(Cerpen-Monodrama) Sri Harjanto Sahid - TEMBANG DUKA SUATU SORE

TEMBANG DUKA SUATU SORE

Cerpen-Monodrama: Sri Harjanto Sahid

Anak saya dua orang.  Perempuan dan lelaki.  Namanya Bunga dan Rio.  Bunga berusia dua belas tahun dan Rio baru tujuh tahun.  Mereka cantik dan tampan, serta keduanya sama sehat dan cerdas.  Tapi yang mengherankan saya adalah karakter mereka yang benar-benar bertolak-belakang satu sama lain.  Hal ini seringkali sangat sukar untuk dipahami.  Terutama bila menyangkut soal perilaku tertentu yang berhubungan dengan masalah tanggung-jawab dan sopan-santun.
Bunga, sesuai namanya, sikapnya serba indah.  Sejak usia balita amat penurut.  Pintar menyenangkan orang lain.  Manis dan lembut tutur katanya.  Di manapun dia berada, orang-orang di sekitarnya cenderung menyayanginya.  Kalau di rumah ada Bunga, saya dan istri saya selalu merasa nyaman meskipun sedang banyak problem menghantui.  Aneh, pancaran wajah dan sinar mata anak ini benar-benar mampu menebarkan pesona kedamaian.  Mampu merontokkan amarah.  Sanggup meluruhkan jiwa yang dirundung kegelisahan.  
Rio sebaliknya, pemberontak.  Kalau tidak berseberangan dengan orang lain kelihatannya dia tidak puas.  Apapun selalu dibuat masalah.  Minum kurang manis sedikit langsung menangis keras-keras.  Makan kalau lauknya tidak enak langsung ngamuk, piringnya dicampakkan ke lantai.  Disuruh mandi harus ribut dulu.  Diminta memakai seragam sekolah sengaja berlambat-lambat menunggu ibunya marah-marah dulu.  Malas sekali mengerjakan PR.  Tampaknya dia baru merasa puas kalau melihat orang lain jengkel atau naik darah kepadanya.  Kalau dicubit atau dipukul pakai gulungan koran dia akan berkacak-pinggang sembari terkekeh-kekeh.  Kalau dipukul lebih keras dan dia merasa kesakitan serta hatinya merasa tersinggung maka terkekeh-kekehnya menjadi jauh lebih keras meski sembari air matanya mengucur deras.  Pada puncaknya dia akan balas menendang dan meludahi. Lalu lari ke kamar tidur dan menguncinya dari dalam.
Saya dan istri saya sering bingung memikirkan perilaku Rio.  Konsultasi dengan beberapa psikolog sudah kami lakukan.  Banyak buku psikologi anak sudah kami baca.  Berbagai cara dalam menyikapi dirinya sudah kami lakukan.  Dari yang lembut penuh kasih-sayang tulus, bahkan juga bujuk-rayu yang melelahkan, sampai pada cara tegas dan keras, semua selalu gagal total.  Sepertinya tak pernah ada titik-sambung dalam komunikasi kami.  
Kalau dipikir-pikir Rio memang berbakat besar jadi anak kurang-ajar.  Sewaktu bayi selalu menangis tak tepat waktu.  Tiap larut malam saat kami tidur lelap tiba-tiba dia bangun dan menangis kencang sekali selama berjam-jam.  Kalau berak selalu pas kami sedang makan.  Kalau sakit pas kami bokek sehingga kami selalu blingsatan cari utangan sebelum membawanya ke dokter.  Nah, sekarang dia paling suka ngentutin bapaknya.  Kalau saya lagi asyik baca koran, tiba-tiba dia datang menyorongkan pantatnya persis di depan hidung saya.  Lalu gasnya dikeluarkan disertai ledakan bom.  Terbahak-bahak sebentar sebelum dia lari ke kamar tidur dan menguncinya dari dalam.  Kurang-ajar benar.  Pantat ibunya juga sering dijadikan sansak untuk berlatih tinju.  Kalau ibunya tengah melukis sambil berdiri, tiba-tiba Rio datang dan meninju-ninju pantat ibunya sembari bergaya mirip Chrisjon.  
