(Cerpen) Sri Harjanto Sahid - LELAKI BAIK HATI

LELAKI BAIK HATI

Cerpen: Sri Harjanto Sahid

Malam belum larut. Langit mendung. Udara berwarna kelam. Aku duduk melamun di depan rumahku yang terpencil, di pinggiran jalan sempit dengan dikelilingi hamparan sawah-ladang. Aku memang tak punya tetangga. Desa terdekat dari rumahku berjarak lebih satu kilometer. Menikmati kesunyian adalah kemewahanku yang utama. Karenanya, sengaja kubangun rumah tempat tinggalku yang sederhana di lokasi persawahan. Aku hidup sendirian saja. Tanpa teman sama sekali. Sejak istriku meninggal—kami belum dikaruniai anak—aku sengaja mengasingkan diri di sini. Mencoba merenungkan makna hidup secara lebih mendalam sambil mengurus sawah-ladang dan seekor sapi. Binatang berkaki empat dan bermata cemerlang itulah teman setiaku satu-satunya. Sekaligus merupakan harta milikku yang terbesar.
Suara kodok, jengkerik, dan binatang malam lainnya, selalu terdengar amat indah. Membuatku lebih menyadari kebesaran Ilahi. Betapa kecilnya manusia dan betapa tak terukurnya keluasan semesta raya. Alangkah bodohnya kalau manusia merasa sedemikian hebat kemudian berkehendak menaklukkan bumi dan langit.
Kuarahkan pandanganku ke selatan. Samar-samar mataku menangkap ada sesosok tubuh berlari terseok-seok dan tergesa-gesa. Menuju ke arahku. Napasnya tidak teratur dan diselingi batuk-batuk berat. Begitu sampai di hadapanku mendadak tubuh itu tersungkur ke tanah. Menggelepar. Batuk yang keras menyebabkan dadanya terguncang-guncang. Dari mulutnya dimuntahkan darah segar banyak sekali. Secara spontan kuraih tubuhnya, lalu kududukkan. Kutatap wajahnya sepias kapas. Ia lelaki tua, kira-kira berusia enam puluh lima tahun. Kupegang dadanya yang kerempeng. Kurasakan napasnya semakin tersengal.
“Ada apa, Kek? Kenapa berlarian seperti dikejar-kejar setan? Siapa Kakek? Dari mana dan mau ke mana?” tanyaku agak gugup.
“Sembunyikan aku, Nak. Mereka akan membunuhku,” sergah lelaki tua itu lemah.
“Mereka? Siapa yang Kakek maksudkan?”
“Nanti kuceritakan. Tolong masukkan aku ke dalam rumahmu. Cepatlah, Nak. Nanti mereka keburu tiba. Ayolah, Nak!”
Kegelisahannya menerbitkan rasa iba di hatiku. Meski penuh tanda tanya segera kuangkat bahunya agar berdiri. Ketika kupapah untuk berjalan ia merintih keras-keras sambil memegangi dadanya. Kondisi tubuhnya tak memungkinkannya berjalan sendiri. Terpaksa kubopong ia. Sesampai di dalam rumah kubaringkan tubuhnya di pembaringan.
“Tutuplah pintunya, Nak! Supaya mereka tidak tahu aku berada di sini. Aku menduga mereka akan terus mengejarku sampai ke manapun. Ah, tadi kulihat mereka sudah menjelma menjadi iblis haus darah. Tolong selamatkan nyawaku, Nak!” ucapannya yang padat oleh kekeruhan pikiran dan emosi membuatku menjadi tegang.
