(Cerpen-Monodrama) Sri Harjanto Sahid - BIDADARI EDAN

BIDADARI EDAN

Cerpen-Monodrama: Sri Harjanto Sahid

Sahabatku Iswanto digodam kesedihan. Lukisan terbaiknya digondol maling. Padahal karya  itu akan dihadiahkan pada pencopet yang pernah nendang martabatnya. Pertama kenal melalui insiden tak terduga yang menimbulkan gelak tawa!
Kala itu panas menyengat. Iswanto berjalan kaki. Kepala kenyut-kenyut. Sepeda motornya sudah disekolahkan di pegadaian untuk bayar utang. Dompet di saku bajunya cuma berisi uang receh. Cukup buat makan siang saja. Kegundahan terpancar di wajahnya yang kuyu. Karyanya mangkrak. Pasar seni macet. Para kolektor pada molor semua.
Perutnya keroncongan. Berjalan nunduk, konsentrasi buyar ke mana-mana. Mendadak tubuhnya terpental jatuh ke aspal. Ditabrak sesosok tubuh gendut, berjenis kelamin betina, bermuka jorok tua bangka. Pakaiannya penuh tambalan aneka warna. Sekilas disimpulkan bahwa orang itu tidak genap otaknya. Sinting alias edan.
Nenek yang juga terpental itu bangun lebih dulu. Bukannya menolong tapi malah mencengkeram bahunya. Mengguncang-guncangkannya keras-keras.
“Dasar wong edan! Berjalan nggak lihat-lihat. Sinting!!” teriaknya. Lalu diam. Ditatapnya wajah Iswanto lekat-lekat. Berseru kegirangan, “Wah, kamu ganteng banget. Mirip pacarku dulu. Kupeluk kamu sekarang!”
Iswanto gelagapan dalam dekapan. Sekuat tenaga membebaskan diri lalu ngacir terkentut-kentut. Nenek itu mengejar. Mulutnya nyerocos berteriak, “Jangan lari. Aku mau bobok sama kamu. Ayo ke sini. Awas, kuperkosa kau nanti!” Dan Iswanto terus lari, mukanya merah padam. Orang-orang yang menyaksikan ketawa cekakakan. Jalanan nyaris macet akibat insiden tersebut. Di warung dekat jembatan ia berhenti. Ingin makan dan minum. Dirogohnya sakunya. Kosong. Dompetnya lenyap. Ia yakin seratus persen, dompetnya dicopet.
Entah mengapa, nenek itu kerap mengembara di otaknya. Membayangkannya, ia jadi ingat pacar pertama. Juga gendut seperti itu dan juga tidak cantik seperti itu. Cuma, tidak edan seperti itu. Soal cewek, sejak akil baligh ia punya selera tertentu. Pantang pada yang berpotongan normal. Wajar kalau kali ini ia terobsesi habis-habisan. Dilacaknya jejak makhluk yang membuatnya tak bisa tidur itu.
Suatu pagi, matahari nongol di langit dengan wajah kecut. Dilihatnya nenek sinting itu menari di perempatan jalan. Mendadak berhenti saat matanya menatap lelaki muda berjalan menunduk dari timur. Disongsong lalu ditabrak. Mereka terpental. Nenek itu bangkit duluan. Mendekati lelaki itu, mencengkeram bahunya, mengguncang-guncang, mendadak diam dan menatap lekat. Kejadian selanjutnya persis dengan yang dialami Iswanto dulu. Iswanto cekakakan ketika melihat nenek itu mengejar mangsanya sambil berseru, “Jangan lari! Aku mau bobok sama kamu. Ayo ke sini. Awas, kuperkosa kau nanti!” Berikutnya nenek itu mengipasi wajahnya dengan sebuah dompet. Seratus persen Iswanto yakin, dompet tersebut milik lelaki malang tadi.
Berulangkali Iswanto menikmati nenek itu menjalankan modusnya yang aneh. Seperti sebuah hafalan. Tapi dihiasi spontanitas tak terduga. Plastis dan intuitif. Rasa penasaran mendorongnya ingin menggali karakter tokoh itu. Berminggu-minggu, matanya yang jalang mengamati gerak-geriknya. Tujuannya pasti. Untuk dijadikan model lukisannya.
Lukisan pertama dibuat. Begitu selesai langsung dibeli kolektor. Lukisan kedua begitu juga. Lukisan ketiga sampai ketujuh belas sama nasibnya. Tak menunggu hitungan hari sudah disikat peminat. Lukisan kedelapan belas sampai ketiga puluh lima lebih dahsyat lagi. Belum usai digarap sudah dibayar duluan. Berebutan lagi! Dalam waktu singkat Iswanto jadi raja uang. Hal ini sungguh misterius bin ajaib.
Wah, pokoknya kejadian yang dialami Iswanto mirip banget dengan khayalan cerpenis  yang malas berpikir. Yang imajinasinya dangkal. Asal produktif demi mengejar honor. Tidak logis. Anehnya amat menarik diikuti perkembangan ceritanya.
