(Cerpen-Drama) Sri Harjanto Sahid - SANDIWARA

SANDIWARA

Cerpen-Drama:  Sri Harjanto Sahid

“Kamu marah?”
“Tidak.”
“Tersinggung?”
“Ya.”
“Kamu terlalu perasa!”
“Mungkin sebaliknya.  Perasaanku kurang jalan!”
“Maksudmu”
“Suatu hal yang membuat orang normal blingsatan belum juga mampu menggerakkan emosiku.  Aku masih tenang-tenang saja.  Aku selalu ingin meledakkan amarahku kepadamu tapi tak pernah bisa.  Tak tahulah.  Mungkin sebagai suami aku terlampau lemah.  Kalah melulu.  Bahkan sejak kita menikah, kamulah yang memberiku makan.  Aku terus saja menganggur.  Kamu yang kerja keras.  Rasa tak berdaya inilah yang membuatku menjadi pemaaf.”
“O, kamu cemburu lagi?”
“Alasan apa lagi yang mau kamu katakan?”
“Lho, kok kamu jadi sinis?!”
“Jawablah dulu pertanyaanku.  Tak usah membelokkan masalah.”
“Baiklah.  Aku memang pulang terlambat.”
“Tiga hari!”
“Tapi mau bagaimana?!  Pekerjaan di luar kota itu tak dapat diselesaikan tepat waktu.  Banyak soal baru yang muncul dan perlu diatasi.  Tak mungkin kutinggalkan begitu saja.  Ini menyangkut nasib orang banyak.  Ratusan buruh yang mogok itu harus dibujuk pelan-pelan agar secepatnya kembali mau bekerja.  Bukan justru terpancing melakukan perusakan dan kekerasan yang bisa menjerumuskan mereka.  Mereka harus dihindarkan dari berbagai hasutan.”
“Bukan main.  Hebat sekali aktivitasmu itu!”
“Jangan mengejekku seperti itu.”
“Kamu pergi berdua ke sana dengan bosmu, bukan?”
“Curiga?”
“Ya, karena dia laki-laki dan kamu perempuan.”
“Sialan, kamu mas!  Mana mungkin aku bisa tenang bekerja kalau sikapmu kekanak-kanakan seperti ini?!  Sebagai wanita aku rela memeras keringat untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga kita.  Tanpa pernah mengeluh.  Tapi pikiranmu kok melantur seperti itu?!  Apa kau kira aku ini tidak bisa menjaga diri?!  Kurang setia?  Atau punya bakat menjadi pengkhianat?  Keterlaluan kamu, mas!  Meski aku bukan keturunan orang baik-baik, karena ibuku pernah jadi pelacur dan ayahku meninggal dalam penjara, tapi aku selalu berjuang untuk menjadi manusia yang utuh.  Lahir maupun batin.  Tidak cacat moral maupun mental.  Jangan sampai sejarah hitam keluargaku dulu kuulang lagi.  Aku harus berjuang untuk menjadi lebih baik.  Dan selama ini aku merasa kamu sangat mendukungku.  Kamu sangat menjagaku.  Bahkan sejak kita mulai pacaran hingga akhirnya menikah.  Aku begitu menghormatimu karenanya.  Kamu begitu menghargai wanita.  Meninggikan istri.  Tak kuduga, kini kamu sedemikian picik.  Menuduh yang bukan-bukan!  Naif sekali.  Cupet!!  Tak seharusnya kamu menghina istrimu seperti itu.  Kamu melukaiku, mas.  Aku sulit menerimanya.”
“Sudah?”