Ketegangan semakin meninggi tatkala dari jauh terdengar suara riuh-rendah. Mirip teriakan-teriakan bercampur makian. Makin lama kian jelas. Bergegas kuayun langkahku menuju pintu. Dengan hati berdebar kututup pintu. Aku hendak beranjak tetapi tertahan oleh gemuruhnya suara galau yang kian jelas terdengar.
“Maliiiiing…!!!”
“Maliiiiiing…!!!!!”
“Tangkaaaaap…!!!!!”
“Bunuuuuuuuh…!!!!!”
Aku tertegun. Darahku mengalir lebih lancar. Penuh kepastian kutatap lelaki tua yang kini duduk lunglai di pembaringan. Kusorot matanya tajam-tajam. Ia tertunduk pasrah. Terjadi pertempuran seru di dalam diriku. Lelaki tua itu perlahan mengangkat wajahnya. Memandangku dengan hambar. Hatiku berdesir. Sambil tersenyum lunak ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa maknanya.
Pintu rumahku tiba-tiba digedor. Keras dan berulang-ulang.
“Buka pintu!!!”
“Buka pintu!!!”
Aku terperanjat. Ragu-ragu.
“Buka pintunya!!!!”
“Buka pintunya!!!!”
Kebingungan menghinggapiku. Tak sengaja kutolehkan wajah ke arah pembaringan. Hah?! Lelaki tua itu tak ada! Ke mana ia?! Aku khawatir ia melarikan diri melalui pintu belakang. Ah, sayang. Tapi aku tidak bisa berpikir jauh sebab pintu digedor dari luar tanpa terputus. Dengan gugup kubuka pintu. Begitu pintu terbuka, puluhan pasang mata menyorotiku. Semua memancarkan kegarangan. Di antara mereka ada yang menggenggam kayu batangan dan linggis. Beberapa orang membawa sabit. Fungsinya dapat ditebak.
“Maaf, Dik Prapto!” seru seseorang.
“Oh, Mas Harno. Ada apa Mas?” aku bertanya.
“Desa kami ada yang menyatroni, Dik. Seorang lelaki tua mau mencuri dua ekor sapi milik Pak Surono. Untung ketahuan anaknya Pak Marko. Dia kami kejar-kejar. Arah larinya ke sini. Ada yang melihatnya menyelinap ke samping rumah Dik Prapto. Apakah Dik Prapto melihat orang asing barusan?” Mas Harno menjelaskan ditutup sebuah pertanyaan.
“Baju dan celananya berwarna hitam, Mas?” tanyaku.
“Ya, ya. Betul Dik!” kata Mas Harno.
“Berikat kepala?”
“Benar Dik. Ya!”
“Kurus dan berkumis lebat, Mas?” berurutan kusebutkan ciri-ciri lelaki tua tadi. Semua orang kompak mengiyakan. Mereka mendengarkan setiap kata-kataku dengan amat bernafsu. Kuteruskan keteranganku, “Aku tadi memang melihatnya. Ia berhenti sebentar di sini. Minta minum. Terburu-buru ia minum. Lantas ia lari ke arah timur. Mungkin menuju bengawan.”
“Menuju bengawan?! Wah, gawat kalau sempat menceburkan diri ke bengawan. Ia bisa lari lebih cepat. Terima kasih Dik Prapto.”
Mas Harno segera memberi komando. Para pengejar berlomba-lomba lari menuju ke arah bengawan. Teriakan mereka kembali menggemuruh. Gemanya kian lama makin lenyap.
Aku termangu.

