(Cerpen-Monodrama) Sri Harjanto Sahid - SAHABAT TERBAIK

SAHABAT TERBAIK

Cerpen-Monodrama:  Sri Harjanto Sahid

Jam dua belas malam baru saja lewat.  Saya masih asyik melukis.  Hampir saja selesai.  Tinggal sentuhan kecil di beberapa bagian.  Wajah almarhumah istri saya terpampang di kanvas.  Tersenyum lembut dengan latar belakang langit merah membara dan menggelegak.  Dua tahun lalu dia meninggal.  Padahal baru setengah tahun saya nikahi.
Tiba-tiba pintu rumah gubuk saya yang reyot diketuk dari luar.  Dengan cepat saya bangkit membuka pintu.  Saya terbelalak.  Di depan hidung saya berdiri sahabat lama saya.  Yang sebenarnya tak pernah saya harapkan sekalipun kedatangannya.  Bahkan walau dalam mimpi pun saya tak ingin lagi bertemu dengan dirinya.  Saya benar-benar telah membenci manusia satu ini.  Jijik sekali.  
“Boleh saya masuk?” katanya perlahan.
Saya hanya diam.  Leher bagai tercekat.  Dia nyelonong masuk dengan gerakan lesu.  Lalu duduk di kursi tua di pojok ruangan.  Kakinya yang dibungkus sepatu mewah diselonjorkan di lantai tanah rumah saya yang pengap.  Bahunya disandarkan di dinding gedek yang berlubang di sana-sini.  Saya perhatikan wajahnya.  Keruh dan lesu.  Matanya merah kelelahan.  Tanpa cahaya.
“Kenapa kau kemari?” tanya saya dingin.
“Tidak boleh?” dia bertanya balik lebih dingin.
Leher saya tercekat lebih dalam.  Terpaksa saya harus kaget juga oleh sikapnya.  Saya pandangi wajahnya.  Dia tertunduk.  Tak berani menatap mata saya.  Dia mendesah gelisah.  Tubuhnya membatu.  Tahulah saya sekarang, pasti dia tengah dirundung masalah mahaberat yang tak tertanggungkan.  Lelaki congkak ini mungkin tengah runtuh moralnya.  Entah apa yang menyebabkannya menjadi begitu.  Saya tak peduli.  Inilah saat yang paling tepat menghajar dirinya.  Biar dia makin terperosok ke lembah penderitaan batin yang paling dalam.  Akan saya tuntaskan segala dendam hati saya.  Akan saya giring dia menuju tepi jurang keputus-asaan.
Ya, lelaki bernama Hendra ini dahulu memang sahabat terbaik saya.  Kami sama-sama menekuni seni lukis.  Kami sangat keras kepala, idealis, pemuja kemerdekaan dan kebebasan kreativitas.  Tak kenal kompromi dengan siapapun.  Hanya penyerahan diri secara total pada pelukan Dewi Kesenian sajalah yang menjadi penghayatan hidup kami.  Karenanya, kami selalu mengejar pencapaian kualitas artistik terbaik.  Tak peduli pasar akan mengapresiasi atau tidak.  Kami akrab dengan hantu kelaparan setiap hari.  Hal itu bukan masalah.  Yang penting harga diri dan idealisme kesenimanan kami terjaga.
“Yah, duduklah di situ semaumu.  Tentu saja kalau kau menganggap tempat tinggal saya yang mirip sarang tikus ini cukup pantas untuk kau singgahi sejenak.  Saya mau melanjutkan melukis,” kata saya sedikit ketus.
“Terimakasih.  Tapi saya mohon jangan melanjutkan melukis dulu.  Marilah kita ngobrol saja.  Saya membutuhkanmu untuk jadi teman bicara.  Ayolah!  Sudah tujuh tahun kita tidak saling bicara,” dengan agak tersendat dia berkata-kata sambil menatap mata saya penuh harap.
Ah, benarlah dugaan saya.  Hendra sedang dirundung beban persoalan berat.  Dia ingin menjadikan saya sebagai tong sampah bagi jiwanya yang tengah meranggas.  Keterlaluan sekali.  Lebih tujuh tahun dia tak pernah mendatangi saya.  Saat saya menikah dia tak datang.  Bahkan ketika istri saya meninggal pun dia tidak melayat.  Tak ada ucapan duka cita  pula hingga sekarang.  Nah, sekarang manusia menyebalkan ini tiba-tiba datang tanpa undangan.  Membawa oleh-oleh sekeranjang kefrustrasian.
Dulu dia merupakan sahabat terbaik saya selama puluhan tahun.  Sejak remaja kami berkawan.  Hampir tiap hari bersama menjaring harapan dan kebahagiaan.  Dari kampung yang jauh kami datang bersama ke kota ini untuk belajar melukis.  Tinggal sekamar di rumah kost sederhana.