Wah, benar-benar menjengkelkan.  Suatu sore, saya dan istri saya baru bangun dari tidur siang, kami melihat Rio asyik menonton televisi.  Bunga tak kelihatan.  Mungkin sedang main di rumah tetangga.  Di sekitar Rio duduk banyak sekali tinta tumpah berceceran.  Lantai jadi kotor tak keruan.  Rio tenang-tenang saja menikmati film kartun.  
“Rio, apa kamu tidak melihat lantai sangat kotor?”  tanya saya lembut.  
Rio diam saja.  Tak mengacuhkan pertanyaan saya.  Matanya terus memelototi televisi sembari ngemil kacang goreng.  Mulutnya sibuk sekali mengunyah.
“Rio, kamu dengar tidak?” 
“Dengar dong, Pak.”
“Lalu kenapa diam saja?  Kenapa tidak kamu jawab pertanyaan Bapak?”
“Ngapain dijawab?  Kan sudah jelas lantainya kotor.”
“Kenapa tidak kamu bersihkan?”
“Kenapa harus saya yang membersihkan?”
“Kamu kan bisa membersihkannya.”
“Bisa sih bisa.”
“Mengapa tidak kamu kerjakan?”
“Kenapa harus saya?!”
“Rio, jadi orang itu harus punya tanggung-jawab.”
“Ah, Bapak selalu ngomong begitu.  Sebel!”
“Itu benar, Nak.  Kamu tidak boleh menghindar dari tanggung-jawab.  Nah, kamu sudah menumpahkan tinta dan mengotori lantai.  Sekarang kamulah yang harus membersihkan lantai.”
“Ngawur!  Bukan saya yang menumpahkan tinta!”
“Lalu siapa?”
“Nggak tahu!”
“Tumpah sendiri ya?”
“Nggak tahu!!”
“Tidak mungkin tumpah sendiri.  Tentu ada yang menumpahkan.  Pasti kamu yang menumpahkan.”
“Bukan.  Bukan saya!”
“Lalu siapa?  Kan tidak ada orang lain?!”
“Nggak tahu!  Nggak tahu!!!”
“Dasar anak suka bohong.  Jangan cari masalah terus ya.  Bapak capek.  Ibumu juga capek menghadapi kamu.  Ngaku saja.  kalau kamu ngaku, tidak apa-apa.  Kami tidak akan marah.  Kalau kamu bohong terus begitu, Bapak dan Ibu jadi sedih.  Bohong itu jelek, Nak.  Kamu harus mengerti itu.  Orang yang suka bohong itu kalau di neraka besok lidahnya dipotong-potong sama malaikat.  Ngeri kan?”
“Saya tidak bohong, Pak.  Sungguh!!”
“Bapak tidak percaya.”
“Ya, terserah!!”
“Mungkin kamu tidak sengaja sewaktu menumpahkannya.  Iya?”
“Tidak.  Bukan saya yang menumpahkan!!”
“Benar?”
“Benar!!  Berani sumpah!!!”
“Ah, dulu kamu juga pakai sumpah-sumpahan begitu.  Ternyata ya bohong juga.  Sudah berapa kali hayo?  Sumpahnya kamu itu sudah tidak bisa dipercaya.  Dasar anak nakal!  Meniru-niru siapa sih kamu itu?  Ha?!!”
“Tapi yang sekarang ini sumpah beneran, Pak.  Saya nggak bohong.  Biar disambar geledek!!  Sumpah, saya tidak menumpahkan tinta itu!!!”
Wajah Rio mulai tegang.  Bola matanya memerah dan liar.  Air matanya mengambang.  Tiba-tiba dia membanting remote control sampai pecah.  Dengan penuh amarah diinjak-injaknya tumpahan tinta yang meluber di lantai.  Kakinya jadi kotor semua.  Lantai juga semakin rata dengan kotoran.  Darah saya tersirap melihat tingkah-polah Rio.  Tapi emosi saya tetap terkendali.  Istri saya juga begitu.
“Rio! Hentikan, Sayang!!” bujuk istri saya.
“Nggak mau!!  Nggak mau!!!”
“Jangan begitu, Sayang.  Nanti lantainya kotor semua.”
“Biarin!!  Biarin!!!”
Cukup lama istri saya membujuk Rio supaya tenang kembali.  Tapi Rio malah semakin menjadi-jadi.  Perasaan saya juga campur-aduk.  Merasa bersalah karena telah melukai harga diri anak, tersinggung, sekaligus prihatin dan penuh belas kasih ingin meluruskan perilakunya yang keliru.  Saya mencoba ikut menenangkan Rio.  Tapi ngamuknya justru semakin hebat.  Dia berguling-guling di lantai sehingga pakaian dan tubuhnya berlepotan tinta.  Bahkan wajahnya berubah menyeramkan karena penuh tinta.