“Belum!  Aku belum selesai bicara!!  Masih ada sekeranjang sampah yang ingin kutumpahkan dari hatiku.  Kamu telah memaksaku untuk mengatakannya.  Sudah sekian lama aku memendamnya sampai membusuk.  Aku tak bisa lagi menyimpannya.  Tak bisa menahannya.  Supaya lega harus kuutarakan semua masalah agar kita menjadi lebih terbuka.  Lebih dewasa mengarahkan biduk perkawinan yang diselubungi tabir kepura-puraan ini.  Aku tak peduli kamu akan shock  mendengarnya.  Tapi tujuanku positif.  Aku ingin menyentuh harga dirimu yang paling dalam.  Supaya kamu sadar dan tidak terus tenggelam dalam mimpi-mimpi besarmu yang kosong melompong itu.  Ketahuilah, meski aku ikhlas bekerja keras sedang sebagai suami kamu terus disibukkan dengan urusan-urusan kesenian yang tidak menghasilkan uang, tapi dalam hati kecilku aku merasa sedih.  Kesedihan seorang istri yang sangat mendasar, yakni aku tak bisa membanggakan dirimu sebagai pelindung.  Sebaliknya kamulah yang selalu berlindung di balik ketiakku.  Kamu begitu menggantungkan diri padaku.  Seperti benalu.  Coba pikir, apakah pantas seorang suami yang seharusnya menjadi kepala rumah tangga tapi enggan mencarikan makan untuk istrinya?  Kamu bukannya tidak bisa, tapi tidak mau.  Kamu hanya asyik dengan diri sendiri.  Menggendong cita-cita besar yang tidak realistis.  Mimpi jadi dramawan besar!!  Atau jadi seniman yang kepengin menggegerkan sejarah!!  Sungguh lucu sekali, kamu lebih tergila-gila kepada kepura-puraan daripada kepada kenyataan hidup ini.  Kamu seperti hidup di luar kenyataan.  Omong kosong melulu.  Tak mau tahu para tetangga kiri-kanan mencibirimu setiap waktu.  Karena ketidakbertanggungjawabanmu itu.  Aku menanggung malu oleh hal ini.  Tapi kamu tidak.  Kamu sanggup mempertahankannya lebih sepuluh tahun sejak kita menikah.  Bagaimana kamu bisa menjadi seniman yang baik kalau terhadap keluargamu saja kamu tidak bertanggungjawab?  Bagaimana protes-protesmu terhadap berbagai pihak itu bisa bersih kalau terhadap diri sendiri saja kamu tidak punya kesadaran memrotes?  Bangunlah, mas!  Akhirilah mimpimu!!  Hidup ini terlalu indah untuk terus-terusan ditinggal tidur!!!”
“Beraninya kamu menghina pilihan hidupku.  Bukankah sejak sebelum menikah aku telah jauh-jauh memberikan gambaran mengenai masa depanku yang akan seperti ini?  Dulu kamu berjanji akan bersedia menerima risikonya.  Bahkan kamu menyatakan siap mandiri tanpa bantuanku.  Lalu aku mau menikah denganmu.  Padahal aku sudah bersiap-siap tidak akan menikah seumur hidupku.  Bujukan manismulah yang membuat aku menyerah.  Kenapa sekarang kamu melecehkan aku sedemikian rupa?  Apa kamu lupa sejarah?  Atau mengingkarinya?!”
“Sama sekali tidak.  Cuma aku tidak membayangkan kejadiannya akan begini parah.  Aku tak pernah berpikir bahwa seorang seniman boleh membebaskan diri dari kewajiban mencari nafkah bagi keluarganya.  Maaf, aku tak bermaksud menghinamu.  Aku ngomong tentang kenyataan yang benar-benar terbentang di depan mata.  Bukan tentang sebuah sandiwara di atas panggung.  Kamu memang tak pernah gagal sebagai aktor di atas panggung, tapi akuilah bahwa kamu akan gagal total sebagai aktor di dalam hidup yang sebenarnya.  Menjalani kepura-puraan jauh lebih gampang dibanding menjalani kenyataan.  Tak ada hebatnya melarikan diri ke atas panggung karena gamang hidup di bawah panggung.  Jangan menipu diri sendiri dengan mengindah-indahkan ketidakberdayaan.  Jadilah manusia bukan di luar kemanusiaan.”
“Bangsat!! Ayo tuntaskan penghinaanmu!  Dasar perempuan jalang!! Munafik!!!”
