redaktur koran. Aku juga aktor kurang bakat yang dari waktu ke waktu cuma kebagian peran figuran. Akhirnya sibuk ngamen di jalanan.”
“Itu cuma salah satunya. Yang paling menyakitkan hatiku adalah kebohongan-kebohonganmu. Ternyata kau sudah pernah menikah dengan dua wanita sebelum menikahiku. Keduanya masing-masing punya dua orang anak darimu. Hal itu tak pernah kau katakan padaku.”
Aku tersentak kaget.
“Dan sesudah jadi suamiku, kau ternyata diam-diam nikah siri dengan Farida sahabat karibku. Aku heran, bagaimana lelaki miskin dan sama sekali tidak tampan sepertimu bisa menaklukkan begitu banyak wanita.”
Aku lebih kaget dan terbelalak.
“Mau dengar yang lebih hebat lagi? Akhirnya aku tahu bahwa kau adalah Arjuna di kompleks Pasar Kembang. Kau juga tukang copet paling ulung di kawasan Malioboro. Lalu yang lebih edan lagi, penyakit abnormalmu bercinta dengan sesama jenis telah kuketahui tanpa sengaja. Aku memergokimu bermain gila di rumah kita ini beberapa kali. Tapi aku diam saja dan menahan sabar. Berlagak pura-pura tak tahu meski hatiku remuk-redam.”
Aku termangu. Aneh, aku jadi lega setelah semua rahasia busukku terbongkar.
“Lalu kenapa sekarang kau pulang dan ingin tinggal di sini lagi bersamaku?” tanyaku enteng.
“Karena aku mencintaimu. Aku ingin mendampingimu sampai tua dan mati. Aku ingin mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Aku cukup punya banyak uang sekarang untuk membuka usaha,” jawabnya meyakinkan.
Aku terpesona oleh kata-katanya. Terutama oleh uang banyak yang dia bilang dimilikinya. Iseng-iseng aku berniat menyelidikinya.
“Dari mana uang itu kau dapatkan? Apakah kau bekerja keras mencari uang selama kau pergi? Kemana saja dan kepada siapa kau bekerja? Pekerjaan apa yang kau lakukan?”
Dia beringsut dari tempat duduknya.
“Aku menjadi TKI di Malaysia. Sayangnya, aku terjebak oleh sindikat perdagangan wanita. Aku dipaksa menjadi pelacur. Selama tiga tahun terus-menerus kulayani para hidung belang. Lama-lama aku menikmati juga pekerjaanku. Entah berapa ribu hidung belang yang kapalnya pernah berlabuh di dermagaku. Menginjak tahun keempat aku bisa melepaskan diri dari sindikat itu. Aku mandiri sebagai pelacur sekaligus meningkatkan profesiku menjadi germo. Setelah uangku cukup aku merasa harus pulang ke rumah untuk memulai usaha baru denganmu.”
Kontan saja aku naik pitam. Tubuhku sampai gemetaran. Mataku merah berair. Bibirku tegang. Gigiku gemeletuk. Geram luar biasa. Tanpa basa-basi kuusir wanita jalang itu. Dia berusaha menyabarkanku. Berusaha menjelaskan lebih lanjut dan memberi pengertian. Tapi aku tak mau mendengarkan apa pun. Ketika kakiku siap menendang bokongnya dan tanganku siap mengayun untuk menjotos mulutnya, akhirnya dia terbirit-birit pergi.
Emosiku masih belum teratur saat telepon genggamku berdering. Napasku agak tersengal. Sialan, pasti wanita jalang itu siap menggangguku lagi. Aku siap memaki-maki.
“Halo, siapa ya?” tanyaku tak sabar.
“Ini Arman Ramli, sobat lamamu di Palembang. Bagaimana kabarmu di Yogya?”
“Sehat saja. Aku masih jadi kere seperti dulu. Dewa Keberuntungan masih menjadi musuh abadiku.”
“Aku mau menyampaikan kabar penting padamu. Kabar sangat sedih. Kuharap kau bisa tabah dan bersabar setelah mendengarnya.”
“Mengenai apa sih?”
“Istrimu.”
“Ah, tak usah kau sampaikan. Lima tahun dia minggat dari rumah. Rupanya jadi pelacur di Malaysia. Dasar wanita jalang. Kalau datang lagi ke sini kuhajar habis dia. Barusan saja, kurang dari tiga menit yang lalu, aku mengusirnya dari sini. Sialan!!!”
“Apa? Dia barusan di rumahmu?”
“Iya benar. Kudamprat habis dan hampir kutendang bokongnya. Untung dia cepat terbirit-birit pergi.”
“Wah, kok bisa begitu? Seminggu yang lalu dia datang dari Malaysia. Mampir dan tinggal di rumahku. Aku dan istriku senang sekali. Anak-anakku juga senang karena sering diajak istrimu pergi ke toko mainan dan memborong berbagai jenis mainan. Uangnya banyak sekali rupanya. Istriku juga dibelikan kulkas dan televisi besar. Yang lama sudah tak layak, katanya. Rencananya besok juga dibelikan sepeda motor baru. Wah, benar-benar baik hati istrimu itu. Tapi siang ini tadi dia keluar rumah mau beli buah-buahan untuk cuci mulut setelah makan. Sungguh naas, tepat di depan rumahku, sewaktu menyebrang jalan dia tertabrak mobil. Lehernya patah. Jiwanya tak terselamatkan. Sekarang ini, aku dan istriku sedang menunggui jenazahnya di kamar mayat Rumah Sakit Palembang.”

Yogyakarta, 5 Juli 2014

No comments:

Post a Comment