Suatu malam Iswanto tidur berbantal uang ratusan juta. Mata uang lembaran seratus ribuan ditumpuk-tumpuk dan dikemas sedemikian rupa hingga menjadi bantal dan guling. Ia ingin menikmati kesuksesannya yang datang mendadak. Tidurnya betapa nyenyak. Hanya sedikit terganggu oleh mimpi pendek yang aneh. Dalam mimpinya ia bertabrakan dengan nenek gendut eksentrik, sinting bin edan, bermuka jorok itu. Urutan kejadiannya sama persis. Bahunya dicengkeram, diguncang-guncang, dikejar-kejar sembari diteriaki, “Awas, kuperkosa kau!” Cuma ending-nya beda dikit, dialah yang nyopet dompet nenek itu.
Bangun pagi ia berpikir keras. Betapa selama ini ia belum pernah berterima kasih pada nenek itu. Tak pernah memberikan apa pun meski sekadar sepotong roti ataupun sebungkus nasi basi. Kesadaran ini membuatnya geram terhadap diri sendiri. Alangkah egoisnya makhluk bernama seniman yang tidak memiliki kepekaan terhadap keadilan hidup dan kehidupan.
Kanvas besar digelarnya. Ia pun bekerja siang-malam  melukis figur nenek sinting itu. Menari di tengah taman bunga yang indah. Kupu-kupu aneka warna beterbangan mengitari tubuhnya. Mirip taburan merjan yang disebar oleh tangan malaikat dari langit yang penuh rahmat. Sesudah lukisannya rampung ia lega bukan main. Belum pernah ia membuat karya sebagus, seanggun dan sehebat ini. Ia bertekad akan menghadiahkan pada mata air yang menjadi sumber inspirasinya. Yaitu sang nenek sinting pujaan hatinya. Karya itu akan dijual semahal mungkin. Uangnya akan diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarganya agar bisa digunakan untuk memberikan perawatan yang layak. Ia bertekad mencari sisik melik keluarganya di manapun berada.
Hati Iswanto terpukul saat mengetahui studionya dibobol maling. Karya terbaiknya hilang. Ketika aku datang, ia duduk terpekur. Wajahnya gelap. Matanya mencorong memancarkan kemarahan. Dua botol bir besar kosong tergeletak di atas meja.
“Ah, daripada stres mendingan kita jalan cari angin segar,” kataku. Ia tak merespons. Kupancing lagi, “Atau kita cari bidadarimu di tempat biasa. Siapa tahu setelah melihatnya lagi kau bisa melukis lebih dahsyat. Apalagi kalau kau mau bermain tabrak-tabrakan dan kejar-kejaran kayak dulu. Inspirasimu pasti menggumpal.”
“Sudah puluhan kali aku ke sana. Tak sekali jua melihatnya,” jawabnya malas.
“Coba kita lacak di tempat lain. Siapa tahu pindah lokasi,” aku pun ngeyel.
Berboncengan sepeda motor kami kitari kota. Di setiap perempatan jalan raya mata kami pentalitan. Sungguh melelahkan pencarian yang menggelikan ini. Saat kami memutuskan untuk pulang tiba-tiba bidadari gendut bermuka jorok itu muncul di ujung jalan. Ia menari dan tertawa ria. Kami mendekat, memarkir sepeda motor, mengamati segala peristiwa yang bakal terjadi.
Belum habis sebatang rokok mendadak dikejutkan oleh raungan sepeda motor yang ngebut ugal-ugalan. Melaju ke arah bidadari kami yang asyik menari jaipong. Kami menjerit tertahan. Tapi rupanya bidadari kami sigap menghindar. Yang terjadi malah di luar dugaan. Sewaktu melompat ke tepi jalan, ia nabrak pemuda ganteng yang berjalan menunduk. Keduanya terguling ke aspal.
Secepat kilat nenek itu bangun. Mencengkeram bahu pemuda malang itu, mengguncang-guncang dan alur selanjutnya seperti bisa diduga. Perutku mengeras akibat terpingkal-pingkal melihat adegan kejar-kejaran yang heboh. Sambil mengangkat rok warna-warninya yang kombyar-kombyor ia berjingkat-jingkat mengejar disertai lengkingan dramatis, “Aku mau bobok sama kamu! Awas, kuperkosa kau nanti!!!”
Nenek pujaan hati Iswanto itu menimang dompet hasil olah kreativitasnya yang memukau. Mendadak ia disergap tiga orang polisi. Ia merota-ronta histeris. Tapi ketiga poisi itu makin kuat memegangi tubuhnya. Lalu datang mobil patroli polisi. Nenek itu dinaikkan ke mobil. Tangannya diborgol.
“Kenapa nenek gila itu ditangkap Pak?” tanyaku pada salah satu polisi. Iswanto tampak emosional berdiri di sampingku.
“Dia waras. Cuma berlagak gila. Itu modusnya untuk mengelabui mangsanya. Dia itu ratu copet. Cukup lama kami menyelidiki jati dirinya,” kata polisi berkumis menjelaskan. Sambungnya lagi, “Dia itu orang kaya raya. Di desanya sana sawah dan ladangnya berhektar-hektar. Rumahnya luas dan besuaaar. Sapi dan kerbaunya berpuluh-puluh.”

Yogyakarta, 4 Agustus 2014

No comments:

Post a Comment