Kami bisa cocok justru karena punya banyak perbedaan.  Dan kami saling memahami dan menghormati perbedaan itu.  Hanya idealisme teguh dan sikap kepala batu yang menyamakan dan menyatukan kami.  Secara fisik kami bagai langit dan bumi.    Dia tinggi besar, gagah, dan memesona.  Wajahnya tampan luar biasa.  Kelakuannya sering kasar.  Emosinya sukar dikendalikan.  Tak pernah mau mengalah apalagi kalah.  Tapi begitu hatinya terlukai  segera saja dia jatuh terkapar bagai kehilangan daya hidup.  Sedang saya sebaliknya.  Tubuh saya pendek, kecil dengan kulit hitam legam, dan wajah sangat tidak pantas disebut tampan.  Tak ada daya tarik sama sekali dari raga dan penampilan saya.  Sedikit kelebihan saya barangkali hanya kepintaran membesarkan hati teman-teman saya.
Jalan kami mulai terasa berseberangan ketika nasib kami mulai berbeda warna.  Lukisan Hendra mulai laris diburu kolektor.  Lukisan saya tak ada yang menginginkan.  Gaya hidupnya pelan-pelan berubah glamour dan saya tetap kayak gembel.  Hendra lalu pisah tempat tinggal dengan saya.  Dia beli rumah besar dengan studio besar.  Saya sewa rumah bobrok penuh kutu dan tikus.  Meski begitu kami tetap akrab.  Saya tak pernah iri pada keberhasilannya.  Saya pun selalu menolak setiap kali dia menawarkan bantuan materi kepada saya.  Dengan begitu saya bisa selalu sejajar dengan dirinya.  Saya tahu rumus pergaulan yang enak.  Kepada orang kaya jangan pernah meminta dan mau menerima sumbangan harta benda.
Saya mulai membencinya ketika dia mengkhianati saya.  Sewaktu saya pulang kampung selama setengah tahun, diam-diam pacar tercinta saya direbutnya.  Setelah dirusak kehormatannya, lalu pacar saya itu dicampakkan.  Pacar saya terhina dan putus asa.  Dengan pedih minggat ke Arab Saudi menjadi TKW tanpa pamit kepada saya.  Berikutnya Hendra merebut pacar sahabat saya yang lain, Edi Maesar.  Kali ini Hendra terpaksa menikahinya karena kecelakaan hamil lima bulan.  
Kebencian saya meningkat ketika dia terang-terangan menggadaikan idealisme kesenimanan dan harga dirinya.  Dia menyerah pada cukong tak paham seni yang mengelola art dealer berselimut kejahatan.  Karya-karya Hendra digoreng habis-habisan.  Harganya naik amat dahsyat melalui kiat tipu-menipu yang canggih.  Dia semakin kaya-raya.  Membeli tanah luas di beberapa tempat.  Membangun rumah mewah tingkat empat di atas lahan seluas tiga ribu meter dengan bangunan penuh. Padahal anaknya cuma dua orang saja dan masih kecil-kecil.  Mobil BMW terbarunya ada enam buah padahal Hendra tidak bisa menyetir mobil.  Keserakahan macam apa yang dia puja dan demonstrasikan itu?  Jiwanya benar-benar keropos.  Sementara saya tetap miskin, gagal terkenal.  Rasa iri hati dan kecemburuan saya kepadanya terus membesar setiap hari.  Membayangkan wajahnya saja kemarahan saya selalu meledak.  Makhluk satu itu sungguh memuakkan!
Puncak kemuakan saya terjadi ketika saya ketahui Hendra mulai ngawur dalam olah kreativitas.  Dia sama sekali abai soal kualitas dan ngawur menyergap ide.  Karyanya pasaran dan rendah mutunya Tanpa malu dia menyerobot ide-ide kreatif Widodo, Heri Kris, Edi Maesar, dan Priyaris Munandar secara bergiliran.  Yang terakhir dia berani menyerobot corak, gaya, dan karakter lukisan saya.  Padahal saya melakukan pencarian dan pendalaman atas semua itu selama puluhan tahun.  Saya belum menikmati hasilnya.  Tiba-tiba dia tega menyerobotnya.  Anehnya, dia terus saja laris dan makin terkenal.  Sebab dia ditangani dengan manajemen super canggih dalam jangkauan internasional.  Sungguh kurang ajar benar Hendra!! 