Tak ada pilihan lain.  Saya segera mengambil koran. Saya gulung jadi mirip pentungan.  Sambil menggertak penuh ancaman segera saya acung-acungkan gulungan koran itu ke arah anak saya yang bengal luar biasa ini.  Namun dia menatap saya dengan berani.  Sinar matanya tajam dan penuh wibawa.
“Ayo pukul saya Pak!!” tantang Rio.
“Benar kamu minta dipukul?”
“Ayo, pukul yang keras!!!”
Saya pukul pahanya.  Dia berkacak pinggang dan terkekeh-kekeh.  Saya pukul bokongnya.  Terkekeh-kekehnya semakin keras.  Saya ulang berkali-kali dia terus saja terkekeh-kekeh tapi air matanya mulai mengucur.  Akhirnya saya lepas kontrol.  Suatu hal yang sebenarnya tidak boleh saya lakukan tiba-tiba saya langgar.  Saya pukulkan gulungan koran itu ke wajah Rio.  Meski tidak keras tapi akibatnya sangat fatal.  Anak saya yang masih berusia tujuh tahun itu merasa tersinggung dan terhina luar biasa.  Dia menjeritkan kepiluan hatinya sekeras-kerasnya.  Mungkin histeris.  Suara tangisnya yang penuh derita tak terbendung lagi.  Lalu dia berguling-guling di lantai.
“Bapak jahat!!”
“Bapak jahaaat!!!”
“Bapak jahaaaaat!!!!”
Anak saya itu terus-menerus meneriakkan kejahatan bapaknya.  Saya dan istri saya jadi panik.  Kami kebingungan memikirkan cara terbaik untuk menghentikan amukan Rio.  Belum pernah dia sebrutal itu mengekspresikan ledakan emosinya.  Untunglah, di saat kritis tiba-tiba Bunga muncul.  Anak perempuan kami yang manis ini segera menebarkan pesona kedamaian di hati. 
“Ada apa, Pak?  Rio kenapa, Bu?” tanya Bunga lembut.  Lalu tanpa menunggu jawaban kami, Bunga langsung mendekati adiknya dan memeluknya dengan penuh cinta.  Rio menghentikan jeritan dan suara tangisnya.  Dia membalas pelukan kakaknya sambil tetap sesenggukan.  Pakaian Bunga otomatis jadi kotor juga oleh warna tinta.
“Ada apa sih Bu, kok sampai seperti ini?” tanya Bunga lagi.
“Rio tadi menumpahkan tinta ke lantai banyak sekali.  Bapakmu minta supaya dia membersihkannya.  Rio tidak mau.  Bahkan adikmu itu tidak mau mengakui kalau dia yang menumpahkan.  Dia bohong.  Pakai sumpah biar disambar geledek segala.  Kalau dia ngaku saja ya tidak apa-apa.  Kami cuma minta dia bersikap jujur.  Nah, karena dia bertahan dengan kebohongannya terus-menerus maka kami jadi jengkel dan menghukum adikmu itu,” kata istri saya menjelaskan cukup komplit.  Saya manggut-manggut saja mengiyakan.
“Aduh, kasihan sekali Rio,” kata Bunga sedih sambil mempererat pelukannya ke tubuh adiknya.  Lanjutnya lagi, “Sebenarnya sayalah yang menumpahkan tinta itu.  Tadi mau saya bersihkan, tapi cairan pembersih lantainya habis.  Lalu saya keluar rumah untuk membeli cairan pembersih lantai.  Di warung, saya bertemu teman saya, Retno.  Dia minta saya mampir ke rumahnya sebentar membantunya sedikit mengerjakan PR.  Rupanya saya kelamaan di rumah Retno.  Jadi sayalah yang salah.  Bapak, Ibu, dan Rio…maafkan saya ya?!  Sekarang biarlah saya yang membersihkan lantai.  Saya juga akan memandikan Rio pakai air hangat.  Aduh, kasihan sekali Rio.”

Yogyakarta, 30 Oktober 2007

No comments:

Post a Comment