“Apa?  Apa kamu bilang?!  Benar-benar tak pernah ngaca!!  Memangnya kamu itu siapa sehingga berhak memakiku dengan sebutan luar biasa begitu?  Dasar benalu tak tahu diri!!  Ketahuilah, aku masih boleh kamu singgung dengan perkataan apa saja.  Tapi tidak dengan sebutan seperti itu.  Sungguh menyakitkan.  Aku sangat alergi mengingat masa lalu ibuku.  Aku trauma berat.  Seluruh daya hidupku kukerahkan untuk menghindari pengalaman yang sama.  Kejalangan yang tidak terpuji itu.  Aku terus menerus berjuang menjadi wanita terhormat.  Setia terhadap nilai dan harkat kewanitaanku.  Menjunjung tata krama, etika, dan sopan santun pergaulan.  Setia terhadap suami meski aku tahu suamiku telah keblinger.  jangan kamu kira aku tidak tahu tatanan moralmu yang lama masih kamu pertahankan.  Dulu sebelum menikah, secara terbuka kamu mengakui juga sering melakukan percintaan dengan sesama jenis.  Perbuatan gila yang tidak dibenarkan oleh agama manapun di dunia.  Aku mencoba mengerti keadaan dirimu itu.  Apalagi kamu berusaha keras untuk sembuh.  Bertobat total.  Menjelang pernikahan kamu mengaku sembuh sepenuhnya.  Kamu berjanji, bahkan bersumpah, untuk tidak melakukannya lagi.  Kamu juga bersumpah akan setia kepadaku seorang.  Tapi apakah sumpah seorang seniman itu bisa dipercaya?  Entahlah.  Nyatanya sumpahmu itu hanya hiburan tipuan belaka.  Sandiwara tanpa bobot.  Di belakang punggungku kamu masih saja melakukannya.  Jangan kamu kira aku tidak tahu ini.  Ketika aku tengah membanting tulang mencari nafkah, sebaliknya kamu sibuk menggunakan ranjang kita untuk bergulat dengan rekanmu sesama jenis.  Aku pernah memergoki berulangkali tanpa sengaja manakala aku pulang ke rumah di sela-sela jam kerjaku.  Kegilaan itu kamu lakukan dengan laki-laki yang berbeda-beda.  Berulangkali dan aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri.  Sampai aku muntah-muntah.  Sungguh edan!  Maniak!!  Aku sedih, marah, menangis dalam hati.  Ribuan perasaan berkecamuk dalam diriku.  Namun aku bisa mengatasinya.  Kupendam saja sendirian.  Menjadi sebuah rahasia dahsyat yang paling menyakitkan.  Tidak kutegur kamu satu patah katapun.  Inilah bentuk toleransiku yang paling total sekaligus fatal.  Sebagai upaya aneh dari seorang istri dalam memahami suaminya yang berkepribadian serba rumit.  Eksentrik dan kabur.  Mungkin akulah yang kurang waras sehingga sanggup bertahan dalam keedanan ini.  Aku terlalu mencintaimu.  Cinta yang naif dan merusak diri sendiri.  Bayangkan, dalam kondisi seperti itu aku tetap sanggup menjaga kesetiaanku.  Tidak membalas dendam.  Tidak balik berkhianat.  Bagiku keagungan dan keutuhan perkawinan kuutamakan.  Seorang wanita adalah ibu alam semesta.  Pelindung kehidupan.  Harus punya kesabaran seluas samudera.  Punya pengabdian tanpa batas.  Dan istri harus membela suaminya.  Berkewajiban menimang-nimang malapetaka yang menimpa rumah tangganya.  Itulah prinsipku.  Kujunjung dan kutegakkan bersama setiap tarikan nafasku.  Kini, begitu tega kamu menghujatku sebagai wanita jalang.  Sungguh telak!  Tak bisa kutanggung penghinaanmu ini.  Lebih baik aku mati daripada harus mendapat malu begini besar.  Bunuhlah aku kalau mau.  Jangan merendahkan aku sebagai wanita dan sebagai istri. Jangan menjadikan aku …………”
“Cukup!!  Hentikan!!”
“Biarkan aku terus bicara.”
“Aku tak mau mendengarmu lagi!”
“Tapi aku belum selesai.”
“Sudah.  Tak perlu dilanjutkan!!”
“Belum!!!  Masih seabreg lagi.  Kamu harus berani mendengarnya!!”
“Habis kataku!!!  Jangan menjajakan omongan gombal lagi.  Hentikan aktingmu yang berselimut lendir busuk!  Stop deklamasimu yang penuh tinja!!  Sekarang giliranku untuk bicara.  Jangan sekali-kali dipotong.  Aku akan bersikap brutal kalau kamu menyela ucapanku.  Kamu harus sanggup mendengarnya.  Aku juga akan membeberkan kenyataan pahit.  Jangan dikira cuma aku saja yang tidak beres!!”
“Baiklah, akan kuperhatikan pembelaanmu.”