“Saya sedang sangat kalut.  Hidup saya hancur sekarang.  Saya membutuhkan sahabat yang bisa membesarkan hati saya.  Membangkitkan semangat dan harga diri saya.  Tolonglah saya,” mendadak Hendra bergumam lirih.  Matanya redup memohon kepada saya.  Saya membisu.  Tidak kaget.  Sejenak dia melanjutkan,”Istri saya selingkuh.  Sudah bertahun-tahun.  Bahkan baru saja saya ketahui kalau kedua anak saya itu bukan benih saya.  Sebab ternyata saya mandul.  Menurut dokter, sejak dari mula sperma saya tidak subur.  Tidak cukup untuk memberikan pembuahan.”
Saya terhenyak.  Saya tatap matanya lalu sekujur tubuhnya.  Pura-pura menaruh simpati padahal hati saya melonjak kegirangan.  Rasakan sekarang bangsat, bisik hati saya.  Saya biarkan dia terus ngoceh.
“Ekonomi saya sekarang juga hancur.  Semua usaha saya gagal.  Istri saya menghambur-hamburkan uang.  Saya lebih-lebih.  Rekan-rekan bisnis saya semua memperdayai saya.  Art dealer saya ternyata juga menipu saya habis-habisan.  Utang saya menggunung.  Rumah-rumah saya sekarang bukan milik saya lagi.  Semua mereka sita.  Mobil-mobil dan semua barang berharga juga mereka ambil.  Saya tak punya apa-apa lagi.  Teman pun tidak punya.  Bahkan mungkin saya juga tidak memiliki diri saya lagi,” dengan pedih Hendra ngoceh tanpa saya ganggu.  Lalu dia menangis, bangkit, mendekati, merangkul saya.  Saya tertawa dalam hati.  Tapi tetap pura-pura bersimpati, jatuh kasihan, seolah-olah menyayangi dirinya lagi. Padahal tidak sama sekali.  Saya akan menghajarnya habis.  Inilah saat terbaik untuk memberinya pelajaran berharga.  Saya akan menyerangnya dengan ucapan lembut tapi dengan muatan kalimat maha bengis.  Saya tahu persis kelemahan jiwa Hendra.  Dia jagoan dan gemar mengkritik orang dengan keji.  Namun kalau dia dapat kritik akan langsung kehilangan rasa percaya dirinya.  Lebih-lebih jika sahabat yang dipercayai yang mengkritik dirinya.
“Saya sedih mendengar ceritamu.  Percayalah, semua cobaan akan berlalu.  Sabarlah, sahabat,” kata saya berkaca-kaca.  Kemudian, “Dosamu amat sangat besar di masa lalu.  Banyak sahabat kau khianati.  Keserakahan duniawi, ketamakan, dan kesombongan telah mengubur nuranimu.  Anggaplah kau sedang mendapatkan hukuman.  Semoga hukuman itu akan mencuci bersih semua dosamu.”
Kata-kata saya menikam ulu hati Hendra.  Wajahnya pias pucat-pasi.  Hantaman saya terus menerus saya tingkatkan bobotnya.  Dia semakin gemetar.  Matanya melongo.  Akhirnya saya tembakkan senjata paling ampuh.  Yaitu mengenai cita rasa seninya yang luluh lantak.  Idealisme penciptaan seninya yang berubah menjadi sampah busuk.  Dan pengkhianatan terhadap dirinya sendiri sebagai seorang seniman.
“Hal yang paling membuat semua temanmu sedih adalah pengkhianatanmu terhadap Sang Dewi Kesenian.  Kau telah melacurkan dirimu sampai ke tingkat yang paling hina-dina.  Semua demi uang.  Demi harta yang tidak abadi.  Semua lukisanmu sebenarnya tak bernilai.  Kualitasnya amat sangat rendah.  Kau selama ini cuma menyumbangkan sampah busuk bagi kemajuan kebudayaan.  Tapi tak pernah kau sadari lantaran mata hatimu dibutakan oleh uang haram yang berhasil kau dapatkan.  Tak ada sama sekali yang bisa saya kagumi dari dirimu sebagai seniman dalam sepuluh tahun terakhir ini.  Pencapaian artistikmu benar-benar memalukan,” dengan lidah api saya bakar hangus rohaninya.
Hendra bangkit dengan lunglai.  Saya biarkan dia berjalan ke luar rumah tanpa saya antar.  Saya menyengir puas.  Lalu merebahkan diri di ranjang yang penuh kutu.  Tidur pulas seperti mayat.  Hingga jam sembilan pagi saya dibangunkan oleh kedatangan Edi Maesar.
“Kita kehilangan seorang sahabat.  Menjelang subuh tadi diketahui Hendra meninggal dunia.  Saya tahu, kau sangat menaruh dendam kepadanya.  Begitu pula saya.  Sekarang kita harus memberinya maaf.  Ayo kita melayat ke rumahnya,” kata Edi Maesar terbata-bata.
“Kenapa dia meninggal?” tanya saya takjub.
“Menggantung diri di kamar mandi…,” jawab Edi Maesar perlahan.
Saya terbelalak.  Air mata saya jatuh!!

Yogyakarta, 27 Januari 2009

No comments:

Post a Comment