***

Di luar rumah angin menderu perlahan. Nyanyian kodok di sawah terdengar merdu, dan jengkerik-jengkerik berkonser mensyukuri panorama malam. Kucermati ekspresi wajah lelaki tua yang berbaring lemah di dipanku. Keredupan pancaran bola matanya mengandung rasa terima kasih yang dalam kepadaku. Aku merasakan ketulusan hatinya yang dipenuhi rasa haru. Kualihkan pandanganku ke dadanya. Betapa tipis dadanya. Dan kerentaan semakin menjelas disebabkan kesulitannya menarik napas.
Kuulur ingatanku ke peristiwa yang baru saja berlalu. Rasa welas-asihlah yang mendorong hasratku melindungi nyawa lelaki tua yang ringkih ini. Kebohonganku kepada Mas Harno dan orang-orang sedesanya itu tak akan pernah kusesali. Aku ikhlas menanggung beban dosanya seandainya dosa untuk hal itu ada. Sungguh. Betapa tidak ibakah hatiku menyaksikan lelaki rapuh itu keluar dari persembunyiannya, yaitu dalam gentong besar di pojok ruangan. Kala itu tubuhnya basah kuyup, menggigil kedinginan dan dari mulutnya meleleh darah segar, sejenak berikutnya jatuh pingsan sambil merangkul kedua kakiku. Darahku tersirap. Uhh!
Lelaki tua itu batuk. Aku terhenyak.
Kunaikkan selimutnya hingga mencapai leher. Kuraba keningnya. Amat panas. Seluruh tubuhnya kutelusuri juga panas. Batuknya menjadi-jadi. Beberapa kali tersedak dan meludah bercampur darah. Tergesa-gesa kuambil handuk kecil di almari, kubasahi dengan air hangat, kulekapkan di keningnya sedemikian rupa. Kupijiti sekitar telapak kakinya. Kutoleh wajahnya. Pandangan kami bertumbukan. Sesimpul senyum dihadiahkannya kepadaku.
“Terima kasih Nak,” katanya penuh haru.
Aku memahami keharuannya. Sebuah anggukan ringan kubalaskan kepadanya dengan penuh kesantunan. Aneh sekali. Tiba-tiba aku merasa harus menyayanginya. Seperti ada tarikan kuat dari dalam dirinya sehingga aku merasa akrab dengannya. Aku merasa nyaman bersikap tulus kepadanya. Ia pun rupanya mengerti isi hatiku.
Apakah kau tak menyesal telah menolongku, Nak?” di tengah kesulitannya mengatur napas ia berkata dengan sedikit terisak.
“Kenapa musti menyesal, Kek?” sahutku.
“Tidakkah kau merasa keliru, Nak?”
“Apa maksud Kakek?”
“Kau telah menolong orang jahat, Nak!”
“Apakah menolong orang jahat yang nyawanya hendak dibantai beramai-ramai itu merupakan kejahatan? Setidaknya, aku tidak mungkin membiarkan kekejaman berlangsung di depan mataku. Bagiku, nyawa manusia itu milik Allah. Siapapun tidak berhak merenggutnya kecuali Allah sendiri yang mengambilnya,” jawabku beralasan. Kupegang tangannya di balik selimut. Kuulaskan senyum menghibur di bibirku seraya berujar, “Aku percaya, hakikat kebaikan tidak pernah ternoda oleh keadaan orang yang menerimanya. Kebaikan tetap menjadi kebaikan meskipun diberikan kepada iblis sekalipun. Kalau aku menolong Kakek, hal itu disebabkan panggilan hati nurani kemanusiaan semata. Keadaan Kakek mewajibkan aku untuk memberikan perlindungan.”
Kau amat baik hati, Nak,” kelembutan ikut menggetarkan ucapannya. Parit-parit wajahnya dialiri air bening berasal dari kedua bola matanya. Lalu ia tersedu-sedu, “Suatu saat nanti aku akan berusaha membalas budi baikmu, Nak. Mudah-mudahan aku masih punya waktu untuk itu.”
Lalu obrolan kami berlanjut dalam suasana akrab. Ia mengaku bernama Suwiryo dari seberang desa. Baru sekali inilah ia mencoba menjadi maling. Ya, karena terpaksa. Cucu satu-satunya yang telah yatim piatu—kedua orangtuanya meninggal akibat terseret banjir—sekarang ini sedang sakit keras dan dirawat di sebuah rumah sakit di kota. Menurut dokter harus dioperasi dan biayanya sangat besar. Padahal ia tak punya harta apa pun yang bisa dijual selain rumah gubuk yang telah reyot. Aku trenyuh membayangkan semua hal yang diuraikannya. Aku bisa merasakan kepedihannya itu. Sebab istriku dulu juga meninggal di rumah sakit gara-gara aku tak bisa membiayai operasi jantung yang seharusnya dilakukan. Sampai larut kami berwawan-kata saling membagi cerita dan rasa simpati. Hingga Dewi Malam menidurkan kami dalam keterlelapan yang indah.
Aku bangun pagi agak terlambat. Mungkin disebabkan terlalu lelah ngobrol semalaman. Sinar matahari sudah menerobos ke dalam rumahku melalui celah-celah pintu yang terbuka. Tak kujumpai lelaki tua itu di tempat tidurnya. Mungkin ia tengah berada di ladang entah melakukan apa. Kucari ia ke ladang. Tak ada. Kucari ke sana-kemari dan kupanggil-panggil namanya. Sia-sia. Ah, alangkah tololnya aku. Kenapa aku tidak berpikir bahwa ia sudah pergi? Pasti ia meninggalkan rumahku sebelum matahari terbit. Supaya tidak terpergok orang-orang yang mengejarnya tadi malam. Dan karena tidak tega membangunkan aku yang lagi tidur pulas, makanya ia pergi diam-diam saja, tanpa pamit. Dengan pikiran seperti ini aku segera melangkahkan kakiku menuju rumah. Sesampai di rumah langsung kutengok teman setiaku satu-satunya yang berkaki empat dan bermata cemerlang di kandangnya. Ah, sapiku tak ada!!

Yogyakarta, 2007

1 comment:

  1. JOIN NOW !!!
    Dan Dapatkan Bonus yang menggiurkan dari dewalotto.club
    Dengan Modal 20.000 anda dapat bermain banyak Games 1 ID
    BURUAN DAFTAR!
    dewa-lotto.name
    dewa-lotto.org

    ReplyDelete