“Dengarlah wahai istriku yang setia.  Wahai, wanita yang senantiasa sanggup menjaga kehormatan dirinya. Dan wahai, sang pelindung kehidupan yang punya kesabaran seluas samudera, yang menggendong pengabdian tanpa batas.  Serta wahai, wanita tukang menimang-nimang semua malapetaka yang menimpa rumah tangganya.  Aku juga akan berdeklamasi sepenuh perasaanku.  Dengan menggunakan semua bakatku yang kulatih selama ini.  Meski sebelumnya secara jujur harus kuakui, bahwa kamu jauh lebih lihai dariku.  Sudah pasti kamulah yang telah berhasil menjadi juara dari perlombaan yang belum selesai ini. Kamu memang hebat.  Menyesal sekali aku tak pernah mengajakmu bermain dalam pementasanku.  Sungguh mataku tidak jeli menatap sebuah bakat besar yang setiap hari teronggok di depanku.   Ketahuilah, selama tiga hari kamu tidak pulang ke rumah aku telah dihajar oleh berbagai renungan melelahkan.  Akhirnya aku knock out setelah mendapatkan kesimpulan yang ajaib.  Kalau tidak salah hitung, pernikahan kita sudah berjalan lebih sepuluh tahun.  Pasang-surut dan berbagai gelombang telah kita tempuh.  Suka-duka, pahit-getir, kesunyian dan kesadaran akan kefanaan makin memperjelas makna kebersamaan kita.  Tidak hadirnya seorang anak tidak membuat perkawinan kita terasa hampa, meski setiap detik kita tetap merindukannya.  Berbagai cara kita lakukan, termasuk dengan berbagai cara pengobatan alternatif, tirakat, atau bahkan ke dukun, serta konsultasi ke dokter.  Tapi kita sepakat untuk tidak mengadakan pengecekan secara medis untuk mengetahui kesuburan benih masing-masing.  Hal ini demi menjaga perasaan kita sendiri.  Sebab, bila terbukti salah satu di antara kita ternyata mandul, maka pasti terjadi kegoyahan.  Namun, alangkah terkejutnya aku ketika dua bulan lalu kamu positif hamil.  Surat keterangan dokter yang memeriksa urinemu menegaskan kebenaran itu.  Spontan hatiku terlonjak-lonjak.  Bahagia luar biasa.  Kamu kubopong dan kuciumi.  Sepuas hati dan tak puas-puas.  Penantianku selama sepuluh tahun akhirnya tidak sia-sia.  Kubayangkan anak itu pasti akan lahir secerdas dirimu dan sangat mirip diriku.  Suatu perpaduan yang aneh tapi pasti sangat sempurna.  Ah, mimpiku sudah melambung hingga mencapai puncak harapan tertinggi.  Anehnya, minggu-minggu berikutnya hatiku selalu terasa tidak nyaman.  Pikiranku terteror kecurigaan.  Gosip-gosip seputar dirimu, yang dulu sama sekali tak kupercayai dan kubiarkan begitu saja, tiba-tiba mengganggu kenyenyakan tidurku serta merusak bangunan mimpi indahku.  Banyak orang bilang, kariermu naik sangat cepat bukan karena prestasi kerjamu.  Kamu dituduh menyerahkan dirimu di tempat tidur kepada setiap atasanmu, setingkat demi setingkat, akhirnya semua mendapatkan bagian empuk.  Bah!  Menjijikkan!!  Sebenarnya aku tak ingin percaya tapi aku tak bisa menolak kenyataan.  Aku punya bukti kongkrit.  Tanpa setahumu, tiga tahun lalu aku memeriksakan kesuburan benihku kepada seorang dokter ahli.  Hasilnya positif :  aku mandul!  Kuulangi lagi pemeriksaan medis itu dua hari lalu ketika kamu pergi ke surga bersama bosmu.  Dokter dan peralatan yang dipunyainya kupilih yang lebih canggih.  Hasilnya sama.  Aku tetap dinyatakan mandul.  Mandul semandul-mandulnya!!  Kamu dengar tidak?!  Aku mandul.  Super mandul!!!  Fantastis bukan?!  Nah, bukankah sekarang sudah jelas persoalannya?!  Terbukti kamu memang lebih lihai bermain sandiwara daripada aku.  Aktingmu dahsyat!  Aku hanya bisa bermain sandiwara di atas pentas tapi gagal total sebagai aktor di dalam kehidupan nyata.  Kamu sebaliknya, sukses mengubah kehidupan nyata ini menjadi sebuah panggung sandiwara.  Dan akulah penontonmu yang paling bodoh!  Duhai wanita terhormat pelindung kehidupan, ibu alam semesta, yang tetap setia kepada suaminya meskipun suaminya telah keblinger!  Sekarang katakan, siapakah bapak dari anak yang lagi kamu kandung itu?  Ayo katakan!!  Jangan malu-malu kucing.  Aku tidak akan marah atau menertawakan dirimu.  Silakan berterus-terang.  Tanpa berakting!!!!!!!!!     

Yogyakarta, akhir Juli 1996

No comments:

Post a Comment